Sabtu, 08 Maret 2014

Part #12

 Baiklah, aku belum menemukannya untuk kali ini. Biarkan ia berkeliling-keliling sekolah. Kali ini pandanganku akan kufokuskan pada daftar nama dan kelas di mading. Aku memilih IPS sebagai jurusanku. Bukan karena aku bodoh dipelajaran IPA. Tapi, karena aku memang tertarik dengan semua pelajaran dijurusan IPS. Betapa bahagianya aku, aku kembali dipertemukan dengan Meli. Ia adalah kawanku di kelas awal ketika kami junior. Aku tak begitu akrab dengannya. Tapi setidaknya, ia mengetahui hubunganku dengan Adam dan ia akan mendengarkan curhatanku tentang Adam.
“Mel, kita sekelas. Duduk bersamaku?” Aku memberanikan diri untuk memberikan penawaran.
“Ide yang bagus. Semoga menyenangkan…” Aku rasa Meli menyetujui penawaranku. Kau akan menjadi pelabuhan isi hatiku, Mel. Tak perlu khawatir. Aku dan Adam, baik-baik saja. Bagaimana aku tak kaget, Meli menunjuk lelaki di kelas baru kami. Adam satu kelas denganku. Kebahagiaanku semakin bertambah. Aku akan lebih dekat dengan Adam. Lebih baik teman rasa kekasih dibanding kekasih rasa teman. Leganya hatiku, bisa menjaganya dari ancaman junior yang lebih cantik dibandingku pastinya.
            Bagaikan bintang disiang yang terik. Memang langit terlihat lengkap karena bintang. Namun, apa gunanya bintang disiang hari jika ada matahari? Farah. Wanita bertubuh sekal, berkulit hitam manis, cantik, bahkan aku melihat kepintarannya dari wajahnya. Ia adalah murid alumni junior kelas sebelah. Tak terlalu terkenal sepertiku. Agak tertutup untuk kehidupannya.
“Cie, akhirnya sekelas juga kamu sama Adam. Masih gantung? Atau sudah… hahaha…” Hampir semua teman-temanku tahu hubunganku dengan Adam. Bahkan, mereka yang satu kelas denganku atau pun tidak kerap kali menanyakannya kepadaku. Aku dapat berkata apa? Jika aku mengatakan yang sesungguhnya, mereka akan tahu seluk beluk hubungan kami. Hanya senyum yang ku lontarkan. Begitu juga dengan Farah, ia mengetahui hubunganku dengan Adam. Aku memang bersatu dengan Adam. Namun, dapatkah menjanjikan sesuatu? Kadang aku perpikir mereka yang menanyakan status kami, mereka telah menyakiti perasaanku bahkan meledekku. Baiklah, itu hanya gurauan semata.
            Lalu, ada apa dengan Farah? Farah menjadi masalah besar dalam hubungan tanpa kepastianku dengan Adam. Jujur saja, aku sangat nyaman berteman dengannya. Ia sangatlah baik. Bagaimana aku tak merasa nyaman dengan Farah? Setiap kali aku murung, ia selalu menghampiriku dan bertanya tentang masalahku. Jelas saja aku tak senggan bercerita dengannya. Ia juga merespon dengan baik. Kadang, ia menjadi terbawa suasana karena ceritaku. Tak hanya itu kedekatan kami, kami mengikuti ekskul yang sama di sekolah. Ketika kami sedang menjalani rutinitas ekskul, kami sangat dekat. Tak jarang kami makan siang bersama. Lalu?
            Apakah aku dan Adam semakin dekat seperti dahulu? Layaknya sepasang kekasih yang baru memulai hubungan? Aku sempat berpikir begitu. Tak hanya aku, semua kawanku juga sempat merasa lega karena Adam dan aku sudah bersatu. Dulu, aku memang sering mengeluarkan air mata karenannya. Jadi, betapa leganya kawan-kawanku tatlaka mengetahui aku satu kelas dengannya. Memang kenyataannya, aku dan Adam semakin dekat. Tapi, tidak dengan tempat duduk. Bak Adam di Sabang, aku di Merauke. Kami saling mengujung. Meski begitu, apapun caranya, aku masih tetap bisa memandangi wajahnya yang tampan.
                                                                 ***
            Sempat kukatakan, aku sangat benci pelajaran semacam Matematika. Itu dapat membuatku frustasi. Entah apa yang membuatku menyukainya ketika aku duduk dibangku SMA kelas dua. Aku memang ingin menunjukkan perubahan pada diriku. Perlahan, kumulai menikmati indahya ukiran angka-angka mematikan itu. Meli mungkin bertanya-tanya dengan perubahanku. Baiklah, aku akan jujur. Dulu, setiap kali perlajaran Matematika, aku selalu dikelilingi perasaan malas. Aku selalu acuh dengan angka-angka mematikan ini. Ketika ujian pun, kubiarkan soal yang kumiliki rusak tak karuan. Kertas soalku hanya berisi coretan gambar dan keluhan-keluhanku.
“Kerjakan LKS Matematika halaman 6. Bapak mau turun kebawah sebentar, ya.” Kali ini, aku tak lagi malas mendengar pengajar Matematikaku berkicau. Bahkan, aku sibuk bolak-balik untuk bertanya.
            Dengan semangat yang penuh, kubuka LKS Matematikaku dan mengerjakannya setelah Pak Guru menerangkan sebelumnya. Kubolak-balikkan lembar demi lembar. Adam menghampiriku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar