“Nay, tadi lo kasih gue pilihan, kan? Mau lepasin lo atau tetep bersama
lo meskipun pait akhirnya kan? Gue pilih yang kedua, Nay. Kalau perasaan dan
resiko lo jadi urusan lo, biarin gue merasakan hal yang sama.”
***
Kalimat terakhir
malam itu, saat aku dan Akbar bertemu masih terbayang-bayang dibenakku. Aku tak
pernah tahu, bagaimana yang akan terjadi selanjutnya setelah malam itu.
Benarkah Akbar mampu bertahan? Aku juga tak pernah tau tentang keputusanku
malam ini. Akankah ini menjadi bumerang bagi kehidupanku setelah ini?
“Dorr!! Kanaya!”
“Kenapa ya, Bar ngagetin terus!” Keluhku sambil memukul punggungnya yang
bidang.
“Udah lama nunggunya? Maaf ya, ngaret tadi Pak Musadinya.”
“Hmmm... Lama gak ya...”
“Temenin sampe kelar tugas gue, ya. Abis ini kita makan diluar.”
“Siap, Bar.”
“Oh iya, Nay. Gue punya sesuatu deng buat lo.”
“Apa tuh, Bar. Ulang tahun kita kan masih jauh.”
“Ciee... Kita. Seneng masa lo bilang kita.”
“Ya, lagian lahirnya ngikut-ngikut, sih.”
***
Belum saatnya
hari Mei itu datang untuk kita, Akbar sudah memberi sesuatu yang membuatku
terkejut. Akbar memang selalu datang dengan hal-hal baru dalam hidupku. Dari
Akbar, aku belajar banyak. Bukan hanya tentang bagaimana mengungkapkan
perasaan, tapi bagaimana kita menghargai seseorang. Setelah setahun silam, aku
lupa bagaimana caranya mencintai dan menyayangi seseorang. Bahkan, hal tersebut
sama sekali tidak terlintas di benakku untuk kembali membuka hati. Mungkin, aku
lebih tidak ingin ingat rasanya kehilangan seseorang yang sudah membungkus
hariku menjadi berwarna.
“Di pake gak?” Tanya Akbar saat kami sedang duduk di bangku taman kampus.
“Pake dong, hehe...”
“Suka, Nay? Jangan di rusak, ya. Kalau baterainya habis, bilang biar gue
yang benerin.”
“Lah, gitu masa, Bar. Dijaga kok, gak sampe rusak permanen.”
“Sama yang kayak lo jaga hati gue. Gue juga bakal jaga kok, Nay.
Ahahahaa...”
“Halah, Bar. Mulai lagi...”
“Gue serius, Nay. Kan kita gak ada ikatan, tapi tetep aja harus saling
jaga. Gitu gak? Hehe...”
“Iya, kok. Sama-sama ngejaga ya, Bar. Biar adil.”
Seperti biasa, aku lebih banyak
menghabiskan soreku di kampus bersama Akbar. Tentu Akbar bertanggung jawab
mengembalikanku ke rumah dengan selamat.
Tak ada hal lain yang ku pandangi di
kamar. Aku hanya fokus kepada dua benda istimewa yang aku dapat di bulan Mei,
yang belum menunjukkan tanda-tanda kepamitannya. Jam tangan Denim dan
bunga mawar yang beberapa hari lalu diberikan Akbar, tentunya masih rajin
kurawat.
***
Hari demi hari kita lewati seperti
biasa. Makan siang bersama, mengerjakan tugas bersama, hingga kembali kerumah
bersama. Jam tangan dari Akbar masih setia melekat di pergelangan tangan
kiriku, bunga mawarnya pun masih segar karena aku rajin menyiramnya. Akbar
bilang apa yang ia berikan harus ku rawat.
Bohong jika perasaanku padanya tidak
semakin menjadi. Bohong jika aku tidak mulai bergantung padanya. Apa yang sudah
ia berikan padaku membuatku luluh. Perasaanku yang tadinya akan ku jaga cukup
sampai disini, ternyata justru meluap. Sikap Akbar semakin hari juga semakin
menjadi. Aku rasa, ini adalah pertanda bahwa kenyamananku sudah naik puluhan
tingkat dalam waktu yang singkat.
“Gue langsung anter pulang ya, Nay.”
“Kok tumben, Bar. Biasanya makan dulu. Lo udah makan
emang?”
“Gue makan di rumah aja. Lo juga makan di rumah, ya.”
Mulai. Hari ini tidak seperti
biasanya. Sikap Akbar tidak seperti biasanya. Setelah kuliah selesai, Akbar
selalu mengajakku makan sebelum ia mengantarku pulang ke rumah. Kalau pun ia
tidak ingin makan, ia pasti memaksaku untuk makan atau menghabiskan sore di
taman kampus. Tapi, ada apa dengannya hari ini?
“Bar, lo kenapa?”
“Enggak kenapa-kenapa, Nay.”
“Serius? Kok aneh, ya?”
“Enggak. Perasaan lo doang kali, Nay.”
Malam itu saat ia mengantarku pulang
ke rumah, tidak ada perbincangan panjang diantara kami. Hening. Sunyi. Hanya
ada suara angin dan kebisingan suara motor. Jika saat itu angin bisa bicara,
mungkin aku sudah berbincang cantik bersamanya, atau mungkin aku sudah tidak
lagi duduk di belakang Akbar, tapi terbang bersama angin.
Tidak hanya tragedi makan atau
keheningan sepanjang jalan. Malam itu juga tidak ada pesan dari Akbar. Biasanya
ia selalu menanyakan keadaanku dimalam hari. Tapi, setelah ia menghilang dari
pandanganku di pagar rumah, hingga aku siap untuk memejamkan mata, tak ada
pesan singkat darinya. Jangankan menanyakan keadaanku, pesan titik saja tak
timbul.
***
Sampai pagi haripun tak tertera nama
Akbar di ponselku. Lo kenapa sih
sama gue? Gue salah apa? Kok lo beda banget. Kasih tau gue lo kenapa, Salah gue
dimana. Gue gak suka lo berubah tanpa sebab. Seandaninya kalimat itu sangat mudah ku utarakan
mungkin sudah tidak di barat ataupun selatan. Bukan itu maksdudnya. Seandainya
aku mudah berkata seperti itu, sayangnya tidak. Karena aku bukan siapa-siapa
Akbar.
Satu hal yang perlu ku ingat, bahwa
aku dan Akbar tidak punya ikatan apapun sehingga bagaimana dia bukanlah menjadi
urusanku. Apa yang dia lakukan, ya biarkan. Suka atau tidak suka, sama sekali
bukan hakku. Begitu juga dengan hilangnya dia yang tiba-tiba. Bukan menjadi
hakku untuk bertanya kok hilang
begitu aja sih, Bar. Kamu siapa,
Kanaya! Kok sikap lo berubah sih
sama gue? Kamu siapa, Kanaya!
Lagi dan lagi terjadi. Sesuatu yang ku
hindari sejak setahun yang lalu justru malah terulang. Aku yang tak ingin
membuka hati, terbuka juga. Aku yang belum ingin merasakan cinta, merasakan
juga. Aku yang tidak ingin memikirkan hal konyol, terpikirkan juga. Kerap kali
semenjak berubahnya Akbar membuat lamunanku menjadi berlarut. Melakukan
kesibukkan adalah hobiku saat aku merasakan hancur. Kenapa hancur, Nay? Kamu kan bukan siapa-siapa, dari
mana kamu berhak hancur karenanya? Bodoh!
Seperti ada sesuatu yang hilang. Mei
ku seperti berkabung. Perasaanku padanya sudah meluap. Tapi dia menghilang
tanpa meninggalkan jejak. Tanpa berpamitan. Apa ini pertanda kau ingin
mengakhiri semuanya, Bar? Hhmm... Aku sadar. Aku tak pernah pantas menanyakan
hal ini padanya. Wajar saja jika ia berhenti berjuang, karena ia tak akan
pernah medapat sebuah ikatan dariku. Wajar saja jika seseorang menyerah, karena
hatinya sudah tidak mampu menopang ketidakpastian.
Aku seperti menyesal memberikan
pilihan padanya. Seandainya kami tidak bertemu dan saling bicara malam itu. Aku
tidak mungkin sehancur ini. Seandainya, Akbar tidak mengutarakan perasaannya
padaku, mungkin kita kan tetap teman yang senyaman-nyamannya. Ini hak Akbar,
untuk tetap bertahan atau pergi. Bukan menjadi hakku juga untuk memintanya
tetap bertahan atau pergi. Aku tak tahu harus menyesal atau bagaimana. Yang aku
tahu, Tuhan sudah menyiapkan cara terbaik-Nya untuk
menyatukan kita yang berjodoh dan memisahkan kita yang tidak berjodoh.
Terimakasih ya, Bar telah berikan
segalanya untukku. Aku bercermin, bahwa aku tidak pantas menunggumu. Tidak pantas
menahanmu, padahal kamu menderita akan perasaanmu. Taukah, Bar? Ini kali
pertama aku berani membuka hatiku untuk seseorang setelah aku pernah
dihancurkan untuk yang pertama kalinya. Ini saatnya aku untuk kembali berjuang
melawan perasaan hancurku yang kedua kalinya. Berbahagialah ketika kamu telah
menemukan tempat berlabuhmu, Bar. Terimakasih juga sudah membuat aku merasakan
ingin sendiri bersama angin dan menceritakan seluruh rahasia, lalu meneteskan
air mata. –Kanaya-
Inspired by Meijikuhibiniu ft. NKnF
(Gambar taro sini)
BalasHapusMikir bentar maksudnya apa.......lanjut baca aja deh!
ternyata belom kehapus. maap pemirsa. makasih bwank koreksinya hehe
Hapus