Senin, 17 Maret 2014

Part #15

Telah kukuatkan seluruh jiwa dan ragaku kala melihat mereka bersanding bersama disepanjang lantai Mall. Aku ada disana bahkan, disamping mereka. Adam tak seperti biasanya. Justru biasanya, ia mengkhawatirkanku tersenggol oleh lelaki lain. Tak ingatkah ketika hari-hari indah dan mengejutkan itu hadir dalam hidupku? Aku tak dapat menghapuskan memori itu dalam ingatanku. Kejadian itu masih tersimpan sangat pekat di otakku. Namun, saat ini? Aku selalu berusaha membuat lekukan indah dibibir mungil ku ini kala pecahan kaca itu menusukku. Aku sadar, aku tak pantas menyalahkan Farah. Tapi, sungguh. Aku tak dapat menyembunyikan kebencianku terhadapnya. Tak ingatkah bagaimana dukunganmu agar aku menjadi kekasih Adam? Isi hatiku yang selalu kucurahkan padamu? Mungkin aku egois jika aku membenci Farah. Namun kenyataannya? Seolah-olah semua ini permainan yang tak kukenali jenisnya. Baiklah, aku tak ingin melempar dadu. Semoga baik-baik saja.
                                                                  ***
“Qhey, aku sedikit melihat kejanggalan dibalik mata mereka.”
“Mereka? Siapa maksudmu?”
“Ah, tidak. Jangan dipikirkan. Bukan hal yang penting bagimu.”
“Aku juga merasakannya, Mel. Aku tak tahu apa yang sedang mereka pikirkan. Hmm… Apakah aku harus menyesali ini?” Aku mulai tenggelam dalam nasihat Meli yang selalu berbobot.
“Apa ada sesuatu yang mereka sembunyikan, ya? Sudah, itu bukan urusanmu, Qhey. Tak penting.” Meli mulai tak menyukai konflikku dengan Adam.
            Tuhan memang adil. Aku hanya ingin tahu, apakah ada seorang yang telah lama kupercaya, tiba-tiba mengkhianatiku? Aku tak ingin banyak hal. Apalagi, untuk menjarak hubungan mereka. Itu bukan hakku. Aku mengerti, sangat mengerti. Semuanya sudah kurasakan dari awal. Sejak pertama kami manginjakkan kaki kami dikelas dua. Tidak, tidak, dan tidak. Hanya itu yang terbang dari bibir mungil Farah. Begitu banyak deret pertanyaan yang kulontarkan tentang Adam. Sangat singkat jawabnya. Aku tak meminta siapapun untuk memata-matai mereka. Aku juga tak menyewa detektif handal dari luar negeri. Namun, ada saja yang memberitahuku, apapun itu. Entah, keadaan, waktu, orang, bahkan tempat sekalipun.
            Seperti yang kukatakan. Semua kalimat sanggahan Farah tentang Adam, sudah basi. Bahkan, tak layak dikatakan. Semua sudah terkuak. Tak ada maksud menuduhnya. Memang pada kenyataannya, Farah yang merubah Adam. Sampai hal yang tak kuduga terjadi pada Adam. Akhir-akhir ini, ia sangat sering melalaikan tugasnya. Bahkan, ia melalaikan aku. Adam telah melupakan janjinya untukku demi Farah.
“Adam…” Kutebarkan senyuman dalam gema sapaanku untuknya. Sebenarnya, aku sedang merasakan abstraknya kanfas yang kusam. Aku tak ingin membiarkan air mataku jatuh terlalu deras, karena ia tak membalas sapaanku. Itu benar-benar sakit. Ia melanjutkan guraunya bersama kawannya. Ada Faqih disana. Ia menyipitkan matanya yang seolah bertanya ‘ada apa denganmu dan Adam?’ Aku sangat memaksakan lekukan indah dibibirku ini terbentuk. Mataku sudah berkaca-kaca yang bisa saja kupecahkan saat itu juga. Namun, aku sempat mengingat perkataan Adam. ia tak menginginkan aku menjatuhkan air mataku karenanya. Tapi, kau sendiri yang membuatnya, Dam.
“Qhey, ada apa dengan Adam?”
“Entahlah. Aku tak mengerti apa salahku.”
“Aku khawatir.” Faqih ternyata memang jatuh terlalu jauh untuk memperhatikan Adam.
“Khawatir?”
“Aku sempat melihat Adam menggenggam ponselnnya . Waktu itu, aku tak sengaja melirik ke arah layar ponselnya. Ia sedang membalas pesan dari Farah.” Aku benar-benar membiarkan butiran indah itu jatuh dipundak Faqih. Sejujurnya, aku tak enak dengan Fitri yang saat ini masih menjadi kekasih Faqih. Namun, apa yang bisa kuperbuat? Kepalaku benar-benar jatuh dipundak Faqih. Kali ini bukan Adam, tapi Faqih. Ia sangatlah sahabat terbaikku. Apapun keadaanku, ia selalu ada untukku. Butiran indah itu membasahi seragam putih yang dikenakan Faqih kala itu.
                                                             ***
            Rrrr… Pagi ini mataku terlihat membengkak seperti seekor panda yang menghabiskan malamnya dengan tetsan air mata. Jika Adam tahu ini karenanya, ia pasti akan memarahiku, bahkan mungkin mencacimakiku.
“Matamu seperti panda. Kau kurang tidur? Tunggu, ini terlihat bengkak. Kau menangis semalaman?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar