Minggu, 23 Februari 2014

Part #10

            Setelah suster cantik itu pergi meninggalkan kami, aku menyendokkan sedikit demi sedikit porsi untuk Adam. Kala itu, Adam tersenyum tanpa henti. Mungkin, karena perkataan yang dilontarkan suster cantik tadi. Awalnya, ia enggan memakan makanannya. Menunya ikan, Adam tak menyukai ikan.
“Sakit aja masih bisa pilih-pilih makanan. Ga boleh begitu. Cepat makan.” Ku biarkan suara itu menggema dalam ruangannya dan mulai menyodorkan piring berisi sepaket lauk itu. Ia tak lekas menyuapkan sendok demi sendok ke mulutnya. “Apa?” Wajahnya memelas dan matanya menatapku. Aku mengerti maksudnya. “Sudahlah, Dam. Sudah besar, haruskah aku yang menyuapimu?” Dengan terpaksa ia memasukkan nasi kedalam mulutnya. Tetap saja, tanpa ikan. Biarkanlah, asalkan perutnya terisi, dapat sedikit membuatku lega.
“Aku sudah kenyang, Qhey.” Adam mulai mengeluh dan mengaduk-aduk isi piringnya.
“Yasudah, jangan dipaksa. Minum obatnya.” Aku rasa, porsi untuk orang yang sedang sakit itu sudah lumayan banyak. Aku merasakan kebahagiaan tersendiri dapat merawat Adam.
            Ia membiarkan bulatan pahit itu masuk kedalam mulutnya, bahkan kedalam perutnya. Sesekali aku meliriknya, ia memandangiku yang sedang bermain gadget. Hey! Mengapa kau merebut mainanku?! Tapi, tak seperti biasanya. Jika ia merebut mainanku, ia pasti memainkannya. Kali ini, ia menaruhnya di meja dekat kasurnya. Kebingungan mulai mengelilingi pikiranku. Sontak ekspresi dan suasana pada saat itu menjadi serius.
“Qhey…” Mataku sama sekali tak berkedip. Sedangkan matanya, ingin sesuatu terungkap kala itu. Ada apa dengannya?
“Ada apa? Mengapa kau merebut gadgetku?” Perlahan, aku mulai membaca pikirannya.
“Gak capek begini terus?”
“Apa maksudmu?”
“Aku butuh kepastian. Aku yakin, kamu juga pasti membutuhkannya, Qhey. Kita sudah dekat lama. Bahkan, perasaanku lebih padamu.” Jantungku kembali berdegup. Tuhan, bagaimana ini? Apakah aku menyakitinya? Bantu aku. Ia menggenggam tanganku dengan erat. Hangat sekali. Bagaimana jemari ini dapat kurasakan lebih dari genggaman sebelumnya? Padahal, kali ini terdapat infus di tempurungnya.
                                                            ***
            Perasaan khawatir, bingung, serba salah, bahkan tak enak kurasakan kala itu. Semua ini kulakukan demi menjaga hubungan kami. Jika kami melanjutkan, aku khawatir kami tak akan sedekat ini. Apa kau memikirkannya, Dam? Saat ini, aku tak ingin kepastian. Percayalah pada janji itu. Mungkin, Adam pun tak ingin mengatakannya. Tapi, mulut menolaknya dan hati Adam membuarkannya. Sebelum aku meninggalkannya, ia memberi sebuah dekapan untukku. Aku merasakan kehaangatan itu lagi, sangat tulus. Aku yakin, Tuhan punya rencana lain untuk aku dan Adam. Pasti yang terbaik, aku yakin. Kita akan baik-baik saja meski tanpa kepastian, kan?
“Ingat janjimu.” Percayalah padaku, Dam.
“Kau juga, Dam.” Kutinggalkan satu parsel buah-buahan untuknya.
            Cukup lama Adam tak masuk sekolah. Banyak pula tugas yang harus ia tanggung. Meski aku tak satu kelas dengannya, tak salah bagiku untuk membantunya. Aku mencari tahu tentang tugas dikelasnya. Dari mulai yang mudah, hingga yang rumit sekalipun. Zalfa yang telah lama dicintaimu saja tak pernah peduli denganmu, Dam. Bagaimana denganku yang baru sebentar kau cintai? Bukan masalah yang besar untukku, Dam.
            Satu demi satu kumulai mencari tahu tentang tugasnya. Adam tak tahu seberapa sibuknya aku membantunya mencari tahu tentang tugasnya. Mungkin, Adam merasa lebih senang jika Zalfa yang melakukannya. Ah, sudahlah. Aku tak peduli.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar