Aku
hanya menatapi jalan setapak yang ku iringi dengan hentakkan kecil dari kakiku.
“Tidak.
Tau apa kau tentangku?”
“Hey,
ada apa denganmu ini? Kau meninggikan nada kalimatmu. Kau pikir tundukkan
kepalamu dapat membuatku bahagia?” Ia mendorong tubuhku yang lemas kala kami
berjalan diatas aspal menuju sekolah.
Wanita bertas merah muda itu
mendahului langkah kami. “Farah…” Suara itu ikuti dengan hentakkan kaki dengan
suara yang berlarian. Ya, Adam berlari menghampiri Farah dan meninggalkanku
yang sedari tadi menundukkan kepala. Ya, Tuhan, ingin rasanya aku menjerit.
Detak jantungku seolah berhenti kala mereka bersanding dihadapanku yang
kesekian kalinya. Tanganku gatal, ingin rasanya menarik dan mendorongnya jauh
dari Adam. Aku tahu, lagi-lagi Tuhan masih memberiku kesabaran dan kesadaran.
Aku bukan siapa-siapa Adam. itu bukan hakku, aku tak pantas melakukan itu. Aku
hanya bisa diam dan bersabar menunggu surga indah yang kelak akan
diberikan-Nya. Farah, mengertikah kau bagaimana posisiku? Tidak, kau tidak akan
mengerti. Aku yakin kau tahu, tapi pengertianmu itu tidak akan tersadarkan. Aku
hanya ingin dimengerti, Farah. Baik, aku memang berlebihan. Itu semua karena
aku lelah dengan semua ini. Mereka semua tak pernah berdiri diposisiku.
Semakin lama, kakiku semakin berat
untuk ku langkahkan. Benar-benar tak ada salah satu dari mereka yang
memalingkan wajahnya untukku. Mereka tak punya hati? Atau, mereka akan membuang
waktu demi memahami keadaanku kala itu? Hey,
Adam! Aku ada dibelakangmu. Aku seseorang yang pernah kau janjikan, Dam. Tetap
bersamaku adalah janji palsumu. Kalimat itu terus menjerit dalam hatiku.
Tak akan ada yang mendengar. Adam sekalipun tak akan mendengar kalimat mirisku
ini. Hanya Tuhan.
Lelah. Aku sangat bosan dengan keadaan
itu. Hari-hariku kali ini hanya lelah. Sungguh, lelahku kali ini tak hanya
dengan tugas sekolahku, aku juga lelah dengan scenario mereka. Pelajaran kali
ini ditutup dengan pekerjaan rumah Bahasa Indonesia untuk membuat resensi. Oke,
aku akan melupakan tugas sekolahku sejenak. Siang ini aku harus berlatih Saman Dance untuk mengisi acara disebuah
perhelatan akbar sekolah kami. Aku menginjakkan kaki di ruang Saman bersama
Farah. Dimana Farah? Ia tidak hadir? Mungkin dia lelah. Tidak. Dia tak akan
merasakan lelah yang kurasakan selama ini karenanya. Aku juga tak melihat sosok
istimewa dalam hidupku. Dimana dia? Seharusnya, siang ini aku dapat melihatnya
berlarian di lapangan basket. Bahkan seharusnya, ia sedang mendrible dan memasukkan bola basket itu
kedalam ring yang tinggi. Sudahlah, aku akan memfokuskan diri pada latihanku.
Saatnya aku membuktikan, kami layak menjadi yang terbaik. Akan aku maksimalkan
latihanku setelah beberapa pertemuan aku tak memfokuskan pikiranku untuk
eskulku ini.
Tetes air mata itu kembali jatuh
kian menderas, kala aku menceritakan semuanya kepada Zalfa. Sosok yang tak
pernah kembali hadir menjadi konflik dalam perjalanan cintaku ini. Lama sudah
aku tak mendengar tentangnya. Aku sempat mendengar, ia kembali menjalin
hubungan dengan Rangga. Namun, itu semua kandas ditengah jalan.
“Sudah,
Qhey.” Suara lembut itu terlontar dari bibir mungil Zalfa yang dengan erat
memeluk dan mengusap punggungku.
“Entah
mengapa begitu sakitnya, Fa. Mereka semua tak mengerti perasaanku.” Isak tangis
itu benar-benar terdengar. Hingga beberapa adik kelas yang berada disampingku
bertanya-tanya.
“Aku
mengerti. Tapi, tidakkah kau berpikir? Ini semua membuatmu rusak, Qhey.”
“Rusak?
Itu semua hanya perasaanmu saja. Kau hanya perlu menjadi pendengarku, Fa.”
“Aku
mengerti, setidaknya kau bisa membatasi diri untuk ini. Tak ada gunanya kau
membuang ribuan airmata hanya untuk memikirkannya. Aku tahu, menangis membuatmu
sedikit lega. Tapi, sudahlah, Qhey. Tangisanmu takkan berarti apa-apa.”
Kalimat terakhir Zalfa terus
mengelilingi pikiranku. ‘Tak ada gunanya’? Semua orang berpikir begitu. Mereka
semua tak pernah berdiri diposisiku. Mengapa begitu banyak orang yang
berkomentar, padahal ia tak sedang mengerti posisiku? Sebelum ini semakin
terbang tinggi, aku kerap kali membuang ribuan airmataku. Apa yang mereka
katakan? Mereka siapa? Mereka yang melihatku dan berkomentar jelek tentangku.
Mereka menasihatiku seakan-akan aku bodoh. Telah dibodohi cinta yang tak kan
abadi. Berdirilah kalian diposisiku. Aku tak akan berkomentar tentang itu.
Belum lama aku merasa lega tanpa nasihat-nasihat itu. Ada saja yang membuat
keadaan itu kembali. Bahkan, lebih klimaks dari yang sebelumnya kurasakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar