1#Tentang Atta
“Wey, bareng gak, Nan?” dengan suara klakson motor metiknya yang khas. Padahal hanya dengan memanggilku saja sudah cukup. Ia pun belum mengeluarkan motor dari tempat parkirnya.
“Astaghfirullah! Kaget, ampun, Ta. Enggak deh, gue lagi nunggu temen gue, Ta.” Sambil mengelus dada aku yang tadinya hendak duduk tenang, tanpa aku sadar motor dan pemiliknya, Atta, terparkir ditarget bangku yang akan kududuki. Ini mungkin penolakku yang pertama kali untuk Atta.
“Siapa?! Sembarangan, lo Nan!” teriak Atta yang belum juga mengeluarkan motornya. Sedangkan, sarung tangan dan jaket sudah rapi dikenakannya. “Gue kecewa lo pulang sama orang lain.”
“Apasi, Ta. Udah sana pulang.” Tolakku lagi yang keduakalinya.
“Hmmm...
Tumben banget, Nan lo nolak tumpangan gue. Yaudah, sejujurnya gue beneran sedih
lo menolak gue. Hikz... Tapi, yaudalah ya gue duluan sendiri di motor, sepi
ngomong ama knalpot doang gue. Hati-hati, Kinan anak maniss....” pamit Atta
sambil memberikan kiss bye dengan mata genitnya. Huuuhh... Andai saja,
Ta. Andai saja.
***
Devano
Attala Kusumahadi. Iya, dia temanku yang belum lama juga aku mengenalnya. Kami
bertemu karena suatu acara yang diadakan di kampus. Atta merupakan mahasiswa
Jurusan Ekonomi dan aku mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi. Kami menjadi akrab
karena ternyata kami berasal dari perumahan yang sama. Itulah sebabnya, Atta
sering mengajakku pulang bersama. Sayangya, ajakan itu tak tiap hari
dilontarkannya. Atta kerap kali tidak pulang ke rumah, ia lebih sering menginap
di rumah tantenya yang berada di sekitar kampus. Herannya, jarak rumah Atta dan
kampus tidaklah jauh, ya mungkin Atta memang pemalas.
“Gimana kemarin?” tanya Atta sambil membawa minuman kaleng.
“Gimana kemarin?” tanya Atta sambil membawa minuman kaleng.
Sejak
kami saling tahu bahwa kami satu perumahan, Atta sering kali membuat janji
denganku meski hanya sekedar meminum minuman kaleng favorit kami dipinggir
lapangan.
“Gimana
apanya?” aku kembali bertanya sambil berusaha membuka minuman kalengku. Memang
Atta bukanlah lelaki yang peka. Untuk membukakan minumanku saja, aku harus
berpura-pura tertusuk penjepit kalengnya. “Aww, sakit. Ahelah.”
“Tettottt!!! Pura-pura lagi. Udah hafal aku, Kinan.” Seraya merebut minumanku dan membukanya.
“Hehehe ahelah.” Glek... Glek... Glekk...
“Tettottt!!! Pura-pura lagi. Udah hafal aku, Kinan.” Seraya merebut minumanku dan membukanya.
“Hehehe ahelah.” Glek... Glek... Glekk...
“Ih,
kan ditanya gimana kemarin pulang barengnya? Seru ya, bentar lagi gue jadi
sendiri lagi, deh.” Sesal Atta dengan jurus memelas terjitunya. “Hari ini gue
balik deh, bareng yuk.”
“Lo
kenapa si, Ta. Ampun deh.”
Atta
memang tergolong anak yang manja. Jika bersamaku, dia selalu menunjukkan sikap
manis dirinya terhadapku dan juga sikap manjanya. Memang yang aku tahu, keadaan
keluarganya tidaklah baik. Ia mulai terbuka denganku semenjak kami rutin pulang
bersama. Ia menceritakan segala hal yang menjelaskan bahwa ia membutuhkan
seorang pendengar. Ia anak ketiga dari tiga bersaudara. Wajar saja ya, kalau
dia terlihat sangat manja. Kedua kakak laki-lakinya sudah berkeluarga. Tak
jarang Atta mendengar beberapa perdebatan antara kedua kakaknya itu, karena
mereka sering bertengkar mengenai keadaan orang tua dan Atta yang saat ini
menjadi satu-satunya tanggungan keluarga.
*12 Juli 2017 -– Perjalanan menuju
kampus*
“Ya,
kamu harusnya sadar, Mas. Aku gabisa bolak-balik kesini buat jagain ibu sama
ayah. Mana mungkin bisa aku pulang-pergi, Purwokerto-Jakarta seminggu sekali
seperti yang kamu minta. Emang keringet saya uang apa. Harusnya kamu yang siap
siaga disini. Kita gak bisa terus-terusan jagain Atta yang belum punya
penghasilan yang tetap untuk ibu dan ayah. Dia cuma mahasiswi.” Dengan sedikit
penekanan Mas Raffi, kakak pertama Atta bicara dengan Mas Raka, kakak pertama
Atta.
“Kamu
tau aku sibuk kan? Emang kamu yang paling deket sama ibu dan ayah. Mendingan
resign dan cari kerjaan baru disini, biar bisa jagain ibu sama ayah. Liat tuh,
Atta jarang pulang, kan? Aku lebih sibuk dari kamu, Raff.” Bantah Mas Raka
sambil mengambil jaket dan meninggalkan Mas Raffi di ruang makan.
Aku
yang duduk di ruang tamu untuk menunggu Atta sangat bingung. Suara mereka
terdengan jelas ditelingaku. Mas Raffi yang membukakan pintu dan bersikap manis
kini jadi sosok yang sedikit menyeramkan karena ketegasannya, namun tetap manis
karena dia sangat ramah. Mas Raka yang memang sama sekali tidak menunjukkan
sikap ramahnya sangat membuat aku takut. Terlebih saat dia menggambil jaket
yang terletak di soffa ruang tamu tanpa melirik aku yang menundukkan kepala.
Andai saja buku Atta tidak tertinggal, aku tidak akan ada pada posisi ini.
“Kinan
nunggu Atta lama, ya? Mau dibuatin susu sama roti dulu gak?” aku terkejut,
tiba-tiba Mas Raffi menghampiriku.
“Ah,
gak usah, Mas. Kinan udah sarapan kok tadi. Oh iya, Om Tri sama Tante Niken
dimana? Aku belum salim, Mas hehehe...” sebenarnya, sedari tadi aku lebih sibuk
mencari orang tua Atta dibanding mendengarkan perdebatan kedua kakak Atta.
“Oh, ayah sama ibu lagi keluar. Emang tiap pagi gitu kebiasaannya. Olahraga deh katanya. Udah umur jadi harus banyak-banyak menghirup udara pagi. Ya meskipun udara di Jakarta udah gak baik. Bener gak, Nan?”
“Oh, ayah sama ibu lagi keluar. Emang tiap pagi gitu kebiasaannya. Olahraga deh katanya. Udah umur jadi harus banyak-banyak menghirup udara pagi. Ya meskipun udara di Jakarta udah gak baik. Bener gak, Nan?”
“Iya
sih, Mas bener. Mas kesini sendiri? Kata Atta abang-abangnya udah berkeluarga.”
“Iya
anak sama istri di Purwokerto, Nan. Eh, gak mau Mas bikinin susu sama roti? Dibawa
aja ke kampus apa?” tanya Mas Raffi yang kedua kalinya.
“Enggak,
Mas. Beneran gak usah. Kinan udah sarapan.”
Sosok
Mas Raffi memang pantas jadi panutan bagi Atta. Sebelumnya Atta belum bercerita
penuh tentang kedua kakaknya. Tapi, Atta selalu bercerita kalau dia ingin
menjadi sosok lelaki seperti Mas Raffi yang sayang dengan keluarga.
“Ayuk,
Nan. Mas, aku jalan dulu.” Atta yang berlari menghampiri Mas Raffi
memperlihatkan rambutnya yang terjuntai.
“Iya,
hati-hati. Itu Kinan gamau disuruh sarapan.
Kami
berdua bergegas keluar rumah. Aku yang sejak tadi menunggu kedua orang tua Atta
ternyata belum juga kembali. Aku yang sejak tadi pula berpikir bagaimana sifat
Atta sesungguhnya, dibalik Atta yang manis dan manja ketika bersamaku. Apa iya
Atta memang anak yang manja?
“Kinan,
kayak gitu deh keadaannya hehe... Kita aja yang tau ya.” Pinta Atta saat
keributan kecil itu terjadi di depan mataku. Sambil memakai helm dan
mengulurkan jaket ditangannya.
“Ah?
Iya, Ta. Sumpah gue.. gue bingung ini sekarang. Ini jaket gue pake? Padahal gak
usah, Ta. Punya siapa? Lo atau Mas Raffi” Jawabku yang kebingungan harus
berbuat apa.
“Maunya
punya Mas Raff ya? Punya gue padahal itu. Dibeliin Mas Raffi, sih.
Sepanjang
perjalanan, aku dan Atta belum memulai perbincangan. Aku yang tak berani
memulai dan Atta yang belum mendapatkan topik terbaik untuk memulai setelah aku
melihat kejadian di rumah Atta. Sesekali aku melihat Atta memandangiku dari
kaca spion. Jantungku berdebar karena aku bingung, seperti suatu kesalahan
besar aku mengiyakan tawaran Atta untuk berangkat bersama ke kampus.
“Itu
tadi Mas Raffi keren ya, Nan. Dia doang yang berani gitu ke mas Raka. Gue mah
gak berani walaupun bener.” Yes, Atta membuka perbincangan.
“Ah
hmm iya, Ta. Cocoklah sama mukanya Mas Raffi. Kalau lo gak ada tampang-tampang
pemberani gitu. Pantes ya kemarin lo bilang, motor lo diambil Mas Raka.
Sepasrah itu, Ta hahahahaa...” aku mulai menggunakan jurusku. Iya, jurus
melawak padahal sama sekali tidak lucu. Ini benar-benar kali pertama aku canggung
berbicara dengan Atta. Sesekali aku juga melirik ekspresi wajah Atta dari spion
meski yang terlihat hanya matanya karena ia menggunakan masker.
“Apa
yang bisa lo simpulkan dari kejadian itu, Nan? Hmmm... gue rada gak enak hati,
sih. Tapi, yaudalah ya udah kejadian juga.” Sesal Atta ditengah-tengah
kemacetan jalan.
“Hmmm...
kaya gitu udah lama, Ta? Maaf nanya, habisnya lo cerita, sih.”
“Kadang
ya, Nan, gue butuh banget pendengar yang baik. Gue gatau harus cerita ke siapa
gitu. Abang-abang gue aja gak berguna gitu. Mereka gatau kalau ibu sama ayah
suka cerita ke gue. Minta tolong bilangin ke Mas Raka buat sering tengok ibu
sama ayah yang udah gak muda lagi. Jujur ya, ibu tuh kayak kulino gitu sama Mas
Raka. Namanya juga anak pertama kali, ya. Tapi, Mas Raka kan sibuk banget
katanya. Makanya, mas Raffi mau Mas Raka yang sering pulang. Iya ada gue, sih. Tapi
kan lo tau, gue jarang balik. Gue gamau buang-buang bensin gitu dan gue capek
kalau harus pulang ke rumah tiap hari. Disuruh ke rumah tanta juga karena ayah
gak tega sama gue kalau pulang pergi naik motor. Kadang-kadang kalau
abang-abang gue di rumah malah bikin ibu sama ayah ngelus dada karena ada aja
yang di ributin. Hal sekecil apapun itu. Makanya, kadang kalau Mas Raka dan Mas
Raffi pulang, gue males pulang juga. Gak tega liat ibu sama ayah. Apalagi Mas
Raka yang gatau apa-apa tentang rumah. Ah panjang deh, Nan. Ampe lo tidur-tidur
dah”
“Hmmm... pendek juga lo cerita. Lo harus sering balik, Ta. Kasian ibu sama ayah lo. Pasti mereka pengen anaknya
dirumah. Mereka juga kesepian kali, Ta. Lo Bang Toyyib kali ya. Ya, seenggaknya
lo menghibur kesepian mereka gitulah.” Aku kembali mengeluarkan jurusku,
melawak yang tidak lucu. “Balik tiap hari juga gak capek-capek banget kali, Ta.
Kan gak naik turun angkutan. Lo nya aja yang males.”
“Iya
sih, Nan. Tapi, gue tuh kayak gabut kalau di rumah. Gak ada temen gitu.”
“Itu
saatnya lo main sama orang tua lo. Cerita-cerita kek, Ta. Kan orang tua lo
pasti seneng denger lo ngoceh. Tunjukkin kemampuan mulut lo, dong.”
“Wah sialan, tapi iya,
sih. Ya, coba aja nnt gue balik, asalkan lo ikut gue. Tapi, lo asik juga ya
kalau diajak cerita. Gue emang jarang banget curhat ke temen-temen gue. Dilla
pun gak pernah tau curhatan-curhatan gue. Gue gak begitu nyaman cerita sama
orang lain, Nan. Tapi lo enak diajak cerita walaupun solusinya Cuma sedikit
banget hehee... sayang Kinaaaann...”
“Yeehh...
sayang your head!!” candaku sambil memukul bahunya.
––––––
Sejak
saat itulah, Atta lebih sering bercerita denganku tentang apa yang dia alami.
Masalah keluarga, masalah mata kuliah, masalah nilai bahkan masalah cintanya.
Berbeda denganku yang masih ragu untuk bertukar kisah dan masalah dengannya.
Aku rasa dia bukan pendengar yang baik.
***