“Sepi,
nih.” Aku mendapat sebuah pesan singkat dari Adam. Lagi-lagi aku harus
menjenguknya. Aku tak ingin menkajak siapapun. Jarang-jarang aku menikmati moment seperti ini.
Kali ini, aku memasuki pintu rumah
sakit dengan membawa makanan kesukaanya. Sebelum menuju ke rumah sakit, aku
menyempatkan diri memasak untuknya. Aku meracik bumbu demi bumbu untuk makanan
kesukaan Adam. Sayur Asam dengan taburan ikan teri kecil goreng diatasnya.
Untung saja, hari ini adalah hari libur. Sehingga mudah bagiku untuk
menghidangkan makanan kesukaanya. Kusajikan makanan ini disebuah piring. Ia
menyuapkan sendok demi sendok ke bibirnya. Hingga tiba saatnya, ia melakukan
hal konyol. Ia melayangkan sendok itu kearah bibirku. “Hey! Mana bisa seseorang
yang sedang sakit menyuapi orang yang sehat. Tapi, kau sudah besar aku tak
perlu melakukannya untukmmu.” Aku tertawa geli kala itu. Jelas saja ku dorong
sendok itu kembali ke mulutnya. Lahap sekali ia memakannya. “Entah bagaimana
dengan rasanya. Aku harap tak akan terjadi sesuatu padamu.”
“Hahaha…
Enak, Qhey. Kuhargai perjuanganmu. Perjuangan ibumu, tepatnya. Wanita sepertimu
mana bisa memasak masakan seperti ini. Impossible,
Qheyla. Sampaikan salamku untuk ibumu. Wanita yang telah meluangkan
waktunya untuk memasak makanan kesukaanku.”
“Kau
pikir aku wanita macam apa, Dam? Masak seperti ini saja tak bisa? Bukan Qheyla
namanya. Ibuku? Hey! Kau menyukai ibuku?” Aku melayangkan ekspresi sinis
kepadanya.
“Iya,
jelas ibumu. Wanita berhidung pesek mana bisa menghirup harumnya masakan?
Wanita bermata sipit mana bisa melihat porsi bumbu masakan? Wanita berbibir
kecil mana bisa meraskan makanan? Hahaha…” Adam sangat senang meledekku,
tawanya sangat puas. Kejamnya kau Adam!
“Segampang
itu kau meremehkanku, Dam?”
“Tapi,
kau tahu kelebihanmu?”
“Apa
itu?” Sungguh, aku sangat muak dengan leluconnya.
“Kau
dapat membuat hatiku meleleh dengan cepat. Seperti ice cream yang di letakkan dibawah sinar matahari.” Astaga! Ini
bukan lelucon, Dam. Aku tak tahu harus tertawa atau membunuhmu.
Tawa kami menggema di kamar Adam
kala itu. Bahkan, ia tak sadar telah menghilangnya semua isi yang ada dipiring
tersebut. Syukurlah, perutnya kembali terisi. Entah petir apa yang ada dalam
diriku sehingga mudahnya…
“Apa
kau masih berharap Zalfa?” Tuhan, mengapa kau biarkan kalimat lancang ini
keluar dari mulutku?
“Percayalah,
Qhey. Zalfa hanyalah serpihan masalaluku. Kau mengkhawatirkannya? Lalu, jika
aku bertanya. Bagaimana dengan kepastian?” Mutiaraku sudah menggenang dikantung
mataku. Sungguh, aku tak dapat menahannya. “Kau takut? Jawab, Qhey.”
“Apa
harus ada kepastian? Aku takut, Dam.”
“Akupun
begitu. Sebenarnya sulit rasanya aku mengatakan ini. Aku juga tak ingin
memilikimu saat ini. Aku memang mencintaimu, Qhey. Takut jika esok tak lebih
indah dari hari ini.”
“Kita
akan baik-baik saja, Kan?” Sungguh, aku tak dapat berkata apa-apa lagi. Hanya
itu yang ada dalam benakku.
“Percayalah.
Kau bilang kepastian itu bukan hal penting. Ya, kita akan baik-baik saja, Qhey.
Bukankah, tak perlu menjadi yang special untuk
melakukan hal yang special? Meski aku
mencintaimu dank au mencintaiku. Baiklah, tak perlu ada kepastian.”
Mutiaraku tak dapat ku tahan.
Kubiarkan mutiara itu berjatuhan di bahu Adam. “Aku tak senang kau menangis,
Qhey. Janganlah menangis karenaku.” Sore itu, aku benar-benar tenggelam dalam
dekapannya yang hangat.
“Hari
ini, kita terakhir bertemu, Dam. Besok sudah libur panjang.” Aku mulai
mencairkan suasana.
“Kita
tetap selalu berdekatan.” Senyumnya di rumah sakit mengakhiri tahun ajaran di
sekolah kami kala itu.
***
Satu tahun telah kami lewati. Jelas
saja aku dan Adam tak lagi menjadi murid terjunior. Kami sudah memiliki adik
kelas. Ada yang menarik wajahnya, ada juga yang membosankan. Bahkan,
menakutkan. Aku harus waspada menjaga Adam. Meskipun belum ada hubungan
kepastian bagi kami. Banyak wanita junior yang lebih cantik dariku.
Seperti yang kukira diawal aku
bertemu sosok Adam yang dulu kukira ia adalah seorang kapten basket. Diawal
ajaran baru ini, ia kerap kali bergabung dalam Club Basketball. Ia selalu berlatih disore hari, setelah kegiatan
belajar habis. Klub ini tak hanya untuk kalangan tertentu. Artinya, terbuka
untuk semua kalangan. Bahkan, jika petugas sekolah ingin bergabung juga
terbuka. Namun, petugas sekolah kami sangat mengerti akan artinya umur bagi
mereka. Terbuka. Tak hanya lelaki berotot saja yang bergabung. Yang tak punya
otot pun bisa bergabung. Tak hanya lelaki saja, siswi remaja pun banyak yang
bergabung. Termasuk junior kami.
Perkiraanku benar. Adam memang
lelaki paling tampan di sekolah. Bagaimana tidak? Berawal dari wanita junior
yang bermata sipit, berkulit putih, dan berkawat gigi. Aku mendapati wanita itu
mengagumi Adam. Sungguh, rasa cemburuku tumbuh kala itu. jelas saja aku
menyimpan cemburu yang dalam. Aku tak pernah memiliki Adam, meski kami sudah
sangat dekat. Aku takut, takut jika wanita cantik itu dapat memilikinya tanpa
perjuangan yang kuperjuangkan selama ini. Aku tak tahu apa yang harus
kulakukan. Aku melarang wanita itu untuk menyukai Adam? Tidak, aku tak berhak
melakukannya. Adam bukan siapa-siapaku. Bisa-bisa Adam membenciku. Ekspresi
sinis kerap kali ku tunjukkan kala aku melihat mereka bersama. Mereka satu klub
basket. Kekhawatiranku benar-benar tak dapat ku sembunyikan.
“Tak
usah pasang wajah sinis ketika kami bersama.” Adam menghampiriku yang sedang
duduk dipinggir lapangan basket. Kala itu, aku sedang memperhatikannya
berlatih. Wajah sinisku terlihat ketika mereka bersendau gurau bersama.
“Apa?
Bagaimana tidak? Bagaimana kalau kau menyukainnya? Bagaimana jika kau
melupakanku?” Aku sedikit menaikkan nadaku.
“Tak
perlu khawatir. Kau berlebihan, dia adalah junior. Mana bisa aku menyukai
junior? Percayalah, ingatlah janjiku. Aku hanya berteman.” Banyak sekali usaha
Adam untuk meyakinkanku akan janjinya.
“Padahal,
kau tidak begitu tampan.” Ia menghancurkan jilbabku yang tak pernah berantakan
dan langsung mengambil bola basket untuk memasukkannya ke ring.
Kami kembali ke rumah bersama dan
melupakan beberapa gelintir wanita junior yang mengagumi Adam.
“Apa
tadi kau bilang? Aku tak begitu tampan? Tak mungkin kau menyukaiku jika aku tak
begitu tampan.” Ketampanan Adam menutup sore yang senja kala itu.
***