Minggu, 20 Juli 2014

Part #20

 Astaga, mampu berapa banyak lagi benih-benih kebohongan yang mampu mereka sembunyikan dariku?
            Aku terus mengintai sosoknya. Disudut sekolah sekalipun, tak lupa untuk kuhampiri. Dimana mereka? Aku tak menemukan batang hidungnya. Sebenarnya, aku hanya mencari Adam, bukan Farah. Namun, karana mereka kerap kali menghilang secara bersamaan, rasa curigaku muncul sangat besar. Sepeda motornya tidak ada di parkiran. Rasa curigaku semakin parah, bahkan entah mengapa airmata di kelopak mataku ini sudah tak sabar untuk keluar.
“Hey, lihat Adam?” Aku bertanya pada Haidar, teman satu sekolah sekaligus tetangganya.
“Hmmm… Enggak, Qhey.”
“Mengapa kau begitu kaku? Aku ini kawanmu! Bersikaplah seperti biasanya.” Aku mulai memukul bahunya.
“Hmm… Aku ke kelas dulu, Qhey.”
“Hey! Haidarr…! Sial, aku ditinggalnya.”
            Sudahlah. Aku sudah lelah bertanya kesana-kemari dimana letak Adam. Aku harus beristirahat. Aku akan melupakan kejadian yang kualami bersama Haidar. Sebenarnya, aku masih berpikir-pikir, apa yang sebenarnya terjadi pada Haidar. Mengapa ia begitu kaku padaku?
***
Malam ini, aku tak memiliki tugas dari guru. Saatnya aku mengistirahatkan pikiranku dengan merasakan lembutnya angin malam diatas balkon kamarku, kelap-kelip bintang dilangit, dan alunan music yang terus berputar dilayar ponselku. Betapa aku menikmati malam yang damai ini. Kepalaku mulai bergerak sesuai music yang berdendang, hentakkan kecil dikakiku juga menyertai music yang kudengarkan. Jarang sekali aku menikmati malam seperti ini.


From: Zalfa (+6287894….)
Jum, 20 Sep 2013

Qhey, apa yang terjadi padamu? Maaf sebelumnya, aku harus mengatakan ini padamu. Ada apa denganmu dan Adam? Entah apa yang terjadi, tadi aku melihat seseorang berpostur seperti Adam bersama seorang perempuan, tapi aku tak tahu siapa itu. Apa itu kamu? Aku tak ingin kau suudzon. Aku ikut berdo’a semoga aku hanya salah lihat ya.. :)
19:30 
Aku tidak apa-apa. Kau melihat Adam? Oh, tidak. Itu bukan aku, Fa. Besok aku ingin bicara padamu ya.. 

          Kriiiinngg… Pesan singkat dari Zalfa? Ia yang sempat kucurigai akan bersama-sama dengan Adam? Sontak malam yang indah dan nyaman berubah menjadi malam yang kelam dan penuh dengan tanda tanya. Bahkan suasana yang damai berubah menjadi meneganggkan. Music yang sedari tadi berputar berhenti, hentakkan kaki kecilku berubah menjadi hentakkan kemarahan. Istirahat yang nyaris sempurna ini tak dapat ku sempurnakan, karena ini semua.
                                                                ***
           Istirahat yang tak sempunra itu membuatku benar-benar lelah. Yang ada dipikiranku saat memasuki gerbang sekolah hanyalah pesan singkat dari Zalfa.
“Zalfa…” Aku berlari menghampirinya yang bari saja tiring dari mobil berwarna merah marun itu.
“Qheyla, maaf, pesan singkatku semalam.. Aku tak memiliki maksud lain, aku hanya ingin tahu apakah itu kau? Kau yang bersama Adam?”
“Dimana kau melihatnya, Fa?”
“Hmmm… Sebenarnya, aku ingin kau tahu, Qhey. Tapi, kau jangan pernah marah padaku.”
“Bicaralah padaku. Jika yang ingin kau bicarakan adalah misteri tentang Adam selama ini, kau wajib memberitahukan itu padaku.”
           Sungguh, aku benar-benar tak percaya. Apa betul yang Zalfa katakan? Astaga! Betapa bodohnya aku. Aku sangat bodoh, aku menjadi satu-satunya orang yang tidak tahu diantara mereka semua yang tahu. Padahal aku sangat mengagumi Adam. Airmataku benar-benar jatuh sangat deras. Aku harus menanyakan ini pada Adam. Apa ini benar? Sungguh betapa teganya mereka.

Sabtu, 10 Mei 2014

Part #19

                Mereka benar-benar acuh kepadaku. Apa yang kalian sembunyikan? Ya, akhir-akhir ini aku kerap kali melihat mereka berdua. Bahkan, melihat mereka menghilang bersama yang tak tahu dimana keberadaannya. Apa benar dugaanku selama ini, mereka saling menyimpan rasa? Sungguh! Ini tak adil. Farah tak pernah memperjuangkan Adam seperti aku memperjuangkan Adam. Aku jatuh bangun untuk kembali memilikinya seperti dulu kala. Aku akan mempertanyakannya pada Adam. semoga keputusanku ini tak salah.
“Dam…” Aku menghampirinya kala ia sedang termenung seorang diri dibawah pohon rindang dekat kantin. Ya, seperti biasa ia hanya menaikkan alisnya. “Ada yang ingin kubicarakan.”
“Apa?”
“Bagaimana perasaanmu padaku sekarang?” Ah! Sial. Aku benar-benar bertanya kepadanya. Biarlah, aku tak ingin dalam ribuan harapannya dan terus mengemis kepadanya akan janjinya. Ah, semoga tak terjadi apa-apa.
“Perasaan? Apa gunanya kau bertanya seperti ini?”
            Ya, tuhan… Aku tak sanggup membendung airmataku jika ini yang terjadi.
“Aku butuh, Dam. Jika seperti ini sikapmu, aku butuh perasaanmu.”
“Tak ingatkah kau saat di rumah sakit? Kepastian bukalah hal penting bagimu, dan aku.”
“Bukankan tak perlu menjadi yang special untuk melakukan hal yang special? Tapi, kau tak lagi melakukan hal yang special itu padaku, Dam.”
                                                             ***
            Langkah kakiku menuju sekolah benar-benar tanpa semangat sedikitpun. Adam yang dulu sangat berbeda dengan yang sekarang. Aku merindukan masa-masa itu. Jika boleh aku kembali, aku ingin kembali ke masa-masa itu. Masa dimana Adam masih menganggapku special dan melakukan hal yang special besama denganku. Astaga, aku teringat percakapan kemarin sore. Aku merasa bersalah telah menanyakan hal itu kepadanya. Memang dulu, aku tak membutuhkan kepastian. Itu semua karena aku masih berpikir Adam akan menepati janjinya dan terus bersikap manis padaku. Jika aku mengingat masalalu, sungguh indah sekali tanpa sebuah kepastian. Semenjak Farah hadir dalam kebahagiaanku dan Adam, semuanya berantakkan dan kepastian itu semakin penting bagiku. Mengapa? Ya, dengan alasan aku tahu, mereka sedang menyembunyikan sesuatu dariku.
            Aku kembali bertanya-tanya pada keadaan. Apa salah, jika aku masih terus yakin dengan janjinya yang sampai saat ini bagaikan kabut? Apa salah jika aku menganggapnya nyata, sedangkan ia hanya menganggapku angin berlalu? Mengapa salah? Aku hanya ingin memperjuangkan cintaku untuknya. Aku hanya ingin suatu saat manuai apa yang sudah kutabur. Aku hanya ingin tetap bertahan untuknya walau ia tak membiarkanku bertahan untuknya. Biarkan aku bertanya kembali pada keadaan. Mengapa perasaan ini tetap ada, bahkan semakin besar, tatkala ia benar-benar tak ingin aku ada dalam hidupnya? Perasaan adalah fitrah, aku tak dapat menyembunyikannya. Lalu, apa salah jika aku menyuruh Farah untuk menjauh dari Adam? Ya! Itu yang dapat dikategorikan kesalahan besar. Aku tak ingin menyakiti hati Farah.
            Ah, cukup. Pertanyaanku pada keadaan membuatku gila. Takkan ada artinya. Ada apa dengan orang-orang? Mereka terlihat begitu antusias. Aku pikir ada hal menarik yang terpampang di mading. Entah mengapa, saat aku berjalan menuju kelas untuk meletakkan ranselku, beberapa orang terlihat menunjukku dan memperlihatkan ekspresi simpati kepadaku. Ada apa? Aku tak terlihat menderita. Berbeda dengan orang-orang di kelasku, mereka terlihat seperti tutup mulut. Matanya juga memberikanku rasa simpati. Hey, ada apa?! Biarlah aku akan mencari tahu sendiri. Tunggu! Sedari tadi, Adam dan Farah sedang menggambar bersama. Farah! Kau sudah merasakannya! Aku yang lebih dulu dan lebih ;ama mengenal Adam, belum pernah mewujudkan cita-citaku untuk menggambar bersama. Masih ingatkah saat aku melihat gambar yang terpasang di mading kala aku pertama mengenalnya? Bukankah aku ingin menggambar berasamanya? Kenapa Farah?
            Tatapan simpati mereka kepadaku semakin terasa. Bahkan, tatkala aku berjalan menuju lapangan basket. Astaga, aku benar –benar tak mengerti apa yang terjadi pada mereka, juga padaku. Apa ada yang salah dengan penampilanku? Mereka membenciku atau menyukaiku? Dimana Adam? Dimana Farah? Lagi-lagi mereka menghilang bersama. Mampu berapa banyak yang mereka sembunyikan dariku? Aku tak sebodoh yang mereka kira. Aku terus mengintai sosoknya. Aku tanyakan kepada beberapa kawannya dan juga kawan Farah. Mereka semua tak melihat batang hidung mereka.

Sabtu, 12 April 2014

Part #18

“Ada apa denganmu ini? Kau terlihat cuek!” Aku memang tak pernah membiarkan wajahku dan perhatianku terlihat cuek padanya. Ya, meskipun sedemikian yang ia perbuat padaku. Jadi, wajar saja jika ia berontak tatkala menerima respon pahitku ini. “Tak inginkah kau membantuku dalam membuat resensi? Kau tahu betul, kan, kelemahanku?”
“Iya, Dam.” Adam menebarkan semyum terimakasih padaku dan meninggalkanku sendiri. Jujur saja, mengapa kala kau membutuhkanku, kau datang padaku? Farah tak dapat membantumu? Ya, aku lebih paham kelemahanmu dibanding Farah. Bahkan, kelemahanmu mendatangiku hanya ketika kau membutuhkanku. Aku menerimamu apa adanya. Bahkan, dengan kelemahan-kelemahan yang kau miliki. Tapi, inikah yang kau lakukan? Kala aku sudah menerima dan menutupi segala kekuranganmu dimata banyak orang, kau pergi begitu saja dan datang bila kau butuh? Lagi-lagi aku menerimanya dengan jeritan tangis yang tenggelam dalam batinku. Kau tak akan tahu itu.
            Jeritan itu semakin menjerit dalam batinku. Setelah aku menerima permohonan Adam dan berpikir segala kekurangannya, apa yang ia lakukan? Pandanganku tertuju pada mereka, Adam dan Farah. Bola mataku focus pada suatu benda berbentuk kotak, berwarna merah marun. Ya, kotak bekal. Tepat pada titik kefokusanku kotak bekal itu melayang dari jemari Farah, lalu ditangkap oleh jemari Adam. Senyuman bahagia terumbar dalam bibir manis mereka. ‘Mungkin mereka tidak melihatmu, Qhey.’ Bagaimana mereka tidak melihatku? Aku tepat berada diantara mereka. Farah tahu perjuanganku selama ini untuk Adam . Tapi, apa yang ia lakukan?! Sungguh! Biarkan aku menjambak rambutnya yang terbalut kain putih. Dukunganmu takkan ada artinya lagi.
            Aku menghilang selama pelajaran Sosiologi berlangsung. Aku berusaha menenangkan diriku setelah kejadian buruk tadi. Sedu-sedan tangisku kembali tak beraturan. Aku tak berani kembali ke dalam kelas. Ya, Tuhan… Apa yang harus kulakukan? Ribuan cara telah kutempuh. Melalui ribuan airmataku yang mengalir, kubiarkan ini menjadi pelampiasan, karena aku tak dapat lagi berkata apapun. Aku biarkan, mampu berapa banyak lagi tetesan ini mengalir.
                                                              ***
            Hari ini waktunya kami untuk mengumpulkan tugas resensi. Jika aku mengingat tugas ini, aku teringat Adam. Syukur saja, aku telah membantunya menyelesaikan tugasnya. Aku mengerjakan tugasnya disela-sela kesibukanku yang sangat sibuk.
“Tugas siapa? Kau membuat dua? Terlalu rajin.” Aku terkejut kala mendengar Meli bertanya sembari membolak-balikan kertas resensiku.
“Yang satu, milik Adam.”
“Ha? Adam?!” Aku melihat ekspresi Meli kala aku menjawab pertanyaannya. “Dia hanya mendatangimu kala ia membutuhkanmu? Aku akan tertawa terbahak-bahak untukmu, Qhey. Dimana pemikiranmu? Aku turut prihatin padamu.” Hanya senyum disertai dengan genangan kelap-kelip dimataku. Meli sangat menunjukkan ketidaksukaannya pada sikapku yang seolah-olah memanjakan Adam. Lalu? Salahkah aku bersikap seperti itu? Biarkan aku melakukan apa yang membuat Adam bahagia. Aku turut bahagia, jika bahagia itu datang dalam diri Adam. Meski, aku merasa sakit.
            Aku menyodorkan kertas resensi miliknya. Wajah bingung ia tunjukkan kala itu.
“Apa?” Hanya memandangi kertas resensi yang telah kubuat.
“Apa maksudmu? Kemarin kau menyuruhku membantu membuatkan tugas.” Ia langsung memalingkan tubuhnya, dan mengambil selembar kertas yang ada dipangkuan Farah.
“Ini punyaku. Mungkin itu punya yang lain.” Aku yang sedang tertawa bersama Meli, tiba-tiba berhenti dan mengubah lekukan indah dibibirku ini menjadi lekukan buruk. Tubuhku kaku, mataku membesar, ada genagan yang menggenang dalam mataku. Betapa teganya Adam. Ia menyuruhku membantunya. Pengorbananku untuk membantunya sama sekali tak ada artinya. Apa maksudmu?! Farah! Mengapa ia diam saja, tak menjelaskan sesuatu kepadaku tentang ini? Sunggguh, kebencianku padanya mulai membukit. Apa yang kau lakukan pada Adam? Kau menggunakan pelet agar Adam mendekatimu dan menjauh dariku? Bahkan, membuatku menderita. Apakah ini salah satu kelemahanmu yang aku tak pernah tahu dan kau menyuruhku untuk menutupinya lagi, Dam?

Sabtu, 05 April 2014

Part #17

Keadaan itu kembali muncul dan membuatku seolah-olah mejadi wanita cengeng dan telah dibodohi cinta.
            Begitu juga dimalam hari, hanya perubahan dalam diri Adam yang selalu muncul dibenakku. Hingga mataku yang hendak terlelap, mulai enggan memejamkan mata untuk tertidur. Rasanya bagaikan tubuhku mati rasa karena banyaknya airmata yang nengalir. Butiran-butiran indah itu nyaris membasahi sarung bantal bergambar Barbieku ini. Dinginnya tetes airmata yang membekas disarung bantalku, membuatku perlahan dapat memejamkan mataku dengan tenang.
                                                             ***
            Mengapa kelas begitu sepi? Terlalu pagikah aku? Biasnya, ketika aku menginjakkan kakiku kedalam kelas, sosok yang begitu istimewa telah bersandar dibangku kesayangannya. Namun, kali ini bangkunya kosong. Tempat itu tak menjadi tempat istimewa lagi. Hanya ada kawan sebangkunya yang sedang membolak-balikkan buku tulis dan mengerjakan pekerjaan rumah yang belum sempat ia selesaikan.
“Adam?”
“Dia bilang, mau berangkat bersama orang lain. Aku telah dilupakannya, Qhey.” Ia mengajakku bergurau. Padahal, aku sedang serius. Mungkin karena seringnya aku bergurau, ia sampai tak percaya dengan keseriusanku ini.
“Orang lain? Siapa?” Aku menghiraukan candanya.
“Entahlah, Qhey.” Kebingungan mulai menghampiriku dipagi hari.
            Aku benar-benar menunggunya di kelas. Bahkan, aku berdiri menunggunya diluar kelas. Aku tak dapat menyembunyikan kerinduanku padanya. Memang baru kemarin kami bertemu. Namun, berbeda seperti dahulu. Aku tak dapat merasakan menjadi miliknya seutuhnya seperti dahulu. Menjadi miliknya walau tanpa sesuatu yang special. Hentakkan kaki itu menghentikanku yang sedang terombang-ambing dalam masalalu yang indahku bersamanya. Aku hafal betul hentakan kaki itu. Ya, itu hentakkan kaki Adam. Tidak! Hentakkan itu menggema dan tidak seperti biasanya. Aku tak berani untuk membalikkan wajahku. Aku takut sesuatu buruk akan membuka pagiku kali ini.
            Rasa rindu yang menggebu-gebu sontak menghilang. Aku benar-benar terperanga kala aku melihat Adam menghentakkan kakinya bersama Farah. Hentakkan asing itu adalah hentakkan kaki Farah. Apakah… Ah, tidak mungkin, itu hanya kebetulan. Tapi, aku kerap kali melihat mereka bersanding bersama. Aku ingat ketika di Mall, ketika kesabaranku mulai diuji. Itu memang kesengajaan mereka. Namun, kali ini bisa saja hanya kebetulan. Mengingat rumah mereka berada satu komplek. Meski hanya sebuah kebetulan, aku tak sadar sedari tadi pipi bulatku ini sudah basah. Aku tak ingin airmata ini mengalir begitu jauh. Aku membiarkan telapak kakiku melewati anak tangga menuju kamar kecil. Aku biarkan butiran ini jatuh begitu deras didalam kamar kecil.
            Aku tak membiarkan tangisan itu menggema. Aku benar-benar hilang. Aku tak tahu apa yang akan kulakukan. Aku tak dapat lagi mengekspresikan perasaan dan keadaanku. Lelah rasanya jika aku tetap bertahan pada seseorang yang tak pernah mengerti aku sedikitpun. Lelah rasanya jika aku tetap bertahan untuk seseorang yang tak ingin berjuang bersamaku. Lelaahh… Perasaanku tak dapat berubah. Keyakinan yang sejak dulu ada pada diriku, hingga kini masih terikat benar dalam hatiku. Layaknya langit yang menjanjikan tetes hujan, namun mentari kembali datang. Dimana janjimu dahulu kala? Itu yang membuatku yakin. Sungguh, sakit. Ya Tuhan, aku tahu kau selalu memberiku kesabaran yang lebih dari mereka yang tak mengerti akan artinya kesabaran. Menahan, menahan, dan menahan. Jika bukan karena keyakinanku, sudah kubunuh Adam agar tak ada siapapun yang menganggunya selain aku.
            Aku kembali kedalam kelas setelah aku merasa lega dan nyaman. Sapaan indah yang biasa Adam sajikan padaku, tak lagi kudengar beberapa hari ini. Beberapa kawanku sempat bertanya dengan perubahan diwajahku. Akhir-akhir ini, aku memang lebih sering memasang wajah Fake. Apalagi, tatkala aku melihat moment istimewa Adam dengan Farah. Ya, aku memasanga wajah berpura-pura. Berpura-pura bahagia diatas kebahagiaan orang yang kusayang. Baiklah, itu adalah segelintir perjuanganku. Bagaimana denganmu Farah? Apa perjuanganmu? Menemaninya bersanding menapakki jalan? Hanya itu? Aku takkan rela.
“Qhey, apakah kau ingat dengan tugas resensi? Bagaimana dengan tugas resensiku?”
“Lalu?” Aku memperlihatkan rasa cuekku padanya.

            

Selasa, 01 April 2014

Part #16

Aku hanya menatapi jalan setapak yang ku iringi dengan hentakkan kecil dari kakiku.
“Tidak. Tau apa kau tentangku?”
“Hey, ada apa denganmu ini? Kau meninggikan nada kalimatmu. Kau pikir tundukkan kepalamu dapat membuatku bahagia?” Ia mendorong tubuhku yang lemas kala kami berjalan diatas aspal menuju sekolah.
            Wanita bertas merah muda itu mendahului langkah kami. “Farah…” Suara itu ikuti dengan hentakkan kaki dengan suara yang berlarian. Ya, Adam berlari menghampiri Farah dan meninggalkanku yang sedari tadi menundukkan kepala. Ya, Tuhan, ingin rasanya aku menjerit. Detak jantungku seolah berhenti kala mereka bersanding dihadapanku yang kesekian kalinya. Tanganku gatal, ingin rasanya menarik dan mendorongnya jauh dari Adam. Aku tahu, lagi-lagi Tuhan masih memberiku kesabaran dan kesadaran. Aku bukan siapa-siapa Adam. itu bukan hakku, aku tak pantas melakukan itu. Aku hanya bisa diam dan bersabar menunggu surga indah yang kelak akan diberikan-Nya. Farah, mengertikah kau bagaimana posisiku? Tidak, kau tidak akan mengerti. Aku yakin kau tahu, tapi pengertianmu itu tidak akan tersadarkan. Aku hanya ingin dimengerti, Farah. Baik, aku memang berlebihan. Itu semua karena aku lelah dengan semua ini. Mereka semua tak pernah berdiri diposisiku.
            Semakin lama, kakiku semakin berat untuk ku langkahkan. Benar-benar tak ada salah satu dari mereka yang memalingkan wajahnya untukku. Mereka tak punya hati? Atau, mereka akan membuang waktu demi memahami keadaanku kala itu? Hey, Adam! Aku ada dibelakangmu. Aku seseorang yang pernah kau janjikan, Dam. Tetap bersamaku adalah janji palsumu. Kalimat itu terus menjerit dalam hatiku. Tak akan ada yang mendengar. Adam sekalipun tak akan mendengar kalimat mirisku ini. Hanya Tuhan.
            Lelah. Aku sangat bosan dengan keadaan itu. Hari-hariku kali ini hanya lelah. Sungguh, lelahku kali ini tak hanya dengan tugas sekolahku, aku juga lelah dengan scenario mereka. Pelajaran kali ini ditutup dengan pekerjaan rumah Bahasa Indonesia untuk membuat resensi. Oke, aku akan melupakan tugas sekolahku sejenak. Siang ini aku harus berlatih Saman Dance untuk mengisi acara disebuah perhelatan akbar sekolah kami. Aku menginjakkan kaki di ruang Saman bersama Farah. Dimana Farah? Ia tidak hadir? Mungkin dia lelah. Tidak. Dia tak akan merasakan lelah yang kurasakan selama ini karenanya. Aku juga tak melihat sosok istimewa dalam hidupku. Dimana dia? Seharusnya, siang ini aku dapat melihatnya berlarian di lapangan basket. Bahkan seharusnya, ia sedang mendrible dan memasukkan bola basket itu kedalam ring yang tinggi. Sudahlah, aku akan memfokuskan diri pada latihanku. Saatnya aku membuktikan, kami layak menjadi yang terbaik. Akan aku maksimalkan latihanku setelah beberapa pertemuan aku tak memfokuskan pikiranku untuk eskulku ini.
            Tetes air mata itu kembali jatuh kian menderas, kala aku menceritakan semuanya kepada Zalfa. Sosok yang tak pernah kembali hadir menjadi konflik dalam perjalanan cintaku ini. Lama sudah aku tak mendengar tentangnya. Aku sempat mendengar, ia kembali menjalin hubungan dengan Rangga. Namun, itu semua kandas ditengah jalan.
“Sudah, Qhey.” Suara lembut itu terlontar dari bibir mungil Zalfa yang dengan erat memeluk dan mengusap punggungku.
“Entah mengapa begitu sakitnya, Fa. Mereka semua tak mengerti perasaanku.” Isak tangis itu benar-benar terdengar. Hingga beberapa adik kelas yang berada disampingku bertanya-tanya.
“Aku mengerti. Tapi, tidakkah kau berpikir? Ini semua membuatmu rusak, Qhey.”
“Rusak? Itu semua hanya perasaanmu saja. Kau hanya perlu menjadi pendengarku, Fa.”
“Aku mengerti, setidaknya kau bisa membatasi diri untuk ini. Tak ada gunanya kau membuang ribuan airmata hanya untuk memikirkannya. Aku tahu, menangis membuatmu sedikit lega. Tapi, sudahlah, Qhey. Tangisanmu takkan berarti apa-apa.”
            Kalimat terakhir Zalfa terus mengelilingi pikiranku. ‘Tak ada gunanya’? Semua orang berpikir begitu. Mereka semua tak pernah berdiri diposisiku. Mengapa begitu banyak orang yang berkomentar, padahal ia tak sedang mengerti posisiku? Sebelum ini semakin terbang tinggi, aku kerap kali membuang ribuan airmataku. Apa yang mereka katakan? Mereka siapa? Mereka yang melihatku dan berkomentar jelek tentangku. Mereka menasihatiku seakan-akan aku bodoh. Telah dibodohi cinta yang tak kan abadi. Berdirilah kalian diposisiku. Aku tak akan berkomentar tentang itu. Belum lama aku merasa lega tanpa nasihat-nasihat itu. Ada saja yang membuat keadaan itu kembali. Bahkan, lebih klimaks dari yang sebelumnya kurasakan.

Senin, 17 Maret 2014

Part #15

Telah kukuatkan seluruh jiwa dan ragaku kala melihat mereka bersanding bersama disepanjang lantai Mall. Aku ada disana bahkan, disamping mereka. Adam tak seperti biasanya. Justru biasanya, ia mengkhawatirkanku tersenggol oleh lelaki lain. Tak ingatkah ketika hari-hari indah dan mengejutkan itu hadir dalam hidupku? Aku tak dapat menghapuskan memori itu dalam ingatanku. Kejadian itu masih tersimpan sangat pekat di otakku. Namun, saat ini? Aku selalu berusaha membuat lekukan indah dibibir mungil ku ini kala pecahan kaca itu menusukku. Aku sadar, aku tak pantas menyalahkan Farah. Tapi, sungguh. Aku tak dapat menyembunyikan kebencianku terhadapnya. Tak ingatkah bagaimana dukunganmu agar aku menjadi kekasih Adam? Isi hatiku yang selalu kucurahkan padamu? Mungkin aku egois jika aku membenci Farah. Namun kenyataannya? Seolah-olah semua ini permainan yang tak kukenali jenisnya. Baiklah, aku tak ingin melempar dadu. Semoga baik-baik saja.
                                                                  ***
“Qhey, aku sedikit melihat kejanggalan dibalik mata mereka.”
“Mereka? Siapa maksudmu?”
“Ah, tidak. Jangan dipikirkan. Bukan hal yang penting bagimu.”
“Aku juga merasakannya, Mel. Aku tak tahu apa yang sedang mereka pikirkan. Hmm… Apakah aku harus menyesali ini?” Aku mulai tenggelam dalam nasihat Meli yang selalu berbobot.
“Apa ada sesuatu yang mereka sembunyikan, ya? Sudah, itu bukan urusanmu, Qhey. Tak penting.” Meli mulai tak menyukai konflikku dengan Adam.
            Tuhan memang adil. Aku hanya ingin tahu, apakah ada seorang yang telah lama kupercaya, tiba-tiba mengkhianatiku? Aku tak ingin banyak hal. Apalagi, untuk menjarak hubungan mereka. Itu bukan hakku. Aku mengerti, sangat mengerti. Semuanya sudah kurasakan dari awal. Sejak pertama kami manginjakkan kaki kami dikelas dua. Tidak, tidak, dan tidak. Hanya itu yang terbang dari bibir mungil Farah. Begitu banyak deret pertanyaan yang kulontarkan tentang Adam. Sangat singkat jawabnya. Aku tak meminta siapapun untuk memata-matai mereka. Aku juga tak menyewa detektif handal dari luar negeri. Namun, ada saja yang memberitahuku, apapun itu. Entah, keadaan, waktu, orang, bahkan tempat sekalipun.
            Seperti yang kukatakan. Semua kalimat sanggahan Farah tentang Adam, sudah basi. Bahkan, tak layak dikatakan. Semua sudah terkuak. Tak ada maksud menuduhnya. Memang pada kenyataannya, Farah yang merubah Adam. Sampai hal yang tak kuduga terjadi pada Adam. Akhir-akhir ini, ia sangat sering melalaikan tugasnya. Bahkan, ia melalaikan aku. Adam telah melupakan janjinya untukku demi Farah.
“Adam…” Kutebarkan senyuman dalam gema sapaanku untuknya. Sebenarnya, aku sedang merasakan abstraknya kanfas yang kusam. Aku tak ingin membiarkan air mataku jatuh terlalu deras, karena ia tak membalas sapaanku. Itu benar-benar sakit. Ia melanjutkan guraunya bersama kawannya. Ada Faqih disana. Ia menyipitkan matanya yang seolah bertanya ‘ada apa denganmu dan Adam?’ Aku sangat memaksakan lekukan indah dibibirku ini terbentuk. Mataku sudah berkaca-kaca yang bisa saja kupecahkan saat itu juga. Namun, aku sempat mengingat perkataan Adam. ia tak menginginkan aku menjatuhkan air mataku karenanya. Tapi, kau sendiri yang membuatnya, Dam.
“Qhey, ada apa dengan Adam?”
“Entahlah. Aku tak mengerti apa salahku.”
“Aku khawatir.” Faqih ternyata memang jatuh terlalu jauh untuk memperhatikan Adam.
“Khawatir?”
“Aku sempat melihat Adam menggenggam ponselnnya . Waktu itu, aku tak sengaja melirik ke arah layar ponselnya. Ia sedang membalas pesan dari Farah.” Aku benar-benar membiarkan butiran indah itu jatuh dipundak Faqih. Sejujurnya, aku tak enak dengan Fitri yang saat ini masih menjadi kekasih Faqih. Namun, apa yang bisa kuperbuat? Kepalaku benar-benar jatuh dipundak Faqih. Kali ini bukan Adam, tapi Faqih. Ia sangatlah sahabat terbaikku. Apapun keadaanku, ia selalu ada untukku. Butiran indah itu membasahi seragam putih yang dikenakan Faqih kala itu.
                                                             ***
            Rrrr… Pagi ini mataku terlihat membengkak seperti seekor panda yang menghabiskan malamnya dengan tetsan air mata. Jika Adam tahu ini karenanya, ia pasti akan memarahiku, bahkan mungkin mencacimakiku.
“Matamu seperti panda. Kau kurang tidur? Tunggu, ini terlihat bengkak. Kau menangis semalaman?”

Sabtu, 15 Maret 2014

Part #14

Aku melihat Farah di Musholla. Sepertinya, aku mengenali rambut dan rompi itu.
“Itu bukannya Adam?” Sontak aku mengedipkan mataku yang sempat tak berkedip.
“Iya, itu Adam. Lihat, itu… Farah.” Jelas bukan hal yang mengagetkanku. Ini sudah tertebak. Sedari tadi, Adam meninggalkanku dan ia menapakki lantai Mall bersama temanku, Farah.
“Qhey, aku mau siapin meja buat kita makan nanti, ya. Aku dan Nara duluan kesana ya. Restaurant Ramen, ya.” Farah dan Nara menawarkan kami.
“Baiklah, nanti berikan aku kabar.” Farah dan Nara bergegas pergi untuk membooking meja.
Jujur, sebenarnya aku sedikit kesal dengan Farah. Entah apa yang ada dipikirannya. Dia mengetahui perjuanganku untuk Adam. Tapi… Aku belum mendapat kalimat yang tepat untuknya. Rasanya banyak sekali tetes air mata yang kusembunyikan. Baiklah, aku menyandarkan tubuhku dibangku restaurant. Kami semua sudah berkumpul bersama. Tunggu, dimana Adam? Kali ini Adam tak menghilang bersama Farah. Justru, ia menghilang bersama kawan terbaiknya. Ia kembali pulang lebih dulu? Tidak mungkin. Ia tak pernah membiarkanku tanpanya.
Aku segera bangkit dari kenyamananku di bangku restaurant. Aku khawatir dengan Adam. “Sebentar, ya. Aku mau ke toilet.” Aku sempat berpikir untuk alasan yang lebih logis. Tapi, nihil. Aku hanya bisa melontarkan kalimat itu. Dengan sigap, aku pergi untuk mencari Adam. Kala itu, Farah juga pamit untuk pergi keluar bersama Naza. Kulangkahkan kakiku disetiap sudut Mall. Aku sama sekali tak melihat batang hidungnya. Hentakkan kakiku juga terdengar. Bahkan, kehawatiran diwajahku.
Pecuma, tak kudapatkan ia kembali. Entah kemana makhluk itu perginya. Aku menyerah mencarinya. Mengapa tak mengirim pesang singkat? Sudah banyak pesan singkat yang kukirim. Tak ada satu pun yang dibalasnnya. Langkah kakiku sampai kembali didepan restaurant ramen. Adam telah bersantai disamping Meli. Ah, sungguh kejam. Tapi, Farah telah kembali. Apa yang mereka rencanakan dibelakangku? Sungguh tak habis pikir. Apa mereka menghentakkan kaki bersama kembali?
“Kau, mengkawatirkanku saja!” Suara pelan itu tak kubiarkan menggema seperti biasa. Aku hanya menyenggol lengannya. Jika biasanya aku menyubitnya, aku takkan melakukannya dihadapan Farah. Tak seperti biasanya, kali ini Adam hanya melontarkan ekspresi sinis kepadaku. Ada apa dengannya? Apa yang membuatnya kembali layaknya ia tengah mengincar Zalfa? Apa ia bosan denganku? Apa ia sedang mengincar yang lain? Farah? Ah, tidak mungkin. Farah teman baikku. Ia tak mungkin setega itu.
            Ingin rasanya aku menjerit, menangis, dan berontak ketika melihatmu mengambil gambar bersama Farah dihadapanku. Memang aku bukan siapa-siapamu. Menjadi orang penting dalam hidupmu juga belum. Tapi, sudah banyak yang kuperjuangkan untuk mu, Dam. Tidak dengan Farah. Seolah-olah aku yang berjuang untuk kebahagiaan mu dan Farah. Aku semakin diuji. Bukankah aku telah berjanji padamu jika aku takkan meninggalkanmu? Aku akan menepatinya. Ku eratkan sabuk pengaman yang belum lama kulepaskan. Aku melihat ada kebohongan dalam diri mereka. Ya, aku tertawa dibalik penderitaanku sendiri, demi kebahagiaan orang lain. Meski aku membohongi diriku sendiri.
                                                            ***
            Lelah. Hanya itu yang dapat mendeskripsikan keadaanku. Lelah fisik, bahkan lelah hati. Itu semua terasa kencang setelah aku menghabiskan setengah hariku bersama kawan baruku. Entah mengapa, ketika aku ingin membangkitkan tubuhku yang sedang bermanja ini , ada sesuatu yang membuat perasaanku berantakan. Baiklah, mengingat kejadian kemarin. Jujur saja, aku merasakan perubahan besar dalam diri Adam, hampir seratus persen. Mungkin itu yang membuat perasaanku tak karuan. Ia tak peduli denganku. Entah apa yang terjadi dengannya. Aku juga bertanya padaa diriku sendiri ‘apa salahku?’. Bahkan, keindahan yang dulu sempat kumilikki tak lagi kurasakan. Semua yang membuat dirinya tampak lebih sempurna tak pernah lagi kurasakan.
            Bagaimana jika Adam menyimpan rasa kepada Farah? Bagaimana jika Farah memiliki perasaan yang sama? Mengapa pertanyaan itu menghantuiku. Tak mungkin jika Farah melakukannya. Tega sekali dia. Jelas-jelas dia belum mampu melupakan kekasihnya yang baru saja mengakhiri hubungannya. Tapi, ia benar-benar telah mengambil posisiku. Bahkan, saat di Mall. Mereka bersanding bersama dihadapanku. Adam terlihat tak lagi memikirkan perasaanku. Berbeda kala wanita junior berkawat gigi yang menyukainya, Adam mengingatkan akan janjinya kepadaku. Farah? Ia biasa saja. Tak ada beban dalam mimic wajahnya.

Selasa, 11 Maret 2014

Part #13

Adam memintaku untuk mengajarkannya. Aku melihatnya sedari tadi guru kami menerangkan, ia malah bergurau dengan sahabat barunya. Aji. Bahkan, tanpa rasa dosanya, ia tetap saja bergurau disetiap goresan angka yang ia goreskan di bukunya. ‘
“Lihat, Qhey! Wajahmu tampak seperti ini… Hahaha…”
“Dam, apa maumu?” Ia menggambar sebuah wajah, lalu ia membandingkannya denganku. Makhluk ini benar-benar menyebalkan. Jika aku tak menyukaimu, sudah kubunuh kau. Untungnya itu semua terkalahkan dengan perasaanku.
            Karena sekolah kami menerapkan system pindah kelas disetiap pelajarannya atau sering disebut dengan Moving Class, kami kerap kali berkeliaran disekitar sekolah. Tapi, aku melihat pemandangan yang berbeda. Dibangku pinggir lapangan ada Farah dengan teman-temannya dan wanita junior kawat gigi yang tak kukenal namanya. Adam memilih duduk bersanding dengan Farah? Aku dan Meli membiarkan tubuh kami melintas dihadapan mereka. Kudengar gelak tawa dari mereka. Saat kami melintas, Adam sama sekali tak menyapaku. Jangankan untuk menyapa, melirik pun sama sekali tidak.
            Kelas yang ingin kami tempati sudah kosong. Kali ini waktunya pelarajan Ekonomi. Entah ada apa dengan guru cantik yang satu ini. Ia langsung memberikan kami tugas dan harus dikumpulkan pada saat itu juga. Tak seperti tadi pagi, kali ini aku melihat Adam menanyakan soal pada Farah. Bahkan, Adam duduk dihadapan Farah. Hey! Aku mengerti tentang soal yang kau tanyakan, Dam.
“Qhey, apa kau mengerti maksud soal ini?” Farah tak mengerti, Dam. Mengapa kau bertanya pada orang yang tak mengerti.
“Sebentar, aku hitung dulu, ya.”
“Sana, sama Qheyla.” Aku mengdengar Farah menyuruh Adam untuk mengerjakan bersamaku. Tapi, aku melihat sesuatu yang kembali berbeda dengan Adam. Ia membiarkan tubuhnya semakin erat dengan bangku yang ada dihadapan Farah. Aku memang sedikit merasakan cemburu. Namun, biarkanlah itu hak Adam. mungkin Adam sedikit tertarik dengan kepintaran Farah.
“Kalian berdua cocok. Aku menyukai jika kalian bersatu.”
            Aku sering mendengar kalimat itu keluar dari bibir Farah. Bahkan, ketika aku mencurahkan isi hatiku kepadanya, kalimat itu menjadi kalimat yang wajib ia ungkapkan kepadaku. Seringnya ia mengatakan itu membuat aku bosan mendengarnya.
                                                              ***
            Kelas baru, teman baru. Kami akan menjadi satu kesatuan di kelas baru dengan wajah yang baru pula. Memang tahun ini liburan berjarak sangat dekat, kami sekelas menyempatkan diri untuk menghabiskan liburan bersama. Kami akan menyaksikan film terbaru di bioskop.
            Mungkin kami datang terlalu pagi. Itu semua kami lakukan untuk menghindari kemacetan. Bioskop belum buka kala itu. Kami pun menunggunya disalah satu Café didalam Mall tersebut. Ada yang berbeda dari Adam. Entah mengapa, perbedaan itu sudah kurasakan ketika tertariknya Adam belajar bersama Farah. Rasa takutku mulai menggelora kala itu. Nafasku tak beraturan ketika aku menatap masing-masing pasang mata mereka. Ketakutanku bukan karena junior berkawat gigi itu. Tapi, Farah.
            Saat di Mall, kesabaran dan ketegaranku mulai diuji. Aku tak tahu ada apa denganku. Adam sama sekali acuh denganku. Seolah-olah, posisiku telah direbut dengan Farah. Ada apa dengamu, Dam? Ia seperti menjauh dariku. Tak ingin bersanding bersamaku disepanjang jalan. Ia seperti mengejar kemana pun Farah melangkah. Bahkan, Adam yang sebelumnya ingin menyaksikan bioskop besebelahan denganku, ia justru bersebelahan dengan Farah. Padahal, aku sudah melarang Meli untuk duduk disampingku hanya untuk Adam. Benar-benar bagai bintang disiang terik. Tak ada gunanya langit dan bintang bersama jika ada matahari. Benar-benar tak seindah dahulu.
“Mel, lihat Adam?”Aku mengintai sosok yang perlahan mulai hilang dari sampingku, bahkan hidupku.
“Iya, aku tak melihat rambutnya yang mengembang itu, Qhey.”
“Shalat dulu, yuk.” Aku mengajak Meli untuk sholat di Musholla Mall. Adam dan Farah sudah berada disana. Mereka bersanding bersama selama di Mall? Baiklah, kuselesaikan dulu kewajibanku sebagai muslim. Aku lupakan masalah ini sejenak. Mungkin, setelah aku selesai shalat, aku merasa lega.

Sabtu, 08 Maret 2014

Part #12

 Baiklah, aku belum menemukannya untuk kali ini. Biarkan ia berkeliling-keliling sekolah. Kali ini pandanganku akan kufokuskan pada daftar nama dan kelas di mading. Aku memilih IPS sebagai jurusanku. Bukan karena aku bodoh dipelajaran IPA. Tapi, karena aku memang tertarik dengan semua pelajaran dijurusan IPS. Betapa bahagianya aku, aku kembali dipertemukan dengan Meli. Ia adalah kawanku di kelas awal ketika kami junior. Aku tak begitu akrab dengannya. Tapi setidaknya, ia mengetahui hubunganku dengan Adam dan ia akan mendengarkan curhatanku tentang Adam.
“Mel, kita sekelas. Duduk bersamaku?” Aku memberanikan diri untuk memberikan penawaran.
“Ide yang bagus. Semoga menyenangkan…” Aku rasa Meli menyetujui penawaranku. Kau akan menjadi pelabuhan isi hatiku, Mel. Tak perlu khawatir. Aku dan Adam, baik-baik saja. Bagaimana aku tak kaget, Meli menunjuk lelaki di kelas baru kami. Adam satu kelas denganku. Kebahagiaanku semakin bertambah. Aku akan lebih dekat dengan Adam. Lebih baik teman rasa kekasih dibanding kekasih rasa teman. Leganya hatiku, bisa menjaganya dari ancaman junior yang lebih cantik dibandingku pastinya.
            Bagaikan bintang disiang yang terik. Memang langit terlihat lengkap karena bintang. Namun, apa gunanya bintang disiang hari jika ada matahari? Farah. Wanita bertubuh sekal, berkulit hitam manis, cantik, bahkan aku melihat kepintarannya dari wajahnya. Ia adalah murid alumni junior kelas sebelah. Tak terlalu terkenal sepertiku. Agak tertutup untuk kehidupannya.
“Cie, akhirnya sekelas juga kamu sama Adam. Masih gantung? Atau sudah… hahaha…” Hampir semua teman-temanku tahu hubunganku dengan Adam. Bahkan, mereka yang satu kelas denganku atau pun tidak kerap kali menanyakannya kepadaku. Aku dapat berkata apa? Jika aku mengatakan yang sesungguhnya, mereka akan tahu seluk beluk hubungan kami. Hanya senyum yang ku lontarkan. Begitu juga dengan Farah, ia mengetahui hubunganku dengan Adam. Aku memang bersatu dengan Adam. Namun, dapatkah menjanjikan sesuatu? Kadang aku perpikir mereka yang menanyakan status kami, mereka telah menyakiti perasaanku bahkan meledekku. Baiklah, itu hanya gurauan semata.
            Lalu, ada apa dengan Farah? Farah menjadi masalah besar dalam hubungan tanpa kepastianku dengan Adam. Jujur saja, aku sangat nyaman berteman dengannya. Ia sangatlah baik. Bagaimana aku tak merasa nyaman dengan Farah? Setiap kali aku murung, ia selalu menghampiriku dan bertanya tentang masalahku. Jelas saja aku tak senggan bercerita dengannya. Ia juga merespon dengan baik. Kadang, ia menjadi terbawa suasana karena ceritaku. Tak hanya itu kedekatan kami, kami mengikuti ekskul yang sama di sekolah. Ketika kami sedang menjalani rutinitas ekskul, kami sangat dekat. Tak jarang kami makan siang bersama. Lalu?
            Apakah aku dan Adam semakin dekat seperti dahulu? Layaknya sepasang kekasih yang baru memulai hubungan? Aku sempat berpikir begitu. Tak hanya aku, semua kawanku juga sempat merasa lega karena Adam dan aku sudah bersatu. Dulu, aku memang sering mengeluarkan air mata karenannya. Jadi, betapa leganya kawan-kawanku tatlaka mengetahui aku satu kelas dengannya. Memang kenyataannya, aku dan Adam semakin dekat. Tapi, tidak dengan tempat duduk. Bak Adam di Sabang, aku di Merauke. Kami saling mengujung. Meski begitu, apapun caranya, aku masih tetap bisa memandangi wajahnya yang tampan.
                                                                 ***
            Sempat kukatakan, aku sangat benci pelajaran semacam Matematika. Itu dapat membuatku frustasi. Entah apa yang membuatku menyukainya ketika aku duduk dibangku SMA kelas dua. Aku memang ingin menunjukkan perubahan pada diriku. Perlahan, kumulai menikmati indahya ukiran angka-angka mematikan itu. Meli mungkin bertanya-tanya dengan perubahanku. Baiklah, aku akan jujur. Dulu, setiap kali perlajaran Matematika, aku selalu dikelilingi perasaan malas. Aku selalu acuh dengan angka-angka mematikan ini. Ketika ujian pun, kubiarkan soal yang kumiliki rusak tak karuan. Kertas soalku hanya berisi coretan gambar dan keluhan-keluhanku.
“Kerjakan LKS Matematika halaman 6. Bapak mau turun kebawah sebentar, ya.” Kali ini, aku tak lagi malas mendengar pengajar Matematikaku berkicau. Bahkan, aku sibuk bolak-balik untuk bertanya.
            Dengan semangat yang penuh, kubuka LKS Matematikaku dan mengerjakannya setelah Pak Guru menerangkan sebelumnya. Kubolak-balikkan lembar demi lembar. Adam menghampiriku.

Rabu, 26 Februari 2014

Part #11

“Sepi, nih.” Aku mendapat sebuah pesan singkat dari Adam. Lagi-lagi aku harus menjenguknya. Aku tak ingin menkajak siapapun. Jarang-jarang aku menikmati moment seperti ini.
            Kali ini, aku memasuki pintu rumah sakit dengan membawa makanan kesukaanya. Sebelum menuju ke rumah sakit, aku menyempatkan diri memasak untuknya. Aku meracik bumbu demi bumbu untuk makanan kesukaan Adam. Sayur Asam dengan taburan ikan teri kecil goreng diatasnya. Untung saja, hari ini adalah hari libur. Sehingga mudah bagiku untuk menghidangkan makanan kesukaanya. Kusajikan makanan ini disebuah piring. Ia menyuapkan sendok demi sendok ke bibirnya. Hingga tiba saatnya, ia melakukan hal konyol. Ia melayangkan sendok itu kearah bibirku. “Hey! Mana bisa seseorang yang sedang sakit menyuapi orang yang sehat. Tapi, kau sudah besar aku tak perlu melakukannya untukmmu.” Aku tertawa geli kala itu. Jelas saja ku dorong sendok itu kembali ke mulutnya. Lahap sekali ia memakannya. “Entah bagaimana dengan rasanya. Aku harap tak akan terjadi sesuatu padamu.”
“Hahaha… Enak, Qhey. Kuhargai perjuanganmu. Perjuangan ibumu, tepatnya. Wanita sepertimu mana bisa memasak masakan seperti ini. Impossible, Qheyla. Sampaikan salamku untuk ibumu. Wanita yang telah meluangkan waktunya untuk memasak makanan kesukaanku.”
“Kau pikir aku wanita macam apa, Dam? Masak seperti ini saja tak bisa? Bukan Qheyla namanya. Ibuku? Hey! Kau menyukai ibuku?” Aku melayangkan ekspresi sinis kepadanya.
“Iya, jelas ibumu. Wanita berhidung pesek mana bisa menghirup harumnya masakan? Wanita bermata sipit mana bisa melihat porsi bumbu masakan? Wanita berbibir kecil mana bisa meraskan makanan? Hahaha…” Adam sangat senang meledekku, tawanya sangat puas. Kejamnya kau Adam!
“Segampang itu kau meremehkanku, Dam?”
“Tapi, kau tahu kelebihanmu?”
“Apa itu?” Sungguh, aku sangat muak dengan leluconnya.
“Kau dapat membuat hatiku meleleh dengan cepat. Seperti ice cream yang di letakkan dibawah sinar matahari.” Astaga! Ini bukan lelucon, Dam. Aku tak tahu harus tertawa atau membunuhmu.
            Tawa kami menggema di kamar Adam kala itu. Bahkan, ia tak sadar telah menghilangnya semua isi yang ada dipiring tersebut. Syukurlah, perutnya kembali terisi. Entah petir apa yang ada dalam diriku sehingga mudahnya…
“Apa kau masih berharap Zalfa?” Tuhan, mengapa kau biarkan kalimat lancang ini keluar dari mulutku?
“Percayalah, Qhey. Zalfa hanyalah serpihan masalaluku. Kau mengkhawatirkannya? Lalu, jika aku bertanya. Bagaimana dengan kepastian?” Mutiaraku sudah menggenang dikantung mataku. Sungguh, aku tak dapat menahannya. “Kau takut? Jawab, Qhey.”
“Apa harus ada kepastian? Aku takut, Dam.”
“Akupun begitu. Sebenarnya sulit rasanya aku mengatakan ini. Aku juga tak ingin memilikimu saat ini. Aku memang mencintaimu, Qhey. Takut jika esok tak lebih indah dari hari ini.”
“Kita akan baik-baik saja, Kan?” Sungguh, aku tak dapat berkata apa-apa lagi. Hanya itu yang ada dalam benakku.
“Percayalah. Kau bilang kepastian itu bukan hal penting. Ya, kita akan baik-baik saja, Qhey. Bukankah, tak perlu menjadi yang special untuk melakukan hal yang special? Meski aku mencintaimu dank au mencintaiku. Baiklah, tak perlu ada kepastian.”
            Mutiaraku tak dapat ku tahan. Kubiarkan mutiara itu berjatuhan di bahu Adam. “Aku tak senang kau menangis, Qhey. Janganlah menangis karenaku.” Sore itu, aku benar-benar tenggelam dalam dekapannya yang hangat.
“Hari ini, kita terakhir bertemu, Dam. Besok sudah libur panjang.” Aku mulai mencairkan suasana.
“Kita tetap selalu berdekatan.” Senyumnya di rumah sakit mengakhiri tahun ajaran di sekolah kami kala itu.
                                                                        ***
            Satu tahun telah kami lewati. Jelas saja aku dan Adam tak lagi menjadi murid terjunior. Kami sudah memiliki adik kelas. Ada yang menarik wajahnya, ada juga yang membosankan. Bahkan, menakutkan. Aku harus waspada menjaga Adam. Meskipun belum ada hubungan kepastian bagi kami. Banyak wanita junior yang lebih cantik dariku.
            Seperti yang kukira diawal aku bertemu sosok Adam yang dulu kukira ia adalah seorang kapten basket. Diawal ajaran baru ini, ia kerap kali bergabung dalam Club Basketball. Ia selalu berlatih disore hari, setelah kegiatan belajar habis. Klub ini tak hanya untuk kalangan tertentu. Artinya, terbuka untuk semua kalangan. Bahkan, jika petugas sekolah ingin bergabung juga terbuka. Namun, petugas sekolah kami sangat mengerti akan artinya umur bagi mereka. Terbuka. Tak hanya lelaki berotot saja yang bergabung. Yang tak punya otot pun bisa bergabung. Tak hanya lelaki saja, siswi remaja pun banyak yang bergabung. Termasuk junior kami.
            Perkiraanku benar. Adam memang lelaki paling tampan di sekolah. Bagaimana tidak? Berawal dari wanita junior yang bermata sipit, berkulit putih, dan berkawat gigi. Aku mendapati wanita itu mengagumi Adam. Sungguh, rasa cemburuku tumbuh kala itu. jelas saja aku menyimpan cemburu yang dalam. Aku tak pernah memiliki Adam, meski kami sudah sangat dekat. Aku takut, takut jika wanita cantik itu dapat memilikinya tanpa perjuangan yang kuperjuangkan selama ini. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku melarang wanita itu untuk menyukai Adam? Tidak, aku tak berhak melakukannya. Adam bukan siapa-siapaku. Bisa-bisa Adam membenciku. Ekspresi sinis kerap kali ku tunjukkan kala aku melihat mereka bersama. Mereka satu klub basket. Kekhawatiranku benar-benar tak dapat ku sembunyikan.
“Tak usah pasang wajah sinis ketika kami bersama.” Adam menghampiriku yang sedang duduk dipinggir lapangan basket. Kala itu, aku sedang memperhatikannya berlatih. Wajah sinisku terlihat ketika mereka bersendau gurau bersama.
“Apa? Bagaimana tidak? Bagaimana kalau kau menyukainnya? Bagaimana jika kau melupakanku?” Aku sedikit menaikkan nadaku.
“Tak perlu khawatir. Kau berlebihan, dia adalah junior. Mana bisa aku menyukai junior? Percayalah, ingatlah janjiku. Aku hanya berteman.” Banyak sekali usaha Adam untuk meyakinkanku akan janjinya.
“Padahal, kau tidak begitu tampan.” Ia menghancurkan jilbabku yang tak pernah berantakan dan langsung mengambil bola basket untuk memasukkannya ke ring.
            Kami kembali ke rumah bersama dan melupakan beberapa gelintir wanita junior yang mengagumi Adam.

“Apa tadi kau bilang? Aku tak begitu tampan? Tak mungkin kau menyukaiku jika aku tak begitu tampan.” Ketampanan Adam menutup sore yang senja kala itu.
                                                           ***
           Pagi ini aku mengintai sosoknya. Hampir disemua sudut sekolah ku pandangi. Setelah satu tahun kami lewati, banyak sekali rintangan, banyak pula pelajaran yang kudapati.

Minggu, 23 Februari 2014

Part #10

            Setelah suster cantik itu pergi meninggalkan kami, aku menyendokkan sedikit demi sedikit porsi untuk Adam. Kala itu, Adam tersenyum tanpa henti. Mungkin, karena perkataan yang dilontarkan suster cantik tadi. Awalnya, ia enggan memakan makanannya. Menunya ikan, Adam tak menyukai ikan.
“Sakit aja masih bisa pilih-pilih makanan. Ga boleh begitu. Cepat makan.” Ku biarkan suara itu menggema dalam ruangannya dan mulai menyodorkan piring berisi sepaket lauk itu. Ia tak lekas menyuapkan sendok demi sendok ke mulutnya. “Apa?” Wajahnya memelas dan matanya menatapku. Aku mengerti maksudnya. “Sudahlah, Dam. Sudah besar, haruskah aku yang menyuapimu?” Dengan terpaksa ia memasukkan nasi kedalam mulutnya. Tetap saja, tanpa ikan. Biarkanlah, asalkan perutnya terisi, dapat sedikit membuatku lega.
“Aku sudah kenyang, Qhey.” Adam mulai mengeluh dan mengaduk-aduk isi piringnya.
“Yasudah, jangan dipaksa. Minum obatnya.” Aku rasa, porsi untuk orang yang sedang sakit itu sudah lumayan banyak. Aku merasakan kebahagiaan tersendiri dapat merawat Adam.
            Ia membiarkan bulatan pahit itu masuk kedalam mulutnya, bahkan kedalam perutnya. Sesekali aku meliriknya, ia memandangiku yang sedang bermain gadget. Hey! Mengapa kau merebut mainanku?! Tapi, tak seperti biasanya. Jika ia merebut mainanku, ia pasti memainkannya. Kali ini, ia menaruhnya di meja dekat kasurnya. Kebingungan mulai mengelilingi pikiranku. Sontak ekspresi dan suasana pada saat itu menjadi serius.
“Qhey…” Mataku sama sekali tak berkedip. Sedangkan matanya, ingin sesuatu terungkap kala itu. Ada apa dengannya?
“Ada apa? Mengapa kau merebut gadgetku?” Perlahan, aku mulai membaca pikirannya.
“Gak capek begini terus?”
“Apa maksudmu?”
“Aku butuh kepastian. Aku yakin, kamu juga pasti membutuhkannya, Qhey. Kita sudah dekat lama. Bahkan, perasaanku lebih padamu.” Jantungku kembali berdegup. Tuhan, bagaimana ini? Apakah aku menyakitinya? Bantu aku. Ia menggenggam tanganku dengan erat. Hangat sekali. Bagaimana jemari ini dapat kurasakan lebih dari genggaman sebelumnya? Padahal, kali ini terdapat infus di tempurungnya.
                                                            ***
            Perasaan khawatir, bingung, serba salah, bahkan tak enak kurasakan kala itu. Semua ini kulakukan demi menjaga hubungan kami. Jika kami melanjutkan, aku khawatir kami tak akan sedekat ini. Apa kau memikirkannya, Dam? Saat ini, aku tak ingin kepastian. Percayalah pada janji itu. Mungkin, Adam pun tak ingin mengatakannya. Tapi, mulut menolaknya dan hati Adam membuarkannya. Sebelum aku meninggalkannya, ia memberi sebuah dekapan untukku. Aku merasakan kehaangatan itu lagi, sangat tulus. Aku yakin, Tuhan punya rencana lain untuk aku dan Adam. Pasti yang terbaik, aku yakin. Kita akan baik-baik saja meski tanpa kepastian, kan?
“Ingat janjimu.” Percayalah padaku, Dam.
“Kau juga, Dam.” Kutinggalkan satu parsel buah-buahan untuknya.
            Cukup lama Adam tak masuk sekolah. Banyak pula tugas yang harus ia tanggung. Meski aku tak satu kelas dengannya, tak salah bagiku untuk membantunya. Aku mencari tahu tentang tugas dikelasnya. Dari mulai yang mudah, hingga yang rumit sekalipun. Zalfa yang telah lama dicintaimu saja tak pernah peduli denganmu, Dam. Bagaimana denganku yang baru sebentar kau cintai? Bukan masalah yang besar untukku, Dam.
            Satu demi satu kumulai mencari tahu tentang tugasnya. Adam tak tahu seberapa sibuknya aku membantunya mencari tahu tentang tugasnya. Mungkin, Adam merasa lebih senang jika Zalfa yang melakukannya. Ah, sudahlah. Aku tak peduli.

Kamis, 20 Februari 2014

Part #9

Hari ini sekolah kami masuk seperti biasa. Setelah kemarin diliburkan, aku dan Adam tak berangkat bersama. Aku tak sabar ingin melihat wajahya. Sudah lama rasanya aku tak melihatnya. Padahal, baru semalam menjelang tidurku aku memandangi gambarnya di ponselku. Sepasang mataku selalu mengarah kepadanya. Aku tak tahu, pelet apa yang telah dipasangnya. Aku merasa, bak magnet bertemu magnet. Ada tarikkan yang selalu mengarah untuknya. Namun, kemana lelaki magnet itu? Tak terlihat sedikit pun batang hidungnya.
“Mana Adam?” Kali ini aku memfokuskan pandanganku kepada teman terbaikku, Faqih.
“Adam? Kurang tau, Qhey. Aku gak lihat dari tadi.” Magnet itu semakin kencang. Tarikkan itu membuatku tak dapat menahannya. Kemana Adam? Aku merindukanmu.
            Hari-hariku kali ini sangat sepi. Layaknya semut yang kehilangan rombongannya. Baiklah, aku akan memberanikan diri untuk menanyakan kabarnya melalui pesan singkat. Lama sekali ia membalasnya. Kemana makhluk ini? Ah, aku muak menunggunya,. Ia tak kunjung membalas pesan singkatku. Kekhawatiranku mulai melonjak ketika ia mengacuhkan pesan singkatku dan Zalfa menghampiriku dengan wajah yang cemas.
“Qhey!!!” Tarikan nafasnya seperti balon yang bocor. Tak dapat di tahan hembusannya.
“Iya. Kenapa? Santai, Fa…”
“Adam masuk rumah sakit, ya?” Adam? Di rumah sakit?
“Apa? Kamu tau dari mana?”
“Tadi dia menghubungi dan mengabarkanku tentang keadaannya.” Ya Tuhan, mengapa Zalfa? Seberapa pentingkah Zalfa untuknya? Aku tak hanya ingin diingat. Tapi, perlakukanlah aku sama pentingnya seperti Zalfa untukmu. Dadaku sesak, saat aku tahu Zalfa adalah orang pertama yang tahu tentang keadaan Adam. Bahkan, Faqih pun tak tahu. Hanya senyuman kekhawatiran yang dapat ku berikan pada Zalfa kala itu.
            Kuarahkan ponselku untuk menghubungi Adam. “Adam? Kamu sakit? Sekarang bagaimana?” Syukurlah, ia mengangkat teleponku.
“Iya. Kok tahu?”
“Aku tahu dari Zalfa. Tadi dia membertahuku.”
“Astaga! Wanita manis itu memberitahumu? Sungguh, benar-benar tak dapat menjaga rahasia.” Adam? Kau sedang berbicara dengan orang yang ingin dikatakan penting dalam hidupmu.
“Baiklah, cepatlah kau sembuh agar kita dapat bermain bersama.” Adam dan aku segera mengakhiri perbincangan kita. Aku sedikit shock saat Adam mengatakan ‘wanita manis’. Aku tahu, aku memang tak seberapa pentingnya untuk Adam.
            Aku baru saja mendapat kabar bahwa Adam dirawat di Rumah Sakit Kasih Bunda. Rumah sakit itu jauh dari tempat tinggalku. Aku ingin melihatnya. Ya, meski mungkin bukan aku yang diharapkannya. Tapi, Zalfa. Bagaimana aku bisa menjenguknya? Jadwalku sangatlah padat. Adam cepatlah sembuh, aku benar-benar merindukanmu. Kali ini aku tak peduli seberapa pentingnya aku untukmu. Aku akan terus berdo’a untuk kesembuhanmu.
                                                            ***
            Warna langit hari ini masih terlihat jingga. Aku memutuskan untuk absen dalam rapat OSIS. Ini kulakukan untuk Adam. Aku akan menjenguknya disana. Hanya sendiri. Aku sempat mengajak Zalfa, yang mungkin Adam harapkan kehadirannya. Namun, Zalfa menolaknya. Adam tak lebih penting dari kegiatan pribadinya. Lambat laun, aku akan menjadi orang penting dalam hidupmu, Dam. Aku yakin.
            Aku menginjakkan kakiku kedalam rumah sakit. Lantai demi lantai kulewati dengan lift. Ya, aku sudah berada tepat didepan kamar Adam. Kamarnya VIP, tak ada pasien lain selain dirinya. Perlahan, ku ketuk pintu kamarnya. Aku menembusnya secara perlahan. Senyuman itu menjadi pembuka kehadiranku. Kosong. Tak ada orang. Hanya ada Adam yang terbaring lemah dengan selang berjarum di tempurung tangannya.
“Adam? Sendiri?”
“Iya. Sini, temenin. Ibu pulang sebentar nganter Aza. Kasihan dia. Lagipula, aku tak serparah yang kau pikirkan. Tak usah mengkhawatirkanku”
“Bagaimana mungkin ini tak parah? Apa yang dokter katakan?”
“Nyamuk nakal itu lebih menyukaiku. Mereka mencintaiku lebih darimu, Qhey.”
“DBD? Aku tak sedang mengajakmu bergurau, Dam.”
            Aku hanya dapat memandangi wajahnya yang masih pucat pasi. Ingin rasanya kubiarkan ia tenggelam dalam dekapanku. Tak ada pembicaraan antara kami. Seperti biasa, hanya tubuh kami yang berbicara. Sedang mulut kami, kaku bukan kepalang. Moment ini sangat indah. Seorang suster masuk kedalam kamar Adam. Suster cantik berambut panjang yang di kuncir kuda itu memberikan jatah makan kepada Adam. “Oh, saya pikir tak ada orang. Syukurlah jika kekasihmu datang, Tuan. Serasi sekali.” Hampir kubiarkan bola mataku keluar dari sarangnya, ketika mendengar suster cantik itu berbicara berbicara seperti itu. Jangankan kekasih, menjadi orang penting dalam hidupnya saja belum.

Sabtu, 15 Februari 2014

Part #8

            Dengan cepat aku menyadarkan diriku dari lamunan itu dan memasuki istana kecil Adam. Aku sempat berpikir, wajarkah jika aku masuk kedalam rumah Adam? Adam pikir itu hal yang wajar, aku pun berpikir begitu juga. Selagi kami tak hanya berdua dan melakukan hal yang bodoh. Faktanya pun, kami tak akan melakukan hal bodoh. Saat aku memasuki pintu rumahnya, aku disambut dengan sebuah lukisan bercatatan kaki, ‘Adam’. Apa? Bagaimana bisa Adam melukis sebagus ini? Tapi memang benar adanya, ini adalah lukisan Adam.
“Itu lukisan terburukku. Mamah yang memasangnya disini. Sebernarnya di pasang tanpa persetujuanku.” Ia menepuk pundakku selama aku memandangi lukisan indah itu. Lukisan itu benar-benar indah. Lukisan itu beralaskan kanvas. Sebuah lukisan pemandangan. Aku tak tahu apa maksud lukisan itu, tapi kurasa lukisan ini memiliki arti. “Itu ada maknanya lho.” Apa yang sedang ku pikirkan ia menjawabnya.
“Ohya? Bagaimana bisa disebut lukisan terburuk? Wow, apa itu?”
 “Lihat bagian ini, warnya pudar. Satu kesalahan, akan berakibat kepada keseluruhan. Itu tempat yang indah. Banyak kenangan di tempat itu. Aku dan Zalfa pernah berkunjung ketempat itu, ia memintaku untuk melukis tempat itu. Lalu ia bernyanyi dengan alat music favoritnya, biola. Hmmm… Sungguh ingat. Ah, aku jadi sedih.”
            Sakit, Dam! Cukup! Aku tak lagi merespon kritikmu tentang lukisanmu. Jika begitu adanya, aku tak akan memintamu untuk menceritakannya. Sesaknya dadaku mulai terasa. Sontak sepenggal ceritanya membuat ku ingin menangis pada saat itu juga. Tapi, bukan guyon jika aku menangis di hadapannya. Tak ingatkah kau Adam? Kau pernah mengatakan hal manis kepadaku.
“Maaf, Qhey. Udah ga usah dipikirin, kan, aku janji.” Adam masih mengingat janjinya. Tapi, mengapa kau membuat ku jatuh, Dam. “Yuk, masuk… Jangan disini aja.” Baiklah, aku akan berfaking sementara di hadapannya karena semua akan baik-baik saja. Baiklah, Qhey, Zalfa hanyalah serpihan masa lalu Adam.
            Terlepas dari kejadian buruk itu. Aku kembali terpukau ketika aku tahu. Bahwa, Adam memiliki satu dua saudara lelaki dan perempuan. Adik dan kakak. Sempurna. Ia memiliki kakak lelaki bernama Fatih dan satu adik perempuan bernama Khanza. Kak Fatih sangat cool jika aku boleh memilih, aku akan lebih memilih kak Fatih dibanding Adam. Tapi, kau beruntung, Dam. Tak ada pilihan untuk memilih. Aku tetap memilihmu. Aku sudah tenlanjur.
Aza, begitu panggilannya. Hidungnya kecil bibirnya pun kecil. Rambutnya bermodel bob, seperti dora . Aza baru memasuki sekolah Taman Kanak-Kanak. Tapi, sungguh ia sangat pintar. Saat aku menginjakkan kakiku ke arahnya, ia segera mencium tanganku dan mengatakan ‘selamat datang’. Astaga! Betapa lucunya anak mungil ini. Aza sangat mirip dengan kak Fatih. Jika jarak mereka dekat, pasti semua orang akan menganggap mereka saudara kembar. Untungnya, jarak mereka jauh. Saat ini kak Fatih mencari ilmu di salah satu Universitas di Jakarta, ia mengambil jurusan Fakultas Hukum.
            Rumahnya juga sangat unik. Hampir disetiap ruangan di rumahnya terdapat televisi, kecuali di kamar mandi. Aku sempat bersendau gurau dengan ibu Adam. Ibu Vita. Beliau sangat ramah. Aku juga sempat membantunya memasak makan siang untuk kami. Kami? Ya, ada aku disana. Ayah Adam sedang tugas keluar kota. Jadi, aku tak tahu wajah ayahnya. Aku hanya melihat fotonya di ruang makan.
“Tante, kenapa gambar ini diletakkan di ruang makan?”
“Iyya, sayang. Kalau keluarga kami sedang tak lengkap, kami akan merasa lengkap karena foto itu.” Begitu ramahnya wanita ini. Berkulit putih. Senyumnya pun tak pelit. Kami membicarakan banyak hal kala itu. Sampai terlihat lekukan di pipinya. Aku sangat menyukainya.
            Bu Vita sangat senang berkutat di dapur. Apalagi jika ia sudah memasak masakan kesukaan Aza. Uniknya lagi, di dapurnya terdapat televisi kecil di dekat lemari dinding. “Biar tante semangat. Hehe…” Ia kembali membuat lekukan indah dipipinya. Di ruang makan tak hanya terdapat foto keluarga mereka. Disana pun terdapat televisi. Agar Aza semangat untuk menyuap sesuap nasi, bahkan lebih.
Aku sangat senang berada disini. Kenyamanan itu semakin terasa ketika aku melihat background di ruang makan. Kelinci-kelinci itu dibiarkan lepas dihalaman. Aku sempat bertanya, bagaimana jika kelinci itu masuk kedalam dan mengganggu? Itu tak akan terjadi, karena halaman dan ruang makan dibatasi dengan pintu kaca. Oh Tuhan, ingin rasanya aku menjadi bagian dari keluarga mereka.
                                                  ***