Sabtu, 15 Februari 2014

Part #8

            Dengan cepat aku menyadarkan diriku dari lamunan itu dan memasuki istana kecil Adam. Aku sempat berpikir, wajarkah jika aku masuk kedalam rumah Adam? Adam pikir itu hal yang wajar, aku pun berpikir begitu juga. Selagi kami tak hanya berdua dan melakukan hal yang bodoh. Faktanya pun, kami tak akan melakukan hal bodoh. Saat aku memasuki pintu rumahnya, aku disambut dengan sebuah lukisan bercatatan kaki, ‘Adam’. Apa? Bagaimana bisa Adam melukis sebagus ini? Tapi memang benar adanya, ini adalah lukisan Adam.
“Itu lukisan terburukku. Mamah yang memasangnya disini. Sebernarnya di pasang tanpa persetujuanku.” Ia menepuk pundakku selama aku memandangi lukisan indah itu. Lukisan itu benar-benar indah. Lukisan itu beralaskan kanvas. Sebuah lukisan pemandangan. Aku tak tahu apa maksud lukisan itu, tapi kurasa lukisan ini memiliki arti. “Itu ada maknanya lho.” Apa yang sedang ku pikirkan ia menjawabnya.
“Ohya? Bagaimana bisa disebut lukisan terburuk? Wow, apa itu?”
 “Lihat bagian ini, warnya pudar. Satu kesalahan, akan berakibat kepada keseluruhan. Itu tempat yang indah. Banyak kenangan di tempat itu. Aku dan Zalfa pernah berkunjung ketempat itu, ia memintaku untuk melukis tempat itu. Lalu ia bernyanyi dengan alat music favoritnya, biola. Hmmm… Sungguh ingat. Ah, aku jadi sedih.”
            Sakit, Dam! Cukup! Aku tak lagi merespon kritikmu tentang lukisanmu. Jika begitu adanya, aku tak akan memintamu untuk menceritakannya. Sesaknya dadaku mulai terasa. Sontak sepenggal ceritanya membuat ku ingin menangis pada saat itu juga. Tapi, bukan guyon jika aku menangis di hadapannya. Tak ingatkah kau Adam? Kau pernah mengatakan hal manis kepadaku.
“Maaf, Qhey. Udah ga usah dipikirin, kan, aku janji.” Adam masih mengingat janjinya. Tapi, mengapa kau membuat ku jatuh, Dam. “Yuk, masuk… Jangan disini aja.” Baiklah, aku akan berfaking sementara di hadapannya karena semua akan baik-baik saja. Baiklah, Qhey, Zalfa hanyalah serpihan masa lalu Adam.
            Terlepas dari kejadian buruk itu. Aku kembali terpukau ketika aku tahu. Bahwa, Adam memiliki satu dua saudara lelaki dan perempuan. Adik dan kakak. Sempurna. Ia memiliki kakak lelaki bernama Fatih dan satu adik perempuan bernama Khanza. Kak Fatih sangat cool jika aku boleh memilih, aku akan lebih memilih kak Fatih dibanding Adam. Tapi, kau beruntung, Dam. Tak ada pilihan untuk memilih. Aku tetap memilihmu. Aku sudah tenlanjur.
Aza, begitu panggilannya. Hidungnya kecil bibirnya pun kecil. Rambutnya bermodel bob, seperti dora . Aza baru memasuki sekolah Taman Kanak-Kanak. Tapi, sungguh ia sangat pintar. Saat aku menginjakkan kakiku ke arahnya, ia segera mencium tanganku dan mengatakan ‘selamat datang’. Astaga! Betapa lucunya anak mungil ini. Aza sangat mirip dengan kak Fatih. Jika jarak mereka dekat, pasti semua orang akan menganggap mereka saudara kembar. Untungnya, jarak mereka jauh. Saat ini kak Fatih mencari ilmu di salah satu Universitas di Jakarta, ia mengambil jurusan Fakultas Hukum.
            Rumahnya juga sangat unik. Hampir disetiap ruangan di rumahnya terdapat televisi, kecuali di kamar mandi. Aku sempat bersendau gurau dengan ibu Adam. Ibu Vita. Beliau sangat ramah. Aku juga sempat membantunya memasak makan siang untuk kami. Kami? Ya, ada aku disana. Ayah Adam sedang tugas keluar kota. Jadi, aku tak tahu wajah ayahnya. Aku hanya melihat fotonya di ruang makan.
“Tante, kenapa gambar ini diletakkan di ruang makan?”
“Iyya, sayang. Kalau keluarga kami sedang tak lengkap, kami akan merasa lengkap karena foto itu.” Begitu ramahnya wanita ini. Berkulit putih. Senyumnya pun tak pelit. Kami membicarakan banyak hal kala itu. Sampai terlihat lekukan di pipinya. Aku sangat menyukainya.
            Bu Vita sangat senang berkutat di dapur. Apalagi jika ia sudah memasak masakan kesukaan Aza. Uniknya lagi, di dapurnya terdapat televisi kecil di dekat lemari dinding. “Biar tante semangat. Hehe…” Ia kembali membuat lekukan indah dipipinya. Di ruang makan tak hanya terdapat foto keluarga mereka. Disana pun terdapat televisi. Agar Aza semangat untuk menyuap sesuap nasi, bahkan lebih.
Aku sangat senang berada disini. Kenyamanan itu semakin terasa ketika aku melihat background di ruang makan. Kelinci-kelinci itu dibiarkan lepas dihalaman. Aku sempat bertanya, bagaimana jika kelinci itu masuk kedalam dan mengganggu? Itu tak akan terjadi, karena halaman dan ruang makan dibatasi dengan pintu kaca. Oh Tuhan, ingin rasanya aku menjadi bagian dari keluarga mereka.
                                                  ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar