Rabu, 26 Februari 2014

Part #11

“Sepi, nih.” Aku mendapat sebuah pesan singkat dari Adam. Lagi-lagi aku harus menjenguknya. Aku tak ingin menkajak siapapun. Jarang-jarang aku menikmati moment seperti ini.
            Kali ini, aku memasuki pintu rumah sakit dengan membawa makanan kesukaanya. Sebelum menuju ke rumah sakit, aku menyempatkan diri memasak untuknya. Aku meracik bumbu demi bumbu untuk makanan kesukaan Adam. Sayur Asam dengan taburan ikan teri kecil goreng diatasnya. Untung saja, hari ini adalah hari libur. Sehingga mudah bagiku untuk menghidangkan makanan kesukaanya. Kusajikan makanan ini disebuah piring. Ia menyuapkan sendok demi sendok ke bibirnya. Hingga tiba saatnya, ia melakukan hal konyol. Ia melayangkan sendok itu kearah bibirku. “Hey! Mana bisa seseorang yang sedang sakit menyuapi orang yang sehat. Tapi, kau sudah besar aku tak perlu melakukannya untukmmu.” Aku tertawa geli kala itu. Jelas saja ku dorong sendok itu kembali ke mulutnya. Lahap sekali ia memakannya. “Entah bagaimana dengan rasanya. Aku harap tak akan terjadi sesuatu padamu.”
“Hahaha… Enak, Qhey. Kuhargai perjuanganmu. Perjuangan ibumu, tepatnya. Wanita sepertimu mana bisa memasak masakan seperti ini. Impossible, Qheyla. Sampaikan salamku untuk ibumu. Wanita yang telah meluangkan waktunya untuk memasak makanan kesukaanku.”
“Kau pikir aku wanita macam apa, Dam? Masak seperti ini saja tak bisa? Bukan Qheyla namanya. Ibuku? Hey! Kau menyukai ibuku?” Aku melayangkan ekspresi sinis kepadanya.
“Iya, jelas ibumu. Wanita berhidung pesek mana bisa menghirup harumnya masakan? Wanita bermata sipit mana bisa melihat porsi bumbu masakan? Wanita berbibir kecil mana bisa meraskan makanan? Hahaha…” Adam sangat senang meledekku, tawanya sangat puas. Kejamnya kau Adam!
“Segampang itu kau meremehkanku, Dam?”
“Tapi, kau tahu kelebihanmu?”
“Apa itu?” Sungguh, aku sangat muak dengan leluconnya.
“Kau dapat membuat hatiku meleleh dengan cepat. Seperti ice cream yang di letakkan dibawah sinar matahari.” Astaga! Ini bukan lelucon, Dam. Aku tak tahu harus tertawa atau membunuhmu.
            Tawa kami menggema di kamar Adam kala itu. Bahkan, ia tak sadar telah menghilangnya semua isi yang ada dipiring tersebut. Syukurlah, perutnya kembali terisi. Entah petir apa yang ada dalam diriku sehingga mudahnya…
“Apa kau masih berharap Zalfa?” Tuhan, mengapa kau biarkan kalimat lancang ini keluar dari mulutku?
“Percayalah, Qhey. Zalfa hanyalah serpihan masalaluku. Kau mengkhawatirkannya? Lalu, jika aku bertanya. Bagaimana dengan kepastian?” Mutiaraku sudah menggenang dikantung mataku. Sungguh, aku tak dapat menahannya. “Kau takut? Jawab, Qhey.”
“Apa harus ada kepastian? Aku takut, Dam.”
“Akupun begitu. Sebenarnya sulit rasanya aku mengatakan ini. Aku juga tak ingin memilikimu saat ini. Aku memang mencintaimu, Qhey. Takut jika esok tak lebih indah dari hari ini.”
“Kita akan baik-baik saja, Kan?” Sungguh, aku tak dapat berkata apa-apa lagi. Hanya itu yang ada dalam benakku.
“Percayalah. Kau bilang kepastian itu bukan hal penting. Ya, kita akan baik-baik saja, Qhey. Bukankah, tak perlu menjadi yang special untuk melakukan hal yang special? Meski aku mencintaimu dank au mencintaiku. Baiklah, tak perlu ada kepastian.”
            Mutiaraku tak dapat ku tahan. Kubiarkan mutiara itu berjatuhan di bahu Adam. “Aku tak senang kau menangis, Qhey. Janganlah menangis karenaku.” Sore itu, aku benar-benar tenggelam dalam dekapannya yang hangat.
“Hari ini, kita terakhir bertemu, Dam. Besok sudah libur panjang.” Aku mulai mencairkan suasana.
“Kita tetap selalu berdekatan.” Senyumnya di rumah sakit mengakhiri tahun ajaran di sekolah kami kala itu.
                                                                        ***
            Satu tahun telah kami lewati. Jelas saja aku dan Adam tak lagi menjadi murid terjunior. Kami sudah memiliki adik kelas. Ada yang menarik wajahnya, ada juga yang membosankan. Bahkan, menakutkan. Aku harus waspada menjaga Adam. Meskipun belum ada hubungan kepastian bagi kami. Banyak wanita junior yang lebih cantik dariku.
            Seperti yang kukira diawal aku bertemu sosok Adam yang dulu kukira ia adalah seorang kapten basket. Diawal ajaran baru ini, ia kerap kali bergabung dalam Club Basketball. Ia selalu berlatih disore hari, setelah kegiatan belajar habis. Klub ini tak hanya untuk kalangan tertentu. Artinya, terbuka untuk semua kalangan. Bahkan, jika petugas sekolah ingin bergabung juga terbuka. Namun, petugas sekolah kami sangat mengerti akan artinya umur bagi mereka. Terbuka. Tak hanya lelaki berotot saja yang bergabung. Yang tak punya otot pun bisa bergabung. Tak hanya lelaki saja, siswi remaja pun banyak yang bergabung. Termasuk junior kami.
            Perkiraanku benar. Adam memang lelaki paling tampan di sekolah. Bagaimana tidak? Berawal dari wanita junior yang bermata sipit, berkulit putih, dan berkawat gigi. Aku mendapati wanita itu mengagumi Adam. Sungguh, rasa cemburuku tumbuh kala itu. jelas saja aku menyimpan cemburu yang dalam. Aku tak pernah memiliki Adam, meski kami sudah sangat dekat. Aku takut, takut jika wanita cantik itu dapat memilikinya tanpa perjuangan yang kuperjuangkan selama ini. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku melarang wanita itu untuk menyukai Adam? Tidak, aku tak berhak melakukannya. Adam bukan siapa-siapaku. Bisa-bisa Adam membenciku. Ekspresi sinis kerap kali ku tunjukkan kala aku melihat mereka bersama. Mereka satu klub basket. Kekhawatiranku benar-benar tak dapat ku sembunyikan.
“Tak usah pasang wajah sinis ketika kami bersama.” Adam menghampiriku yang sedang duduk dipinggir lapangan basket. Kala itu, aku sedang memperhatikannya berlatih. Wajah sinisku terlihat ketika mereka bersendau gurau bersama.
“Apa? Bagaimana tidak? Bagaimana kalau kau menyukainnya? Bagaimana jika kau melupakanku?” Aku sedikit menaikkan nadaku.
“Tak perlu khawatir. Kau berlebihan, dia adalah junior. Mana bisa aku menyukai junior? Percayalah, ingatlah janjiku. Aku hanya berteman.” Banyak sekali usaha Adam untuk meyakinkanku akan janjinya.
“Padahal, kau tidak begitu tampan.” Ia menghancurkan jilbabku yang tak pernah berantakan dan langsung mengambil bola basket untuk memasukkannya ke ring.
            Kami kembali ke rumah bersama dan melupakan beberapa gelintir wanita junior yang mengagumi Adam.

“Apa tadi kau bilang? Aku tak begitu tampan? Tak mungkin kau menyukaiku jika aku tak begitu tampan.” Ketampanan Adam menutup sore yang senja kala itu.
                                                           ***
           Pagi ini aku mengintai sosoknya. Hampir disemua sudut sekolah ku pandangi. Setelah satu tahun kami lewati, banyak sekali rintangan, banyak pula pelajaran yang kudapati.

Minggu, 23 Februari 2014

Part #10

            Setelah suster cantik itu pergi meninggalkan kami, aku menyendokkan sedikit demi sedikit porsi untuk Adam. Kala itu, Adam tersenyum tanpa henti. Mungkin, karena perkataan yang dilontarkan suster cantik tadi. Awalnya, ia enggan memakan makanannya. Menunya ikan, Adam tak menyukai ikan.
“Sakit aja masih bisa pilih-pilih makanan. Ga boleh begitu. Cepat makan.” Ku biarkan suara itu menggema dalam ruangannya dan mulai menyodorkan piring berisi sepaket lauk itu. Ia tak lekas menyuapkan sendok demi sendok ke mulutnya. “Apa?” Wajahnya memelas dan matanya menatapku. Aku mengerti maksudnya. “Sudahlah, Dam. Sudah besar, haruskah aku yang menyuapimu?” Dengan terpaksa ia memasukkan nasi kedalam mulutnya. Tetap saja, tanpa ikan. Biarkanlah, asalkan perutnya terisi, dapat sedikit membuatku lega.
“Aku sudah kenyang, Qhey.” Adam mulai mengeluh dan mengaduk-aduk isi piringnya.
“Yasudah, jangan dipaksa. Minum obatnya.” Aku rasa, porsi untuk orang yang sedang sakit itu sudah lumayan banyak. Aku merasakan kebahagiaan tersendiri dapat merawat Adam.
            Ia membiarkan bulatan pahit itu masuk kedalam mulutnya, bahkan kedalam perutnya. Sesekali aku meliriknya, ia memandangiku yang sedang bermain gadget. Hey! Mengapa kau merebut mainanku?! Tapi, tak seperti biasanya. Jika ia merebut mainanku, ia pasti memainkannya. Kali ini, ia menaruhnya di meja dekat kasurnya. Kebingungan mulai mengelilingi pikiranku. Sontak ekspresi dan suasana pada saat itu menjadi serius.
“Qhey…” Mataku sama sekali tak berkedip. Sedangkan matanya, ingin sesuatu terungkap kala itu. Ada apa dengannya?
“Ada apa? Mengapa kau merebut gadgetku?” Perlahan, aku mulai membaca pikirannya.
“Gak capek begini terus?”
“Apa maksudmu?”
“Aku butuh kepastian. Aku yakin, kamu juga pasti membutuhkannya, Qhey. Kita sudah dekat lama. Bahkan, perasaanku lebih padamu.” Jantungku kembali berdegup. Tuhan, bagaimana ini? Apakah aku menyakitinya? Bantu aku. Ia menggenggam tanganku dengan erat. Hangat sekali. Bagaimana jemari ini dapat kurasakan lebih dari genggaman sebelumnya? Padahal, kali ini terdapat infus di tempurungnya.
                                                            ***
            Perasaan khawatir, bingung, serba salah, bahkan tak enak kurasakan kala itu. Semua ini kulakukan demi menjaga hubungan kami. Jika kami melanjutkan, aku khawatir kami tak akan sedekat ini. Apa kau memikirkannya, Dam? Saat ini, aku tak ingin kepastian. Percayalah pada janji itu. Mungkin, Adam pun tak ingin mengatakannya. Tapi, mulut menolaknya dan hati Adam membuarkannya. Sebelum aku meninggalkannya, ia memberi sebuah dekapan untukku. Aku merasakan kehaangatan itu lagi, sangat tulus. Aku yakin, Tuhan punya rencana lain untuk aku dan Adam. Pasti yang terbaik, aku yakin. Kita akan baik-baik saja meski tanpa kepastian, kan?
“Ingat janjimu.” Percayalah padaku, Dam.
“Kau juga, Dam.” Kutinggalkan satu parsel buah-buahan untuknya.
            Cukup lama Adam tak masuk sekolah. Banyak pula tugas yang harus ia tanggung. Meski aku tak satu kelas dengannya, tak salah bagiku untuk membantunya. Aku mencari tahu tentang tugas dikelasnya. Dari mulai yang mudah, hingga yang rumit sekalipun. Zalfa yang telah lama dicintaimu saja tak pernah peduli denganmu, Dam. Bagaimana denganku yang baru sebentar kau cintai? Bukan masalah yang besar untukku, Dam.
            Satu demi satu kumulai mencari tahu tentang tugasnya. Adam tak tahu seberapa sibuknya aku membantunya mencari tahu tentang tugasnya. Mungkin, Adam merasa lebih senang jika Zalfa yang melakukannya. Ah, sudahlah. Aku tak peduli.

Kamis, 20 Februari 2014

Part #9

Hari ini sekolah kami masuk seperti biasa. Setelah kemarin diliburkan, aku dan Adam tak berangkat bersama. Aku tak sabar ingin melihat wajahya. Sudah lama rasanya aku tak melihatnya. Padahal, baru semalam menjelang tidurku aku memandangi gambarnya di ponselku. Sepasang mataku selalu mengarah kepadanya. Aku tak tahu, pelet apa yang telah dipasangnya. Aku merasa, bak magnet bertemu magnet. Ada tarikkan yang selalu mengarah untuknya. Namun, kemana lelaki magnet itu? Tak terlihat sedikit pun batang hidungnya.
“Mana Adam?” Kali ini aku memfokuskan pandanganku kepada teman terbaikku, Faqih.
“Adam? Kurang tau, Qhey. Aku gak lihat dari tadi.” Magnet itu semakin kencang. Tarikkan itu membuatku tak dapat menahannya. Kemana Adam? Aku merindukanmu.
            Hari-hariku kali ini sangat sepi. Layaknya semut yang kehilangan rombongannya. Baiklah, aku akan memberanikan diri untuk menanyakan kabarnya melalui pesan singkat. Lama sekali ia membalasnya. Kemana makhluk ini? Ah, aku muak menunggunya,. Ia tak kunjung membalas pesan singkatku. Kekhawatiranku mulai melonjak ketika ia mengacuhkan pesan singkatku dan Zalfa menghampiriku dengan wajah yang cemas.
“Qhey!!!” Tarikan nafasnya seperti balon yang bocor. Tak dapat di tahan hembusannya.
“Iya. Kenapa? Santai, Fa…”
“Adam masuk rumah sakit, ya?” Adam? Di rumah sakit?
“Apa? Kamu tau dari mana?”
“Tadi dia menghubungi dan mengabarkanku tentang keadaannya.” Ya Tuhan, mengapa Zalfa? Seberapa pentingkah Zalfa untuknya? Aku tak hanya ingin diingat. Tapi, perlakukanlah aku sama pentingnya seperti Zalfa untukmu. Dadaku sesak, saat aku tahu Zalfa adalah orang pertama yang tahu tentang keadaan Adam. Bahkan, Faqih pun tak tahu. Hanya senyuman kekhawatiran yang dapat ku berikan pada Zalfa kala itu.
            Kuarahkan ponselku untuk menghubungi Adam. “Adam? Kamu sakit? Sekarang bagaimana?” Syukurlah, ia mengangkat teleponku.
“Iya. Kok tahu?”
“Aku tahu dari Zalfa. Tadi dia membertahuku.”
“Astaga! Wanita manis itu memberitahumu? Sungguh, benar-benar tak dapat menjaga rahasia.” Adam? Kau sedang berbicara dengan orang yang ingin dikatakan penting dalam hidupmu.
“Baiklah, cepatlah kau sembuh agar kita dapat bermain bersama.” Adam dan aku segera mengakhiri perbincangan kita. Aku sedikit shock saat Adam mengatakan ‘wanita manis’. Aku tahu, aku memang tak seberapa pentingnya untuk Adam.
            Aku baru saja mendapat kabar bahwa Adam dirawat di Rumah Sakit Kasih Bunda. Rumah sakit itu jauh dari tempat tinggalku. Aku ingin melihatnya. Ya, meski mungkin bukan aku yang diharapkannya. Tapi, Zalfa. Bagaimana aku bisa menjenguknya? Jadwalku sangatlah padat. Adam cepatlah sembuh, aku benar-benar merindukanmu. Kali ini aku tak peduli seberapa pentingnya aku untukmu. Aku akan terus berdo’a untuk kesembuhanmu.
                                                            ***
            Warna langit hari ini masih terlihat jingga. Aku memutuskan untuk absen dalam rapat OSIS. Ini kulakukan untuk Adam. Aku akan menjenguknya disana. Hanya sendiri. Aku sempat mengajak Zalfa, yang mungkin Adam harapkan kehadirannya. Namun, Zalfa menolaknya. Adam tak lebih penting dari kegiatan pribadinya. Lambat laun, aku akan menjadi orang penting dalam hidupmu, Dam. Aku yakin.
            Aku menginjakkan kakiku kedalam rumah sakit. Lantai demi lantai kulewati dengan lift. Ya, aku sudah berada tepat didepan kamar Adam. Kamarnya VIP, tak ada pasien lain selain dirinya. Perlahan, ku ketuk pintu kamarnya. Aku menembusnya secara perlahan. Senyuman itu menjadi pembuka kehadiranku. Kosong. Tak ada orang. Hanya ada Adam yang terbaring lemah dengan selang berjarum di tempurung tangannya.
“Adam? Sendiri?”
“Iya. Sini, temenin. Ibu pulang sebentar nganter Aza. Kasihan dia. Lagipula, aku tak serparah yang kau pikirkan. Tak usah mengkhawatirkanku”
“Bagaimana mungkin ini tak parah? Apa yang dokter katakan?”
“Nyamuk nakal itu lebih menyukaiku. Mereka mencintaiku lebih darimu, Qhey.”
“DBD? Aku tak sedang mengajakmu bergurau, Dam.”
            Aku hanya dapat memandangi wajahnya yang masih pucat pasi. Ingin rasanya kubiarkan ia tenggelam dalam dekapanku. Tak ada pembicaraan antara kami. Seperti biasa, hanya tubuh kami yang berbicara. Sedang mulut kami, kaku bukan kepalang. Moment ini sangat indah. Seorang suster masuk kedalam kamar Adam. Suster cantik berambut panjang yang di kuncir kuda itu memberikan jatah makan kepada Adam. “Oh, saya pikir tak ada orang. Syukurlah jika kekasihmu datang, Tuan. Serasi sekali.” Hampir kubiarkan bola mataku keluar dari sarangnya, ketika mendengar suster cantik itu berbicara berbicara seperti itu. Jangankan kekasih, menjadi orang penting dalam hidupnya saja belum.

Sabtu, 15 Februari 2014

Part #8

            Dengan cepat aku menyadarkan diriku dari lamunan itu dan memasuki istana kecil Adam. Aku sempat berpikir, wajarkah jika aku masuk kedalam rumah Adam? Adam pikir itu hal yang wajar, aku pun berpikir begitu juga. Selagi kami tak hanya berdua dan melakukan hal yang bodoh. Faktanya pun, kami tak akan melakukan hal bodoh. Saat aku memasuki pintu rumahnya, aku disambut dengan sebuah lukisan bercatatan kaki, ‘Adam’. Apa? Bagaimana bisa Adam melukis sebagus ini? Tapi memang benar adanya, ini adalah lukisan Adam.
“Itu lukisan terburukku. Mamah yang memasangnya disini. Sebernarnya di pasang tanpa persetujuanku.” Ia menepuk pundakku selama aku memandangi lukisan indah itu. Lukisan itu benar-benar indah. Lukisan itu beralaskan kanvas. Sebuah lukisan pemandangan. Aku tak tahu apa maksud lukisan itu, tapi kurasa lukisan ini memiliki arti. “Itu ada maknanya lho.” Apa yang sedang ku pikirkan ia menjawabnya.
“Ohya? Bagaimana bisa disebut lukisan terburuk? Wow, apa itu?”
 “Lihat bagian ini, warnya pudar. Satu kesalahan, akan berakibat kepada keseluruhan. Itu tempat yang indah. Banyak kenangan di tempat itu. Aku dan Zalfa pernah berkunjung ketempat itu, ia memintaku untuk melukis tempat itu. Lalu ia bernyanyi dengan alat music favoritnya, biola. Hmmm… Sungguh ingat. Ah, aku jadi sedih.”
            Sakit, Dam! Cukup! Aku tak lagi merespon kritikmu tentang lukisanmu. Jika begitu adanya, aku tak akan memintamu untuk menceritakannya. Sesaknya dadaku mulai terasa. Sontak sepenggal ceritanya membuat ku ingin menangis pada saat itu juga. Tapi, bukan guyon jika aku menangis di hadapannya. Tak ingatkah kau Adam? Kau pernah mengatakan hal manis kepadaku.
“Maaf, Qhey. Udah ga usah dipikirin, kan, aku janji.” Adam masih mengingat janjinya. Tapi, mengapa kau membuat ku jatuh, Dam. “Yuk, masuk… Jangan disini aja.” Baiklah, aku akan berfaking sementara di hadapannya karena semua akan baik-baik saja. Baiklah, Qhey, Zalfa hanyalah serpihan masa lalu Adam.
            Terlepas dari kejadian buruk itu. Aku kembali terpukau ketika aku tahu. Bahwa, Adam memiliki satu dua saudara lelaki dan perempuan. Adik dan kakak. Sempurna. Ia memiliki kakak lelaki bernama Fatih dan satu adik perempuan bernama Khanza. Kak Fatih sangat cool jika aku boleh memilih, aku akan lebih memilih kak Fatih dibanding Adam. Tapi, kau beruntung, Dam. Tak ada pilihan untuk memilih. Aku tetap memilihmu. Aku sudah tenlanjur.
Aza, begitu panggilannya. Hidungnya kecil bibirnya pun kecil. Rambutnya bermodel bob, seperti dora . Aza baru memasuki sekolah Taman Kanak-Kanak. Tapi, sungguh ia sangat pintar. Saat aku menginjakkan kakiku ke arahnya, ia segera mencium tanganku dan mengatakan ‘selamat datang’. Astaga! Betapa lucunya anak mungil ini. Aza sangat mirip dengan kak Fatih. Jika jarak mereka dekat, pasti semua orang akan menganggap mereka saudara kembar. Untungnya, jarak mereka jauh. Saat ini kak Fatih mencari ilmu di salah satu Universitas di Jakarta, ia mengambil jurusan Fakultas Hukum.
            Rumahnya juga sangat unik. Hampir disetiap ruangan di rumahnya terdapat televisi, kecuali di kamar mandi. Aku sempat bersendau gurau dengan ibu Adam. Ibu Vita. Beliau sangat ramah. Aku juga sempat membantunya memasak makan siang untuk kami. Kami? Ya, ada aku disana. Ayah Adam sedang tugas keluar kota. Jadi, aku tak tahu wajah ayahnya. Aku hanya melihat fotonya di ruang makan.
“Tante, kenapa gambar ini diletakkan di ruang makan?”
“Iyya, sayang. Kalau keluarga kami sedang tak lengkap, kami akan merasa lengkap karena foto itu.” Begitu ramahnya wanita ini. Berkulit putih. Senyumnya pun tak pelit. Kami membicarakan banyak hal kala itu. Sampai terlihat lekukan di pipinya. Aku sangat menyukainya.
            Bu Vita sangat senang berkutat di dapur. Apalagi jika ia sudah memasak masakan kesukaan Aza. Uniknya lagi, di dapurnya terdapat televisi kecil di dekat lemari dinding. “Biar tante semangat. Hehe…” Ia kembali membuat lekukan indah dipipinya. Di ruang makan tak hanya terdapat foto keluarga mereka. Disana pun terdapat televisi. Agar Aza semangat untuk menyuap sesuap nasi, bahkan lebih.
Aku sangat senang berada disini. Kenyamanan itu semakin terasa ketika aku melihat background di ruang makan. Kelinci-kelinci itu dibiarkan lepas dihalaman. Aku sempat bertanya, bagaimana jika kelinci itu masuk kedalam dan mengganggu? Itu tak akan terjadi, karena halaman dan ruang makan dibatasi dengan pintu kaca. Oh Tuhan, ingin rasanya aku menjadi bagian dari keluarga mereka.
                                                  ***

Jumat, 14 Februari 2014

Part #7


Kembali lagi ia menarikku kedalam bus. Sore itu, kami menghabiskan waktu bersama. Hanya aku dan Adam. Betapa aku merasakan bahagia yang teramat dalam kala itu. Entah dengannya. Aku pun berharap seperti itu.
            Kejadian sore itu tak dapat membuatku memejamkan mata untuk beristirahat malam. Aku hanya dapat memandangi sebuah buku pemberian Adam. Karena ia tahu bahwa aku sangat senang membaca, ia memberikan ku sebuah novel berjudul ‘Daun yang Jatuh, Tak Pernah Membenci Anginnya’. Aku sempat membaca synopsis buku ini, sangat menarik perhatianku beberapa bulan silam. Buku ini sudah terbit beberapa bulan yang lalu, tapi aku memang tak sempat membelinya. Hanya ada angan-angan saja. Beruntunglah, aku mendapatkannya dengan gratis. Restaurant unik itu menyimpan banyak kenangan. Meskipun toko itu belum lama buka, tapi aku sudah memiliki banyak kenangan dengan Adamku. Apa? Adamku? Semoga saja.
                                                              ***
            Hari ini murid-murid sangat beruntung. Semua guru resmi meliburkan kami setelah kemarin di pulangkan lebih awal. Guru-guru mulai sibuk dengan semester baru. Aku, Faqih, Adam dan beberapa teman dekat kami yang lain memiliki jadwal. Kami akan bersendau gurau di Labas. Labas adalah singkatan Lapangan Basket. Tempat ini tak jauh dari tempat tinggal kami. Kami sering sekali bermain bersama di Labas. Tak hanya berolahraga saja, melainkan bertukar pikiran pun sering kami lakukan disana. Bahkan, kami sangat betah hingga senja.
            Sangat mengejutkan, ketika ku tahu bahwa mereka tak dapat hadir. Setega itukah mereka? Aku telah menunggu lama disini. Sangat lama. “Qheyla!” Ah, akhirnya mereka yang sejak lama kutunggu datang juga.
“Adam?” Hanya Adam yang muncul. Yang lain benar-benar tak dapat hadir? Sungguh kejam. “Benar-benar sendiri?”
“Menurutmu?”
“Iya juga sih. Tapi, kenapa?”
“Daripada disini, mending ikut aku.” Kenyataannya, Adam memang selalu ingin membuatku bahagia. Terimakasih Tuhan, rencanamu sangatlah indah, biarkan ini sampai akhirnya.
“Kemana lagi, Dam?” Aku benar-benar lelah dengan semua tawarannya selama ini. Tapi, memang menyenangkan apa yang ia tawarkan.
            Jalan kaki adalah hal menyebalkan. Aku sangat lelah, Dam. Apa kau tak menyadarinya sedari tadi bagaimana nafasku? Ah, memang sangat kejam. Oh Tuhan, tempat macam apa yang ia kembali tawarkan kepadaku? Sebuah istana yang tak semewah dicerita fiksi. Dengan sigap, Adam membuka pagar berwarna merah marun itu dan menghampiri seekor kelinci putih yang sangat lucu. “Ini rumahmu, Dam?”
“Yap! Yuk, masuk. Silakan… Selamat datang di gubuk tuaku ini.” Ia mulai memamerkan kelebihannya dalam bermajas.
“Dam, apa baik aku masuk kedalam? Ada orang tuamu?” Aku sangat kebingungan. Ia sama sekali tak membuat janji belajar kelompok bersamaku. Tapi, mengapa ia mengajakku ke gubuk tuanya ini?
“Memang salah? Kalau ada kenapa memangnya? Kan biar keluargaku mengenalmu. My future wife.” Astaga! Adam, mulutmu terlalu percaya diri untuk mengucapkannya.
“Adam! Ngomong apa sih? Hati-hati.”
“Loh memang kenapa? Mau kan? Kita jalanin aja dulu.”
            Apa yang ada didalam pikiran Adam? Mulutnya sangat lemas. Tak dapatkah ia menjaga perkataannya. Ya, memang tak ada yang salah. Tapi, belum saatnya ia mengatakan hal seperti itu. Aku merasa takut. Entah apa yang membuat perasaanku mudah merasakannya. Ia menyuruhku menjalaninnya lebih dulu? Apa maksudnya? Semakin lama mulut dan pembicaraan Adam semakin ngawur, semakin tak karuan. Ia benar-benar mengagumiku? Sempat aku termenung diluar pagar. “Qhey! Masuk…”

Kamis, 13 Februari 2014

Part #6

Defibrillator itu semakin kencang, ketika Adam memberikan sebuah pernyataan pada Zalfa, bahwa ia kagum denganku. Apa yang membuatnya kagum padaku?
            Waktu menunjukkan tepat pukul lima sore. Tapi, langit sudah begitu gelapnya. Perlahan rintik hujan mulai membasahi tanah bagian atas. Aku lupa membawa payung, pelapis tubuh pun aku lupa. Aku harus melawan tetesan hujan yang semakin deeras dan dinginnya cuaca kala itu. Jika tidak, aku tak akan sampai kerumah. Ketika aku sedang mengambil ancang-ancang untuk melawan derasnya hujan di ujung koridor sekolah, terasa gelap di atas kepalaku. Saat ku memberanikan mengangkat kepalaku ke atas, pelapis tubuh berwarna abu-abu itu menutupi sebagian kepalaku. Adam. Ya, ini jaket Adam. Ia hanya tersenyum ketika aku merasa kebingungan.
            Adam membiarkanku menaiki bus lebih dulu, karena hujan benar-benar semakin deras. Saat itu, bus yang kami tumpangi sedang penuh dengan penumpang. Kami tak dapat duduk tenang seperti biasanya. Jika kami tak nekat menaiki bus ini, akan semakin lama kami menunggu bus berikutnya. Dengan ikhlas, kami rela berdiri diantara penumpang. Aku merasakan kembali bahasa tubuh Adam. Tangan kirinya menggenggam jemariku, sedang tangan kanannya berusaha menahan kencangnya bus yang sedang melaju. Jemari itu sangat kuat menggenggamku. Bahkan, ketika salah penumpang hendak menimpaku, Adam menarikku kedalam dekapannya. Sangat erat.
            Tak sempat kami duduk, tiba saatnya untukku turun. Adam mengikuti langkahku. Ia bersedia mengantarku pulang kerumah. Malam itu, hujan semakin deras. Kami pun menetapkan diri untuk bersinggah di salah satu pos perumahanku. Tak banyak kalimat yang kami lontarkan kala itu. Bahasa tubuhnya kembali ia tunjukkan padaku. Ia menyematkan jaket abunya itu di pundakku. “Tetaplah bersamaku. Aku janji akan selalu bersamamu. Bagaimana denganmu?.” Astaga! Adam. Ingin rasanya rintik hujan kala itu ku hentikan sejenak. Aku hanya membalas dengan mimic wajah yang sangat bingung. “Janji kah?”
“Iya, aku janji, Dam.” Aku hanya bisa membalasnya dengan kalimat itu. Entah mengapa dengan mudahnya aku berjanji padanya. Sontak keinginanku untuk menghentikan hujan terkabulkan. Hujan kala itu berhenti ketika Adam menggenggam jemariku kembali dengan hangat.
“Sudah reda, Dam. Kamu pulang aja.” Aku menawarkan dengan lepas.
“Ayuk, ku antar kau sampai pagar rumahmu.”
“Ada…” Tak sempat ku menyempurnakan kalimatku, ia menarikku dengan tangan kirinya. Berulang kali ku tawarkan ia untuk pulang, ia bersikeras untuk mengantarku sampai pagar rumahku.
            Sempat ku tawarkan secangkir teh, ia menolaknya. Jangankan secangkir teh, untuk singgah dirumahku saja ia menolaknnya. Malam itu, kami akhiri di depan pagar berwarna hitam itu. jaket abu-abu itu, masih tersemat di tubuhku hingga matahari kembali memunculkan sinarnya.
                                                           ***
            Aku kembali teringat dengan kalimat malam lalu. Begitu mudahnya Adam mengatakannya padaku. Ia benar-benar telah melupakan Zalfa? Aku bersyukur dan sedikit lega, jika Adam sadar, bahwa bukan Zalfalah wanita terbaik untuknya. Zalfa tak sedikit pun menyimpan rasa lebih pada Adam. Bagaimana Adam dapat mempertahankan cintanya untuk seorang wanita yang tak akan pernah membalasnya? Jika itu benar adanya, aku senang. Bukan karena Adam ingin aku selalu bersamanya, tapi karena ia telah melupakan Zalfa. Orang yang selama ini salah jika ia merelakan seluruh jiwa dan raganya.
            Kali ini, siswa dan siswi patut berbahagia. Karena, semua guru sedang rapat dan semua murid di pulangkan lebih awal. Tepat hari ini Ardhi teman kami, bertamah satu tahun umurnya. Ia mengajakku, Adam, Faqih, Dhani, dan Putra untuk makan Ice Cream bersama. Adam sangat senang Ice Cream coklat, sama sepertiku. Ia akan berontak, jika ku masukkan Ice Cream vanilla kedalam mulutnya. Ia sangat beci vanilla.
            Faqih sudah meninggalkan kami. Ia khawatir jika pulang terlalu malam, ibunya akan memarahinya. Begitu juga dengan kawan kami yang lain.
“Dam, gak pulang?” Aku mulai basa-basi.
“Kamu sendiri?”
“Ini mau pulang. Duluan ya, Dam.”
“Hey, jangan pulang dulu. Mau ku ajak ke tempat yang seru gak?” Adam mulai menawarkan hal yang menurutnya mengasyikkan.
“Tempat macam apa?” Seperti biasa, ia bergegas menarik lenganku masuk kedalam bus.
“Disini ada restaurant perpustakaan lho… Baru juga dibuka.”
“Ohya? Benarkah?” Sudah berapa lama ia tahu hobiku membaca?

Sabtu, 08 Februari 2014

Part #5

Kami berpisah saat kendaraan mulai tersebar dari antreannya. Aku lebih dulu turun. Tak sepatah kata pun terlontar dari mulut kami. Adam terbangun saat aku sendang meraba kantung bajuku untuk mengambil ongkos. Tampan sekali. Rambutnya terlihat sedikit berantakan. Adam mengusap matanya dan kembali acuh. Apa Adam lupa ia telah meminjam pundakku selama antrean panjang kendaraan? Ia tak lupa. Ia melontarkan senyuman saat aku sudah di bawah bus. Kali ini ia sangat hangat, tidak seperti disekolah. Adam yang dingin.
            Cuaca mala mini sangat dingin. Dingin hingga menusuk tulang. Sebuah short message dilayar ponselku. Adam.
“Selamat malam, Qhey. Makasih ya tadi pundaknya.” Adam mengucapkan terimakasih? Jarang sekali seorang Adam mengucapkan terimakasih. Tanpa kusadari, mimic wajahku berubah seketika. Bibirku membuat lengkungan senyuman. Berbalas short message dengan Adam membuatku lelah dan terlelap malam itu.
                                                              ***
            Pagi ini kami tak berangkat sekolah bersama. Ketika aku memasuki gerbang sekolah yang kesekian kalinya, mataku selalu bergerak mengintai sosok Adam. Mata, otak dan perasaanku itu sangat kompak. Mereka tak pernah ku berikan pelajaran. Setiap mataku tertuju pada sosok Adam, otakku penuh denganya, dan perasaanku semakin menggebu-gebu padanya. Tapi, saat mata kami kembali bertemu yang keseribu kalinya, ia tak sekalipun melontarkan senyumannya padaku. Apa ia melupakan kejadian semalam? Malam yang telah kami lewati bersama.
            Satu pesan. Dua pesan. Tiga pesan. Hingga puluhan pesan kami lewati malam itu. kalimat-kalimat penyanjung bahkan pujian kami saling lontarkan begitu saja. Kalimat layaknya sepasang kekasih. Apa dia menyukaiku? Apa ia hanya kembali ingin membuatku melayang? Ia sangat manis malam itu. Malam itu, kami tutup dengan ucapan selamat malam. Tak hanya itu, Adam menyelipkan satu kalimat lagi  ‘I Love You’. Nyaris ku lemparkan ponselku saat itu. Aku tak tahu apa yang harus ku balas. Satu pesan itu masih tersimpan di ponselku. Bahkan, menjadi penyemangat awal hariku.
            Sekolahan mulai sepi. Satu demi satu warga sekolah meninggalkan sekolahan. Tidak bagiku, Adam, Faqih, dan Zalfa. Saat itu, kami sedang mengahadiri rapat OSIS. Adam dan Zalfa duduk di satu meja yang sama. Mengapa aku merasa sakit? Takut rasanya jika Adam kembali mengharapkan cinta Zalfa. Ribuan canda dan gelak tawa ia curahkan pada Zalfa. Mengapa aku tak pernah merasakan itu di sekolah. Aku hanya dapat membanyang-bayang saja. Adam, tak ingatkah kau semalam? Tak dapatkah kau perlakukanku seperti Zalfa?
            Zalfa mulai bangkit dari kursinya dan duduk disampingku.
“Kamu sama Adam ada apaan?”
“Apa? Enggak. Cuma temen biasa, Fa.”
“Apa kamu ga ada sedikit tertarik sama Adam? Dia kagum sama kamu.”
            Bagaimana tidak? Saat aku mendengar cerita singkat Zalfa, aku merasa jantungku seperti dipicu dengan defibrillator. Meski selama ini Adam mengincar Zalfa, tak pernah sekalipun Zalfa melayaninya. Bahkan, saat Zalfa mengakhiri hubungannya dengan Rangga, ia tetap tak ingin menyatu bersama Adam.

Part #4

Apa? Adam meninggalkanku setelah kami menyebrang bersama. Mengapa dia begitu berbeda? Ah, aku mengerti. Mungkin ia tak ingin kami terlalu berlebihan ketika sampai dikawasan sekolah. Ah, bisa jadi juga karena Adam tadi memang tak sengaja memegang lenganku
.               Aku benar-benar tertinggal oleh langkahnya. Saat ku memasuki gerbang sekolah, Adam sudah bergabung dengan teman-temannya. Ia tak sehangat kemarin. Ia kembali lagi menjadi Adam yang dingin dan misterius. Bahkan, saat aku berjalan di hadapannya, tak ada bahasa tubuh itu lagi. Tak ada mata kami yang biasanya sangat kalang kabut saat saling bertemu. Baiklah, kejadian itu hanya sebuah kebetulan. Entah apa maksudnya. Aku akan menganggap ini tak pernah terjadi dan aku akan segera menghapuskannya dari ingatanku.
            Mata kami kembali bertemu dikantin. Aku sedang bersama Faqih disana. Aku dan Faqih duduk bersebelahan di kursi panjang, dan Adam? Ia menghampiriku dan menyuruh Faqih menggeser badannya, duduklah Adam di sampingku. Ia memesan semangkuk mie goreng.
“Qhey, mau apa?” Lagi-lagi seperti itu. Aku hanya bisa membesarkan bola mataku.
“Enggak, Dam. Makasih tadi udah.”
“Yaudah, makan ya…” Hanya aku? Disana tak hanya aku. Ada Faqih dan beberapa teman kami yang lain. “Kalau kamu mau, kan bisa aku suapin.” Astaga! Adam terlalu mudah membuatku melayang.
                                                              ***
            Senin kali ini, aku kembali ke rumah bersama Faqih. Sebenarnya, rumah kami bertolak belakang. Kami harus berpisah di Kafaza. Adam ada dibelakang kami, ternyata. “Qih, kenapa ada Adam?” Aku mulai berbisik sebelum jarak Adam mulai dekat dengan kami.
“Yaudah, biarin aja sih. Seneng kan kamu?” Faqih mulai menggodaku. Dia pikir, aku akan bahagia. Aku menyimpan kesal padanya.
            Adam pun turut ikut bersama kami dalam perjalanan kambali ke rumah. Jika mereka bersatu, aku takkan ada artinya bagi mereka. Bahkan, tak nerwujud.
“Jalannya kayak siput.” Adam akan membuka percakapan dengan mengejekku.
“Ini sudah kencang. Kamu saja yang terlalu cepat jalannya.”
“Qheyla… Qheyla…” Sentuhan itu kembali kurasakan. Iya, dia mengusap kepalaku yang terlapisi jilbab.
“Duluan ya…” Faqih meninggalkan kami dan lambaian tangannya mengarah kepada kami di sebrang.
            Bus tujuan aku dan Adam lama tak kunjung datang. Aku dapat melihat barisan kendaraan padat memenuhi jalanan. “Alamat kita lama di bus, Dam.”
“Lebih lama kan lebih baik.” Jawaban Adam mulai tak beraturan. Perlahan mulai kuresapi. Ia akan membuatku kembali melayang? Aku tak tahu. Aku hanya dapat menaikkan kedua alisku dan melemparkan senyuman bingung kepadanya.
            Antrean kendaraan begitu panjang. Mataku mulai menyipit dan mulai terkantuk-kantuk. Untung saja kami sudah menaikki bus. Tapi, bagaimana bisa aku tertidur dalam kondisi seperti ini? Panas, sempit, ah, tak karuan. Adam yang duduk disampingku pun mulai terkantuk karena lamanya bus kami lepas dari antrean panjang. Pundakku terasa amat berat. Adam menjatuhkan kepalanya di bahuku. Harum. Ia sangat harum sedangkan, di dalam bus sudah bermacam-macam keringat yang kucium. Wangi badan Adam masih tersisa ditubuhnya. Rambutnya pun bisa ku tatap dengan seksama. Matanya yang indah dapat membuat mataku bersinar-sinar. Tuhan, makhluk macam apa yang kau perkenalkan kepadaku.

Sabtu, 01 Februari 2014

Part #3

“Oh iya, Qhey. Aku lupa. Ada satu hal lagi yang belum ku ceritakan ke kamu.”
“Hah? Apaan, Qih?
“Adam itu suka gambar, Qhey. Gambarnya bagus-bagus, deh. Aku pernah liat bukunya. Dari depan sampai belakang itu gambar dia semua.” Aku mulai tak mengerti maksud Faqih. Apakah ini ada hubungannya dengan seniman misterius itu?
“Oh ya? Lalu? Apa menurutmu seniman misterius yang aku maksud adalah…” Belum sempat aku menjawab, Faqih menyambar jawabanku.
“Adam.”
                                                                        ***
            Terkejut dan kagum. Hanya itu yang dapat ku ungkapkan saat mendengar cerita Faqih tentang Adam. Anime. Gambar yang smepurna. Seniman misterius. Itulah Adam. kekagumanku semakin melonjak setelah aku mengetahui seni di antara kami. Aku dan Adam. Seniman misterius itu, ada di sekitarku selama ini. aku baru paham. Project yang diberikan kepada Adam dari pimpinan OSIS adalah gambar di mading.
            Entah ada apa dengan kami. Kami selalu bertemu. Kali ini aku dan Adam satu bidang dalam OSIS. Kami berada dibidang Ilmu Pengetahuan, tempat kami di mading. Mungkin karena kami memiliki hobi yang sama, pimpinan memasukkan ku bersamanya. Setiap akhir minggu, kami selalu datang untuk mengganti mading. Setiap minggu? Ya, pemegang mading harus memiliki banyak pengetahuan. Saat ini, saatnya kami mengganti mading disekolah yang lama sudah tak ada yang merawat.
“Berbeda dengan Zalfa. Jauh sekali.” Matanya memandangi wajahku yang sedang focus akan tugasku. Aku hanya sesekali melirik arah bola matanya.
“Apa?” Tatapan Adam berhasil membuatku meninggalkan tugasku menghias mading. “Apa maksudmu berbeda?”
“Cepat atau lambat juga bakal tau.” Percakapan itu mengelilingi otakku. “Gak usah dipikirin panjang kali, Qhey. Kayaknya sampai shock gitu…”
“Ahh… Ayuk pulanglah, Dam. Sudah selesai, kan.”
“Bisa aja ngelesnya. Garis wajahmu dapat ku baca, Qhey.”
            Aku mengajaknya pulang. Dipertemukan kembali. Rumah kami satu arah. Perumahan kami bersebrangan. Sehingga, mudah bagi kami pergi bersamaan. Semakin banyak tatapan yang kami kumpulkan. Aku sangat percaya, dia tak seperti yang mereka semua katakan. Mata itu. matanya sangat indah, meski ia tak menatap mataku. Didalam bus, kami tak sedikitpun membicarakn hal yang menarik. Sesekali hanya menanyakan jam. Meski bibir kami tak bergerak satu sama lain, mata kami bergerak memberikan sebuah kode. Ketika mata kami bertemu, ia hanya melemparkan senyuman indah kepadaku. Senyuman itu dapat membuat mataku melotot dan jantungku tak henti menari-nari.
            Ada apa denganku? Jika teringat sosok Adam, ingin rasanya ku bebaskan seluruh ragaku untung merangkulnya, bahkan mengetahui kabarnya. Aku cukup gengsi untuk menanyakan kabarnya. Sejak kejadian itu, perasaanku semakin mengebu-gebu kepadanya. Aku begitu yakin, dia adalah sosok yang tepat. Aku tak tahu, dimana ketepatan itu.
                                                                        ***
            Upacara. Hari Senin selalu diawali dengan upacara penghormatan. Ini kali pertamanya aku berangkat sekolah bersama Adam. Ia melapisi tubuhnya dengan sweter hitamnya, tanpa pelengkap kupluk. Sedangkan aku, tak melapisi tubuhku dengan apapun, hanya seraham putih-abu.
Didalam bus, aku dan Adam duduk bersampingan. Aku merasakan bahasa tubuhnya yang tak ingin aku tersenggol apapun didalam bus. Memang bahasa tubuhnya tak begitu jelas, tapi aku bisa membaca dan merasakannya. Seperti biasanya, tak ada sepatah katapun yang terlontar dari bibir kami. Hanya mata kami yang tak bisa diam.
Lenganku begitu hangat. Aku tak tahu apa yang membuatnya hangat. Aku tak menggunakan pelapis apapun untuk menutupi tubuhku dari serangan udara. Jemari itu bisa ku rasakan. Perlahan ku tolehkan kepalaku ke kiri. Hanya Adam, dan jemari adam menggenggam lenganku saat itu. Aku hanya tersenyum. Aku tak melihat ekspresi apapun darinya. Aku hanya melihat pandangannya yang terfokus pada kendaraan yang berlalu-lalang. Entah apa yang ingin membuatnya membiarkan jemarinya menggenggam lenganku. Sekali lagi, wajahnya sangat cuek. Sangat amat cuek.
“Kiri…”Adam memberhentikan bus yang kami tumpangi di Kafaza. Ia membiarkanku menuruni bus dahulu. Kami akan menyebrangi jalan raya.
            Ia berbeda. Adam mendahuluiku. Ia sama sekali acuh denganku. Berbeda saat kemarin kami memasang mading. Berbeda saat kami dibus. 

Post #2

                                                        ***
            Sinar pagi ini membuat mataku menyipit. Ah, aku lupa, aku pikir ini adalah hari sekolah dan aku telat bangun pagi. Ternyata saat ku melirikkan mataku ke arah kalender, hari ini adalah hari Minggu. Ingin rasanya ku rebahkan kembali tubuhku yang manja ini di atas kasur. Astaga! Aku lupa. Aku memiliki janji dengan lelaki misterius, Adam. Aku tak ingin mengecewakannya. Dia tak pernah merasakan quality time denganku. Faqih lebih sering merasakannya. Ya jelas saja, aku dan Faqih sudah lama berteman. Bukan hal yang langka jika aku sering bercengkrama dengannya. Adam? Tentu saja lebih sering bersama Zalfa.
            Dimana Adam? Dia memutuskan pukul delapan kami berjanjian. Nyatanya? Ia tak kunjung datang. Hhh… Aku lelah. Sangat lelah. Apakah ia seperti siput? Atau dirantainya kakinya itu? Lama sekali. Hampir lima gelas Coffee Non Cafein ku tegak. Lamanya ia datang membuatku bosan berada di Kafe, hampir setengah jam. Ingin rasanya ku tarik satu-persatu pelayan untuk menemaniku menunggu Adam.
            Faqih? Mengapa Faqih yang terlihat? Mengapa dia yang datang? Lucu sekali jika Adam memberikan surat serah terima kepada Faqih untuk menggantikan posisinya.
“Qhey? Kok kamu sendirian disini?” Faqih menghampiriku dengan wajah yang lumayan mengkhawatirkanku.
“Faqih? Iya, aku dari tadi. Aku menunggu Adam. lama sekali dia.” Aku mulai mengeluh padanya.
“Adam? Sembari menunggu Adam, ingin dengar ceritaku tentangnya?” Sebuah tawaran yang mengejutkan. Aku ingin mendendengarnya, tapi aku takut. Takut? Qheyla yang sangat payah! Aku tak tahu hal apa yang membuatku takut.
“Apa itu, Qih?” Aku penasaran dan perlahan mulai mencoba untuk mendengar ceritanya.
                                                            ***
            Langit di luar sangat gelap. Aku dan Faqih meninggalkan Kafe. Kami berpisah diperempatan. Bagaimana janjiku dengan Adam? Tak sedikitpun kulihat batang hidungnya. Aku tak tahu ini sebuah kesengajaan, atau bukan. Tapi, aku teringat cerita Faqih tentang Adam. Aku cukup kagum dengannya. Mungkin, jika sebagian wanita mendengar ini, mereka akan mengatakan Adam seorang lelaki yang tampan dengan sifat yang menjijikan. Tapi, tidak menurutku. Entah mengapa, aku sangat kagum dengannya. Kekagumanku berbeda dengan kagum saat pertama kali ku melihatnya di Kafaza. Mengingat sosok Adam yang ceritakan Faqih membuatku tersenyum-senyum sendiri dan detak jantungku mulai berlari tak menentu. Hingga membuatku sulit untuk membatasinya.
            Zalfa? Wanita mancung itu hampir sempurna. Siapa yang tak suka dengan Si Mancung berpipi cabi itu? Tak lain, Adam. Zalfa telah menjadi incaran Adam sejak lama. Bahkan saat Sekolah Menengah Pertama, Adam nekat menyatakan perasaannya kepada Zalfa. Padahal, saat itu Zalfa sedang menjalin hubungan dengan kekasihnya, Rangga. Bukankah itu hal bodoh yang dilakukan Adam? Untung saja Adam tak di kategorikan sebagai seorang perusak hubungan. Tak hanya sampai disitu cerita Faqih tentang Adam. Adam juga sempat dikatakan sebagai lelaki Playboy dan pemberi harapan palsu. Tetap saja ada sisi yang membuatku kagum padanya.
            Aku masih terkagetkan dengan pernyataan Adam kepada Faqih, bahwa ia masih mengharapkan Zalfa. Tetap saja tak bisa, Zalfa masih menjalin hubungan dengan Rangga sampai saat ini. Aku mungkin dapat paham perasaan Adam saat itu, bahkan saat ini. Aku berpikir, seseorang bisa berubah bisa jadi karena dirinya sendiri dan orang lain. Ya, aku mungkin bisa merubahnya. Halah! Qheyla, percaya diri sekali kauini, Qheyla. Yap, aku terlalu percaya diri. Pandangan setiap orang berbeda. Aku memiliki pandangan seperti itu. Aku benar-benar ingin membuatnya berubah. Bukan karena aku, tapi karena dirinya sendiri.
                                                           ***
            Minggu ini ada yang berbeda dengan tampilan di mading. Sebuah gambar yang membuatku terpukau. Anime? Siapa yang menggambarnya? Seorang wanita, tokoh dalam kartun Jepang. Gambarnya terlihat sempurna. Siapa sinimannya? Tak ada sedikitpun  bagian darinya yang cacat. Walau hanya sebuah gambar, itu sangat terlihat cantik. Tak berwarna-warni. Hanya arsiran hitam dan putih disana. Tangan seniman ini sangat sempurna.
“Qhey, maaf ya kemarin ga datang. Padahal aku yang ngebet dan bikin janji sama kamu. Tapi, aku sendiri yang ga nepatin. Maaf banget, ya…” Seseorang mengagetkan ku.
“Ah, Adam. Lagi-lagi kamu, selalu saja bikin aku kaget. Iya, gak apa-apa kok.”
“Soalnya kemarin ada project mendadak dari pimpinan OSIS gitu. Jadi, ga datang. Sekali lagi maaf banget, ya.”
Project? Dari OSIS? Apa itu? Ga ada yang bilang sama aku, tuh”
“Aduh, Qhey… Nanti kita lanjut lagi, ya. Aku sibuk banget. Ini belum juga selesai projectnya. Bye, Qhey…”
“Hah? Iya, bye.” Mengapa sangat singkat jawabannya? Hhh… Entahlah, sangat misteruis. Hanya dia yang tahu.
            Sejenak ku lupakan percakapan antara aku dan Adam. Gambar itu… Aku kembai teringat gambar sempurna di mading itu. Aku juga sangat menyukai seni, terutama seni lukis. Jika aku tahu siapa sniman mading itu, aku bisa mengajaknya melukis bersama. Seniman misterius. “Faqih!” Aku memanggilnya dari kejauhan. Aku berada di pinggir lapangan, sedangkan ia, berdiri dibawah tiang ring basket.
“Iya, Qhey… Wait ya.” Faqih berlari menghampiriku.
“Kamu udah liat mading?”
“Udah. Kenapa? Nothing Special, Qhey. Lebay deh, kamu.”
“Ya ampuuun… Gambar itu loh. Masa sesempurna itu kamu bilang nothing special? Siapa yang buat, sih?”