Jumat, 12 Mei 2017

Antara Perasaan & Penyesalan

Nay, tadi lo kasih gue pilihan, kan? Mau lepasin lo atau tetep bersama lo meskipun pait akhirnya kan? Gue pilih yang kedua, Nay. Kalau perasaan dan resiko lo jadi urusan lo, biarin gue merasakan hal yang sama.”
***
          Kalimat terakhir malam itu, saat aku dan Akbar bertemu masih terbayang-bayang dibenakku. Aku tak pernah tahu, bagaimana yang akan terjadi selanjutnya setelah malam itu. Benarkah Akbar mampu bertahan? Aku juga tak pernah tau tentang keputusanku malam ini. Akankah ini menjadi bumerang bagi kehidupanku setelah ini?

“Dorr!! Kanaya!”
“Kenapa ya, Bar ngagetin terus!” Keluhku sambil memukul punggungnya yang bidang.
“Udah lama nunggunya? Maaf ya, ngaret tadi Pak Musadinya.”
“Hmmm... Lama gak ya...”
“Temenin sampe kelar tugas gue, ya. Abis ini kita makan diluar.”
“Siap, Bar.”
“Oh iya, Nay. Gue punya sesuatu deng buat lo.”
“Apa tuh, Bar. Ulang tahun kita kan masih jauh.”
“Ciee... Kita. Seneng masa lo bilang kita.”
“Ya, lagian lahirnya ngikut-ngikut, sih.”
***
          Belum saatnya hari Mei itu datang untuk kita, Akbar sudah memberi sesuatu yang membuatku terkejut. Akbar memang selalu datang dengan hal-hal baru dalam hidupku. Dari Akbar, aku belajar banyak. Bukan hanya tentang bagaimana mengungkapkan perasaan, tapi bagaimana kita menghargai seseorang. Setelah setahun silam, aku lupa bagaimana caranya mencintai dan menyayangi seseorang. Bahkan, hal tersebut sama sekali tidak terlintas di benakku untuk kembali membuka hati. Mungkin, aku lebih tidak ingin ingat rasanya kehilangan seseorang yang sudah membungkus hariku menjadi berwarna. 
“Di pake gak?” Tanya Akbar saat kami sedang duduk di bangku taman kampus.
“Pake dong, hehe...”
“Suka, Nay? Jangan di rusak, ya. Kalau baterainya habis, bilang biar gue yang benerin.”
“Lah, gitu masa, Bar. Dijaga kok, gak sampe rusak permanen.”
“Sama yang kayak lo jaga hati gue. Gue juga bakal jaga kok, Nay. Ahahahaa...”
“Halah, Bar. Mulai lagi...”
“Gue serius, Nay. Kan kita gak ada ikatan, tapi tetep aja harus saling jaga. Gitu gak? Hehe...”
“Iya, kok. Sama-sama ngejaga ya, Bar. Biar adil.”
          Seperti biasa, aku lebih banyak menghabiskan soreku di kampus bersama Akbar. Tentu Akbar bertanggung jawab mengembalikanku ke rumah dengan selamat.
          Tak ada hal lain yang ku pandangi di kamar. Aku hanya fokus kepada dua benda istimewa yang aku dapat di bulan Mei, yang belum menunjukkan tanda-tanda kepamitannya. Jam tangan Denim dan bunga mawar yang beberapa hari lalu diberikan Akbar, tentunya masih rajin kurawat.
***
          Hari demi hari kita lewati seperti biasa. Makan siang bersama, mengerjakan tugas bersama, hingga kembali kerumah bersama. Jam tangan dari Akbar masih setia melekat di pergelangan tangan kiriku, bunga mawarnya pun masih segar karena aku rajin menyiramnya. Akbar bilang apa yang ia berikan harus ku rawat.
          Bohong jika perasaanku padanya tidak semakin menjadi. Bohong jika aku tidak mulai bergantung padanya. Apa yang sudah ia berikan padaku membuatku luluh. Perasaanku yang tadinya akan ku jaga cukup sampai disini, ternyata justru meluap. Sikap Akbar semakin hari juga semakin menjadi. Aku rasa, ini adalah pertanda bahwa kenyamananku sudah naik puluhan tingkat dalam waktu yang singkat.
“Gue langsung anter pulang ya, Nay.”
“Kok tumben, Bar. Biasanya makan dulu. Lo udah makan emang?”
“Gue makan di rumah aja. Lo juga makan di rumah, ya.”
          Mulai. Hari ini tidak seperti biasanya. Sikap Akbar tidak seperti biasanya. Setelah kuliah selesai, Akbar selalu mengajakku makan sebelum ia mengantarku pulang ke rumah. Kalau pun ia tidak ingin makan, ia pasti memaksaku untuk makan atau menghabiskan sore di taman kampus. Tapi, ada apa dengannya hari ini?
“Bar, lo kenapa?”
“Enggak kenapa-kenapa, Nay.”
“Serius? Kok aneh, ya?”
“Enggak. Perasaan lo doang kali, Nay.”
          Malam itu saat ia mengantarku pulang ke rumah, tidak ada perbincangan panjang diantara kami. Hening. Sunyi. Hanya ada suara angin dan kebisingan suara motor. Jika saat itu angin bisa bicara, mungkin aku sudah berbincang cantik bersamanya, atau mungkin aku sudah tidak lagi duduk di belakang Akbar, tapi terbang bersama angin.
          Tidak hanya tragedi makan atau keheningan sepanjang jalan. Malam itu juga tidak ada pesan dari Akbar. Biasanya ia selalu menanyakan keadaanku dimalam hari. Tapi, setelah ia menghilang dari pandanganku di pagar rumah, hingga aku siap untuk memejamkan mata, tak ada pesan singkat darinya. Jangankan menanyakan keadaanku, pesan titik saja tak timbul.
***
          Sampai pagi haripun tak tertera nama Akbar di ponselku. Lo kenapa sih sama gue? Gue salah apa? Kok lo beda banget. Kasih tau gue lo kenapa, Salah gue dimana. Gue gak suka lo berubah tanpa sebab. Seandaninya kalimat itu sangat mudah ku utarakan mungkin sudah tidak di barat ataupun selatan. Bukan itu maksdudnya. Seandainya aku mudah berkata seperti itu, sayangnya tidak. Karena aku bukan siapa-siapa Akbar.
          Satu hal yang perlu ku ingat, bahwa aku dan Akbar tidak punya ikatan apapun sehingga bagaimana dia bukanlah menjadi urusanku. Apa yang dia lakukan, ya biarkan. Suka atau tidak suka, sama sekali bukan hakku. Begitu juga dengan hilangnya dia yang tiba-tiba. Bukan menjadi hakku untuk bertanya kok hilang begitu aja sih, Bar. Kamu siapa, Kanaya! Kok sikap lo berubah sih sama gue? Kamu siapa, Kanaya!
          Lagi dan lagi terjadi. Sesuatu yang ku hindari sejak setahun yang lalu justru malah terulang. Aku yang tak ingin membuka hati, terbuka juga. Aku yang belum ingin merasakan cinta, merasakan juga. Aku yang tidak ingin memikirkan hal konyol, terpikirkan juga. Kerap kali semenjak berubahnya Akbar membuat lamunanku menjadi berlarut. Melakukan kesibukkan adalah hobiku saat aku merasakan hancur. Kenapa hancur, Nay? Kamu kan bukan siapa-siapa, dari mana kamu berhak hancur karenanya? Bodoh!
          Seperti ada sesuatu yang hilang. Mei ku seperti berkabung. Perasaanku padanya sudah meluap. Tapi dia menghilang tanpa meninggalkan jejak. Tanpa berpamitan. Apa ini pertanda kau ingin mengakhiri semuanya, Bar? Hhmm... Aku sadar. Aku tak pernah pantas menanyakan hal ini padanya. Wajar saja jika ia berhenti berjuang, karena ia tak akan pernah medapat sebuah ikatan dariku. Wajar saja jika seseorang menyerah, karena hatinya sudah tidak mampu menopang ketidakpastian.
          Aku seperti menyesal memberikan pilihan padanya. Seandainya kami tidak bertemu dan saling bicara malam itu. Aku tidak mungkin sehancur ini. Seandainya, Akbar tidak mengutarakan perasaannya padaku, mungkin kita kan tetap teman yang senyaman-nyamannya. Ini hak Akbar, untuk tetap bertahan atau pergi. Bukan menjadi hakku juga untuk memintanya tetap bertahan atau pergi. Aku tak tahu harus menyesal atau bagaimana. Yang aku tahu, Tuhan sudah menyiapkan cara terbaik-Nya untuk menyatukan kita yang berjodoh dan memisahkan kita yang tidak berjodoh.
          Terimakasih ya, Bar telah berikan segalanya untukku. Aku bercermin, bahwa aku tidak pantas menunggumu. Tidak pantas menahanmu, padahal kamu menderita akan perasaanmu. Taukah, Bar? Ini kali pertama aku berani membuka hatiku untuk seseorang setelah aku pernah dihancurkan untuk yang pertama kalinya. Ini saatnya aku untuk kembali berjuang melawan perasaan hancurku yang kedua kalinya. Berbahagialah ketika kamu telah menemukan tempat berlabuhmu, Bar. Terimakasih juga sudah membuat aku merasakan ingin sendiri bersama angin dan menceritakan seluruh rahasia, lalu meneteskan air mata. –Kanaya-


Inspired by Meijikuhibiniu ft. NKnF

2 komentar:

  1. (Gambar taro sini)
    Mikir bentar maksudnya apa.......lanjut baca aja deh!

    BalasHapus
    Balasan
    1. ternyata belom kehapus. maap pemirsa. makasih bwank koreksinya hehe

      Hapus