Setelah
suster cantik itu pergi meninggalkan kami, aku menyendokkan sedikit demi
sedikit porsi untuk Adam. Kala itu, Adam tersenyum tanpa henti. Mungkin, karena
perkataan yang dilontarkan suster cantik tadi. Awalnya, ia enggan memakan makanannya.
Menunya ikan, Adam tak menyukai ikan.
“Sakit
aja masih bisa pilih-pilih makanan. Ga boleh begitu. Cepat makan.” Ku biarkan
suara itu menggema dalam ruangannya dan mulai menyodorkan piring berisi sepaket
lauk itu. Ia tak lekas menyuapkan sendok demi sendok ke mulutnya. “Apa?”
Wajahnya memelas dan matanya menatapku. Aku mengerti maksudnya. “Sudahlah, Dam.
Sudah besar, haruskah aku yang menyuapimu?” Dengan terpaksa ia memasukkan nasi
kedalam mulutnya. Tetap saja, tanpa ikan. Biarkanlah, asalkan perutnya terisi,
dapat sedikit membuatku lega.
“Aku
sudah kenyang, Qhey.” Adam mulai mengeluh dan mengaduk-aduk isi piringnya.
“Yasudah,
jangan dipaksa. Minum obatnya.” Aku rasa, porsi untuk orang yang sedang sakit
itu sudah lumayan banyak. Aku merasakan kebahagiaan tersendiri dapat merawat
Adam.
Ia membiarkan bulatan pahit itu
masuk kedalam mulutnya, bahkan kedalam perutnya. Sesekali aku meliriknya, ia
memandangiku yang sedang bermain gadget. Hey!
Mengapa kau merebut mainanku?! Tapi, tak seperti biasanya. Jika ia merebut
mainanku, ia pasti memainkannya. Kali ini, ia menaruhnya di meja dekat
kasurnya. Kebingungan mulai mengelilingi pikiranku. Sontak ekspresi dan suasana
pada saat itu menjadi serius.
“Qhey…”
Mataku sama sekali tak berkedip. Sedangkan matanya, ingin sesuatu terungkap
kala itu. Ada apa dengannya?
“Ada
apa? Mengapa kau merebut gadgetku?”
Perlahan, aku mulai membaca pikirannya.
“Gak
capek begini terus?”
“Apa
maksudmu?”
“Aku
butuh kepastian. Aku yakin, kamu juga pasti membutuhkannya, Qhey. Kita sudah
dekat lama. Bahkan, perasaanku lebih padamu.” Jantungku kembali berdegup.
Tuhan, bagaimana ini? Apakah aku menyakitinya? Bantu aku. Ia menggenggam
tanganku dengan erat. Hangat sekali. Bagaimana jemari ini dapat kurasakan lebih
dari genggaman sebelumnya? Padahal, kali ini terdapat infus di tempurungnya.
***
Perasaan khawatir, bingung, serba
salah, bahkan tak enak kurasakan kala itu. Semua ini kulakukan demi menjaga
hubungan kami. Jika kami melanjutkan, aku khawatir kami tak akan sedekat ini.
Apa kau memikirkannya, Dam? Saat ini, aku tak ingin kepastian. Percayalah pada
janji itu. Mungkin, Adam pun tak ingin mengatakannya. Tapi, mulut menolaknya
dan hati Adam membuarkannya. Sebelum aku meninggalkannya, ia memberi sebuah
dekapan untukku. Aku merasakan kehaangatan itu lagi, sangat tulus. Aku yakin,
Tuhan punya rencana lain untuk aku dan Adam. Pasti yang terbaik, aku yakin.
Kita akan baik-baik saja meski tanpa kepastian, kan?
“Ingat
janjimu.” Percayalah padaku, Dam.
“Kau
juga, Dam.” Kutinggalkan satu parsel buah-buahan untuknya.
Cukup lama Adam tak masuk sekolah.
Banyak pula tugas yang harus ia tanggung. Meski aku tak satu kelas dengannya,
tak salah bagiku untuk membantunya. Aku mencari tahu tentang tugas dikelasnya.
Dari mulai yang mudah, hingga yang rumit sekalipun. Zalfa yang telah lama
dicintaimu saja tak pernah peduli denganmu, Dam. Bagaimana denganku yang baru
sebentar kau cintai? Bukan masalah yang besar untukku, Dam.
Satu demi satu kumulai mencari tahu
tentang tugasnya. Adam tak tahu seberapa sibuknya aku membantunya mencari tahu
tentang tugasnya. Mungkin, Adam merasa lebih senang jika Zalfa yang
melakukannya. Ah, sudahlah. Aku tak peduli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar