Kamis, 20 Februari 2014

Part #9

Hari ini sekolah kami masuk seperti biasa. Setelah kemarin diliburkan, aku dan Adam tak berangkat bersama. Aku tak sabar ingin melihat wajahya. Sudah lama rasanya aku tak melihatnya. Padahal, baru semalam menjelang tidurku aku memandangi gambarnya di ponselku. Sepasang mataku selalu mengarah kepadanya. Aku tak tahu, pelet apa yang telah dipasangnya. Aku merasa, bak magnet bertemu magnet. Ada tarikkan yang selalu mengarah untuknya. Namun, kemana lelaki magnet itu? Tak terlihat sedikit pun batang hidungnya.
“Mana Adam?” Kali ini aku memfokuskan pandanganku kepada teman terbaikku, Faqih.
“Adam? Kurang tau, Qhey. Aku gak lihat dari tadi.” Magnet itu semakin kencang. Tarikkan itu membuatku tak dapat menahannya. Kemana Adam? Aku merindukanmu.
            Hari-hariku kali ini sangat sepi. Layaknya semut yang kehilangan rombongannya. Baiklah, aku akan memberanikan diri untuk menanyakan kabarnya melalui pesan singkat. Lama sekali ia membalasnya. Kemana makhluk ini? Ah, aku muak menunggunya,. Ia tak kunjung membalas pesan singkatku. Kekhawatiranku mulai melonjak ketika ia mengacuhkan pesan singkatku dan Zalfa menghampiriku dengan wajah yang cemas.
“Qhey!!!” Tarikan nafasnya seperti balon yang bocor. Tak dapat di tahan hembusannya.
“Iya. Kenapa? Santai, Fa…”
“Adam masuk rumah sakit, ya?” Adam? Di rumah sakit?
“Apa? Kamu tau dari mana?”
“Tadi dia menghubungi dan mengabarkanku tentang keadaannya.” Ya Tuhan, mengapa Zalfa? Seberapa pentingkah Zalfa untuknya? Aku tak hanya ingin diingat. Tapi, perlakukanlah aku sama pentingnya seperti Zalfa untukmu. Dadaku sesak, saat aku tahu Zalfa adalah orang pertama yang tahu tentang keadaan Adam. Bahkan, Faqih pun tak tahu. Hanya senyuman kekhawatiran yang dapat ku berikan pada Zalfa kala itu.
            Kuarahkan ponselku untuk menghubungi Adam. “Adam? Kamu sakit? Sekarang bagaimana?” Syukurlah, ia mengangkat teleponku.
“Iya. Kok tahu?”
“Aku tahu dari Zalfa. Tadi dia membertahuku.”
“Astaga! Wanita manis itu memberitahumu? Sungguh, benar-benar tak dapat menjaga rahasia.” Adam? Kau sedang berbicara dengan orang yang ingin dikatakan penting dalam hidupmu.
“Baiklah, cepatlah kau sembuh agar kita dapat bermain bersama.” Adam dan aku segera mengakhiri perbincangan kita. Aku sedikit shock saat Adam mengatakan ‘wanita manis’. Aku tahu, aku memang tak seberapa pentingnya untuk Adam.
            Aku baru saja mendapat kabar bahwa Adam dirawat di Rumah Sakit Kasih Bunda. Rumah sakit itu jauh dari tempat tinggalku. Aku ingin melihatnya. Ya, meski mungkin bukan aku yang diharapkannya. Tapi, Zalfa. Bagaimana aku bisa menjenguknya? Jadwalku sangatlah padat. Adam cepatlah sembuh, aku benar-benar merindukanmu. Kali ini aku tak peduli seberapa pentingnya aku untukmu. Aku akan terus berdo’a untuk kesembuhanmu.
                                                            ***
            Warna langit hari ini masih terlihat jingga. Aku memutuskan untuk absen dalam rapat OSIS. Ini kulakukan untuk Adam. Aku akan menjenguknya disana. Hanya sendiri. Aku sempat mengajak Zalfa, yang mungkin Adam harapkan kehadirannya. Namun, Zalfa menolaknya. Adam tak lebih penting dari kegiatan pribadinya. Lambat laun, aku akan menjadi orang penting dalam hidupmu, Dam. Aku yakin.
            Aku menginjakkan kakiku kedalam rumah sakit. Lantai demi lantai kulewati dengan lift. Ya, aku sudah berada tepat didepan kamar Adam. Kamarnya VIP, tak ada pasien lain selain dirinya. Perlahan, ku ketuk pintu kamarnya. Aku menembusnya secara perlahan. Senyuman itu menjadi pembuka kehadiranku. Kosong. Tak ada orang. Hanya ada Adam yang terbaring lemah dengan selang berjarum di tempurung tangannya.
“Adam? Sendiri?”
“Iya. Sini, temenin. Ibu pulang sebentar nganter Aza. Kasihan dia. Lagipula, aku tak serparah yang kau pikirkan. Tak usah mengkhawatirkanku”
“Bagaimana mungkin ini tak parah? Apa yang dokter katakan?”
“Nyamuk nakal itu lebih menyukaiku. Mereka mencintaiku lebih darimu, Qhey.”
“DBD? Aku tak sedang mengajakmu bergurau, Dam.”
            Aku hanya dapat memandangi wajahnya yang masih pucat pasi. Ingin rasanya kubiarkan ia tenggelam dalam dekapanku. Tak ada pembicaraan antara kami. Seperti biasa, hanya tubuh kami yang berbicara. Sedang mulut kami, kaku bukan kepalang. Moment ini sangat indah. Seorang suster masuk kedalam kamar Adam. Suster cantik berambut panjang yang di kuncir kuda itu memberikan jatah makan kepada Adam. “Oh, saya pikir tak ada orang. Syukurlah jika kekasihmu datang, Tuan. Serasi sekali.” Hampir kubiarkan bola mataku keluar dari sarangnya, ketika mendengar suster cantik itu berbicara berbicara seperti itu. Jangankan kekasih, menjadi orang penting dalam hidupnya saja belum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar