Selasa, 01 April 2014

Part #16

Aku hanya menatapi jalan setapak yang ku iringi dengan hentakkan kecil dari kakiku.
“Tidak. Tau apa kau tentangku?”
“Hey, ada apa denganmu ini? Kau meninggikan nada kalimatmu. Kau pikir tundukkan kepalamu dapat membuatku bahagia?” Ia mendorong tubuhku yang lemas kala kami berjalan diatas aspal menuju sekolah.
            Wanita bertas merah muda itu mendahului langkah kami. “Farah…” Suara itu ikuti dengan hentakkan kaki dengan suara yang berlarian. Ya, Adam berlari menghampiri Farah dan meninggalkanku yang sedari tadi menundukkan kepala. Ya, Tuhan, ingin rasanya aku menjerit. Detak jantungku seolah berhenti kala mereka bersanding dihadapanku yang kesekian kalinya. Tanganku gatal, ingin rasanya menarik dan mendorongnya jauh dari Adam. Aku tahu, lagi-lagi Tuhan masih memberiku kesabaran dan kesadaran. Aku bukan siapa-siapa Adam. itu bukan hakku, aku tak pantas melakukan itu. Aku hanya bisa diam dan bersabar menunggu surga indah yang kelak akan diberikan-Nya. Farah, mengertikah kau bagaimana posisiku? Tidak, kau tidak akan mengerti. Aku yakin kau tahu, tapi pengertianmu itu tidak akan tersadarkan. Aku hanya ingin dimengerti, Farah. Baik, aku memang berlebihan. Itu semua karena aku lelah dengan semua ini. Mereka semua tak pernah berdiri diposisiku.
            Semakin lama, kakiku semakin berat untuk ku langkahkan. Benar-benar tak ada salah satu dari mereka yang memalingkan wajahnya untukku. Mereka tak punya hati? Atau, mereka akan membuang waktu demi memahami keadaanku kala itu? Hey, Adam! Aku ada dibelakangmu. Aku seseorang yang pernah kau janjikan, Dam. Tetap bersamaku adalah janji palsumu. Kalimat itu terus menjerit dalam hatiku. Tak akan ada yang mendengar. Adam sekalipun tak akan mendengar kalimat mirisku ini. Hanya Tuhan.
            Lelah. Aku sangat bosan dengan keadaan itu. Hari-hariku kali ini hanya lelah. Sungguh, lelahku kali ini tak hanya dengan tugas sekolahku, aku juga lelah dengan scenario mereka. Pelajaran kali ini ditutup dengan pekerjaan rumah Bahasa Indonesia untuk membuat resensi. Oke, aku akan melupakan tugas sekolahku sejenak. Siang ini aku harus berlatih Saman Dance untuk mengisi acara disebuah perhelatan akbar sekolah kami. Aku menginjakkan kaki di ruang Saman bersama Farah. Dimana Farah? Ia tidak hadir? Mungkin dia lelah. Tidak. Dia tak akan merasakan lelah yang kurasakan selama ini karenanya. Aku juga tak melihat sosok istimewa dalam hidupku. Dimana dia? Seharusnya, siang ini aku dapat melihatnya berlarian di lapangan basket. Bahkan seharusnya, ia sedang mendrible dan memasukkan bola basket itu kedalam ring yang tinggi. Sudahlah, aku akan memfokuskan diri pada latihanku. Saatnya aku membuktikan, kami layak menjadi yang terbaik. Akan aku maksimalkan latihanku setelah beberapa pertemuan aku tak memfokuskan pikiranku untuk eskulku ini.
            Tetes air mata itu kembali jatuh kian menderas, kala aku menceritakan semuanya kepada Zalfa. Sosok yang tak pernah kembali hadir menjadi konflik dalam perjalanan cintaku ini. Lama sudah aku tak mendengar tentangnya. Aku sempat mendengar, ia kembali menjalin hubungan dengan Rangga. Namun, itu semua kandas ditengah jalan.
“Sudah, Qhey.” Suara lembut itu terlontar dari bibir mungil Zalfa yang dengan erat memeluk dan mengusap punggungku.
“Entah mengapa begitu sakitnya, Fa. Mereka semua tak mengerti perasaanku.” Isak tangis itu benar-benar terdengar. Hingga beberapa adik kelas yang berada disampingku bertanya-tanya.
“Aku mengerti. Tapi, tidakkah kau berpikir? Ini semua membuatmu rusak, Qhey.”
“Rusak? Itu semua hanya perasaanmu saja. Kau hanya perlu menjadi pendengarku, Fa.”
“Aku mengerti, setidaknya kau bisa membatasi diri untuk ini. Tak ada gunanya kau membuang ribuan airmata hanya untuk memikirkannya. Aku tahu, menangis membuatmu sedikit lega. Tapi, sudahlah, Qhey. Tangisanmu takkan berarti apa-apa.”
            Kalimat terakhir Zalfa terus mengelilingi pikiranku. ‘Tak ada gunanya’? Semua orang berpikir begitu. Mereka semua tak pernah berdiri diposisiku. Mengapa begitu banyak orang yang berkomentar, padahal ia tak sedang mengerti posisiku? Sebelum ini semakin terbang tinggi, aku kerap kali membuang ribuan airmataku. Apa yang mereka katakan? Mereka siapa? Mereka yang melihatku dan berkomentar jelek tentangku. Mereka menasihatiku seakan-akan aku bodoh. Telah dibodohi cinta yang tak kan abadi. Berdirilah kalian diposisiku. Aku tak akan berkomentar tentang itu. Belum lama aku merasa lega tanpa nasihat-nasihat itu. Ada saja yang membuat keadaan itu kembali. Bahkan, lebih klimaks dari yang sebelumnya kurasakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar