4#Do(not)Fun
Atta :
Kinuy!
Sombong bat lo, Nuy! Gue di rumah, nih.
McD, yuk... Siap-siap sana, gua jemput 10 menit lagi.
Me :
Yah, Ta gak bisa. Gue mau pergi, Ta
Atta :
TUMBEN LO, NUY!!! Mo kemenong??
Ama siapa?????
Oyy
.....
.....
Aku
mengabaikan pesan terakhir Atta, karena lima menit lagi Fandy sampai rumahku.
Gak lucu kan, ya kalau Fandy sudah duduk menunggu di sofa, aku masih berlarian
mencari pentul. Aku pastikan kali ini, Fandy akan bertemu bunda untuk yang
pertama kalinya.
“Nan,
temen kamu udah nunggu, tuh dibawah. Itu si Fandy itu? Mama kira yang mau
jemput kamu Atta. Gak pernah main lagi tu anak.” Sembari masuk kedalam kamar
dan membawa lipstick yang beberapa waktu lalu bunda pinjam.
“Apasih,
Bun? Kok Atta, deh. Gak fokus ya dari kemarin aku cerita panjang tentang Fandy.
Gak tau deh tu, Atta lagi sibuk sama pacarnya kali.”
“Fandy
anak teknik elektro itu? Cakep, sih. Tapi masih cakepan Atta. Demi apasih, Nan,
Atta punya pacar? Gagal dong bunda tanya-tanya.” Seperti anak gaul dong,
bundaku.
“Ya
iyalah cakepan Atta, orang bunda sering ketemu dia. Lah, bun jangan ngaco
please....” Seruku sambil memoleskan blush on di pipiku. Ciee pakai blush on.
Biasanya lipstick dioles ke pipi. Diajarin bunda.
“Siapa
pacar Atta???”
“Bunda
kepoo, nanti dulu deh, Bun. Aku juga gatau, sih. WA aja sana Attanya, punya
kan? Aku kan mau pergi kasian Fandy nunggu lama. Bunda udah ketemu Fandy?”
“Udah,
sih. Tapi, bunda bingung ngomong apa. Bunda di kamar aja, deh.”
“Yaudalah,
aku kebawah ya, bun...”
Sepertinya,
aku akan melewati hari ini bersama Fandy. Dengan alunan musik korea yang
sengaja ia putar karenaku, ia turut menggoyangkan kepalanya. Tanpa obrolan tengah
perjalanan ini. Fandy fokus dibalik kemudinya dan aku yang sedari tadi mengikuti
lirik lagu yang diputarnya.
I don’t know why... (lupa lirik) no no no
no...
Make me feel so high, michigesseo nal
meomchul sun eopseo...
You make me feel so high... I’m so
crazy... (lupa lirik)
I’m feelin’ so energetic, oneul bam duri
out of control yeah I’m feelin’ so energetic....
Ou yeahh...
#Now Playing-Wanna One_Energetic
Tak
lama setelah satu album hampir diputar mengiringi kemacetan jalan menuju Dufan,
Fandy membuka mulut. Ternyata nguap.
“Ngantuk
ya, Fan? Ngantuk gara-gara gue nyanyi apa pusing dengernya?” Tanyaku sambil
mengecilkan musik di mobil.
“Wakakakakaa...
sbenernya pusing dengerin lo yang lupa lirik, tapi gak papa deh kan lo yang
nyanyi. Apa sih yang enggak buat Kinan.” Seperti biasa, senyum setengah bibir
dan menaikkan alis.
“YAELAH,
NDRO SA AE!!. Masih lama apa, ya. Capek duduk. Semacet inikah? Berapa jam lagi,
Fan? Ini udah hampir sealbum, heett...”
“Justru
gua berharap macet terus. Biar bisa lama-lama sama lo, Nan.”
“Eh,
bodo amat gitu terus. Kambing juga.”
“Mau
ngapain disana?”
“Ngapain,
ya... Make tiket yang dari Fandy, sih.” Jawabku sambil memasang sabuk pengaman.
Sudah setengah jalan, tapi lupa memakai sabuk. Untung nyanyinya masih bisa
dikrontrol, kalau enggak udah naik ke dashboard kali karena gak pakai sabuk.
Tapi, kok Fandy gak ngingetin, ya. Adakan, lelaki macam itu.
“Lah
iya, belom pake seat belt. Untung gak ada papol, Nan.” Ledeknya sambil tertawa
geli.
“Lo
kok gak kayak si itu, tuh. Siapa paracarnya Awkarin dulu. Si siapa dah lupa
namanya. Kalo jalan sama Awkarin selalu makein seatbelt ke Karin.” Tanya ku
sambil berusaha mencari ponsel untuk mencari lelaki yang ku maksud.
“Siapa
anjir. Gaga????? Wah, suka nonton ya lo, Nan. Emang, kalau gue kayak Gaga, lo
mau jadi Awkarinnya?” Sepertinya ia mengurangi kecepatan mobilnya.
“Hah?
Ya gila kali ah. Pegel, cui duduk gak sampe-sampe.” Fandy hanya melirik sambil
setengah tersenyum.
Setelah
sampai, hari ini weekdays dan dufan lumayan sepi. Tidak perlu menunggu lama
untuk mengantri. Lagi pula, wahana yang kunaiki benar-bener cupu. Aku
sebenernya senang berwisata disini, tapi apalah daya, jantungku sudah lebih
dulu sakit melihat orang-orang berteriak. Ragunan better then Dufan. Cupu lo,
Nan!!!
“Kita
naik gininan, Nan?”
“Hehe...
gue menetralisir detak jantung gua naik ini dulu, ya. Jadi, lo kudu ikut.” Maaf
ya, Fan. Kita naik komidi putar. Pasar malem kali ah komidi putar.
“Netralisir
apaan anjir, naik yang serem aja belom. Pasar malem deket rumah gue juga ada
ini mah.” Keluh Fandy sambil menunduk malu. Tubuhnya yang tinggi tidak pantas
naik wahana ini, berbeda denganku yang masih pantas.
Sebenarnya,
aku bukan tipe orang yang senang bermain di outdoor. Bukan karena tidak tertarik,
tapi karena kepalaku yang tidak bisa diajak kerja sama. Jika terlalu lama aku
terkena sinar matahari siang, kepalaku akan pusing dan kemungkinan mimisan.
Itulah sebabnya aku tidak ingin menambah masalah dengan menaiki wahana yang
menantang adrenaline.
“Coba
list tadi kita naik apa aja?” Tanyanya sambil menyodorkan eskrim yang baru saja
ia beli.
“Naik
gajah bledug, kora-kora, terus ke hello kitty adventure, ice age, rumah miring,
sama apa tu glow glow tadi. Audah.”
“Menantang
adrenaline banget, ya Nan. Yang penting Kinan happy.”
“Wakakakakkk...
maaf ya jadi gak naik yang laki banget. Gue takut soalnya.”
“Agak
nyesel, sih ngasih tiket ini. Tapi yang penting seharian sama Kinan.”
Eskrimnya
nikmat sekali ditengah teriknya matahari siang. Eskrim vanila dengan cone yang
crunchy (yaiyalah). Jadi teringat patbingsoo. Tiba-tiba ingin makan patbingsoo,
bukan bersama Fandy tapi Atta. Seperti rindu. Aku rasa, hari ini tidak
semenyenangkan yang diharapkan Fandy dan juga aku. Aku menikmati eskrimku
sambil memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang didepanku. Sesekali aku
menyadari Fandy yang melirikku lalu kembali menatap kedepan. Hal yang sama juga
kulakukan. Situasinya terasa canggung. Sesekali aku mengayunkan kakiku,
menyipitkan mata karena terik matahari, dan menjilat eskrim yang semakin lama
semakin mencair. Oh iya, aku lupa belum membalas pesan terakhir Atta. Tapi,
tidak mungkin aku membuka hp, karena fokusku akan terbagi dan itu akan lebih
terasa canggung. Aku yakin, Fandy akan marah dan merebut ponselku. Enggak juga
sih, tapi.
“Itu
meleleh, Nung.” Menarik eskrimku dan membalutnya dengan tisu yang baru.
“Cuy,
untung gak jatoh eskrimnya. Pelan-pelan, kalau jatoh nangis banget gua.”
“Ya,
gua beliin yang barulah, yakali.” Fandy kembali menatap pohon didepannya.
“Pantai, yuk. Nikmatin ombak. Makan seafood, suka kan?” Ajak Fandy yang sudah
lebih dulu berdiri.
“Langsung
ke restonya aja, ya? Gausah liat ombak gimana? Udah sore, masa ngantuk.”
“Kebiasaan
kan. Yaudah, yuk.”
Akhirnya
Fandy mengiyakan dan saat ini kami sedang menikmati sore di restaurant seafood.
Aku memesan udang asam manis, sedangkan Fandy memesan cumi-cumi bakar. Sebagai
tambahannya kami memesan gurame sambel mattah. Sebagai pelepas dahaga Fandy
memesan es kelapa muda, sedangkan aku tertarik dengan es jeruk. Selama kami menunggu
makanan, memang lebih banyak diam. Aku menatap gelombang ombak, serasa ingin
menceburkan diri agar segar. Sayup-sayup mata kantukku sangat ketara. Beginilah
resiko membawa bayi sampai sore hari tanpa stroller
“Nan,
ngantuk parah? Ah payah. Tukang molor banget, deh.”
“Iya
beneran ini, makanya pengen cepet-cepet nyender.”
“Lo
seneng gak hari ini?” Tanya Fandy dengan penuh harap.
“Ya
seneng lah, Fan. Ketawa girang ketakutan dari tadi pagi masa gak keliatan
happy, sih. Berarti misi lo berhasil dan dufan benar-benar membantu lo
hahaha...” Tapi, memang benar Fandy membuat aku tertawa senang sedari pagi.
Tanpa ingat tugas kuliah, bahkan Atta. Sampai aku lupa membalas pesan
terakhirnya.
10.30 (Line)
Atta :
Nuy, lo tau kan gue udah jadian sama
Reina? Gue yakin lo pasti tau walaupun gue belum kasih tau. Habisnya gue mau
cerita, tapi lo jarang-jarang dan gak mood gitu bales line gue. Gue juga gamau
ganggu lo sm si elektro itu, sih.
Atta missed call (10.57)
Atta missed call (11.30)
Atta missed call (12.00)
Oh, lo masih sama si elektro ya? Yaudah
deh.
Me :
ATTAAA... SORRY BARU BALES BANGET. Iya
gue tau kok dari ig nya Rei. Cuma gue emang gmau nanya dl ke lo, nunggu lo
sndri yg cerita gitu. Terus kenapa, Ta?
Atta :
Lo udah balik? Tadi gua ke rumah lo, kata
bunda lo pergi sama Fanda, eh Fan siapa gitu. Itu si elektro kan?
Gue butuh telinga hehe, makanya gue
ngajak lo ke McD
Me :
DEMI APA LO KE RUMAH??!! Yaampun maaf,
Ta. Tadi gue gak sempet bales, gak enak sama Fandy udah nunggu.
Belom balik, masih makan. Iya, telinga
gue selalu siap, kok. Gimana?
Atta :
Iya kan gue bilang 10 menit lgi sampe. Mana
pernah w boong.
Nanti aja klo di rumah. Gak enak
elektronya di anggurin. Have fun.
“Siapa, Nan? Bunda, ya? Kemaleman kayaknya gue minjem lo nya,
nih...”
“Ah,
iya nih bunda. Nanya udah pulang apa belum. Tapi, yaudahlah kita makan dulu.
Kelaperan nanti dimobil.”
Ah,
kenapa aku jadi gelisah. Ini kali pertamanya Atta merasakan perlakuan jutekku
tanpa kesahalannya. Aku juga tidak sadar selama aku dekat dengan Fandy, aku
sudah terlalu sering mengabaikannya. Pernah dulu satu hari aku tidak menanggapi
Atta sama sekali, lalu dia datang kerumah tidak menemuiku, melainkan menemui
bunda dan dia bilang ke bunda, “Bun, bilang Kinan maaf. Atta gak sengaja. Gitu
aja, bun. Gak usah, Atta gak usah makan (padahal bunda tidak menawarkan makan),
Cuma mau titip kalimat itu ke bunda. Kinannya gak bales, bun. Sampein ya, bun. Assalamualaikum.”
Iya, waktu itu karena dia mengajakku pulang bersama, tapi karena dia sedang
masa pendekatan dengan Reina, dia lebih memilih pulang bersama Reina yang
padahal aku sudah menunggunya selama satu jam. Kejam memang kadang. Otaknya suka
buntu. Makan tuh oli.
"Iyalah,
masa gue balikin anak orang dalam keadaan kelaperan. Nanti niat gue
terurungkan.”
“Niat
apaan? Bikin gue hidup sehat? Wakakakkk ada aja lo, Fan Fan.”
“Niat
gue banyak buat lo.”
Boom!!!
Pasti kalau ikan punya banyak nyawa, gurame ini akan hidup kembali dan menyosor
bibir Fandy yang selalu membuat aku tercengang dan budeg tiba-tiba. Tapi kalau
kata Nindy, budegku permanen.
Kami berdua menikmati makan malam dengan alunan musik pop dan angin
yang semilir. Udangnya enak, tapi jelas lebih enak udang buatan bunda.
Guramenya juga enak, tapi lebih enak gurame buatan mamanya Atta yang waktu itu
Atta bawa ke kampus. Cumi-cuminya enak, tapi lebih enak cumi-cumi buatan ibunya
Fandy, katanya. Ya, aku berharap bisa juga mencobanya agar terlihat imbang dan
adil. Lucu ya...
“Fan,
gue ke toilet dulu ya. Titip hp sama tas.” Izinku meninggalkan nasi yang sudah
kusendok karena aku kebelet. Kebelet buang air kecil, kok.
“Siap
bosku. Buruan, jangan ngompol!!”
Lalu,
aku berlari menuju toilet yang belum aku ketahui posisinya. Mencari toilet dan
mbak-mbak restauran sangat membuang-buang waktu dan tenagaku untuk menahan,
bahaya kalau ngompol, nasibku akan berakhir seperti Gya yang turun dipinggir
jalan. Tapi, karena Fandy yang takut mobilnya bau pesing. Hehe...
18.30
Atta :
(Sticker hug)
Ketinggalan stickernya, kan kurang afdol
kalo gak pake sticker. Wkwkwk
Atta missed call (18.33)
Atta missed call (18.34)
Masih diluar apa? Lama banget :(
Aku
melanjutkan makan malamku yang sempat tertunda. Nasi yang sudah siap ku
masukkan mulut sudah dingin. Tanganku masih memegang tisu toilet, jorok. Aku
lupa membuangnya. Nasiku sudah dingin, sepetinya AC nya terlalu dingin. Rasa
lauknya juga sudah beda. Aduh Kinan, padahal gak sampai sepuluh menit ke kamar
mandi masa udah beda rasanya. Sepertinya perbedaan rasa makanan hanya alasanku.
Tapi, ada sesuatu yang harus cepat-cepat aku tangani. Ah iya, Atta. Anak kecil
itu kupastikan sedang menungging diatas kasur sambil memeluk guling, menunggu
pesan masuk. Aku yakin.
Berkali-kali
Fandy menyatakan perasaannya, membuatku sama sekali tidak tertarik untuk
menjalin kasih dengannya. Memang dari awal aku terpesona, apa dengan itu
menandakan aku siap menjalin hubungan dengannya? Sama sekali tidak. Malam ini
adalah malam yang paling ku takuti kehadirannya.
“Nan,
udah makannya?”
“Udah
ah, kenyang. Udah ngantuk juga gitu jadi kayak gak mood.”
“Kayaknya
gue tau kenapa selama ini lo selalu ngehindar kalau gue berusaha nyatain
perasaan gue, Nan.”
HAMPIR
NYEMBUR ES JERUK YANG UDAH GAK ADA RASANYA.
“Uhuk,
maksudnya??” Tanya berusaha menetralisir detak jantung dan getar suaraku.
“Yaudah
gue jujur aja, deh. Lo gak bisa dikodein ya soalnya. Gue suka sama lo, Nan.
Kayaknya bukan sekedar suka, deh. Tapi udah nyaman. Kalau gue stuck di lo
gimana? Gue gamau basa-basi nunggu. Gue takut keduluan orang lain, Nan. Tapi,
lo selalu minggir kalau gue tanya.”
“Sejak
kapan, Fan? Aduh, jujur sebenernya gamau sampe sejauh ini, tapi ternyata kita
emang jauh, ya.” Ini baru to the point banget. Selama ini, dia gak pernah sejelas ini. Ya hanya, kode-kode yang penuh makna. Tapi, aku pura-pura bodoh.
“Lo
pasti tau dari kapan, Nan. Enam bulan kita sama-sama lumayan lama, loh. Lo
racun banget. Bikin gue nyaman secepat itu, biasanya gak segininya. Tapi,
mungkin gue kalah sama Atta, ya? Gua gamau keduluan dia, Nan.”
Gosh!
Kenapa sefrontal ini. Benarkan, malam yang ku khawatirkan datang juga. Inisih namanya
sudah ngantuk, tersiram air. Gak jadi ngantuk. Kenapa jadi bawa-bawa Atta.
“HAH???
Atta? Lo kenal?” Mataku terbelalak. Dia kenal Atta? Tapi, Atta selalu bertanya
siapa anak elektro itu. Nahlo, Kinan. Bukannya apa, sih tapi jadi salah paham.
“Enggak.
Nebak aja. Udah, yuk. Pulang aja gue juga ngantuk, Nan lo juga gak bakal jawab,
kan. Udah ketebak, ah. Bunda nanti telpon lagi, atau Atta hehehe...”
Gak
mungkin. Alasannya sangat tidak masuk akal. Aku harus memecahkan misteri ini.
Kenapa dia bisa tau Atta? Kenapa juga dia bilang kalau aku selalu menghindar
karena Atta? Artinya, dia menganggap bahwa Atta seseorang penting bagiku, lebih
penting dan berharga dari Fandy, jadi dia pesimis (?) iya, sih Atta lebih-lebih
dari dia, tapi tau dari mana dia. Duh, ramalanku bahwa hari ini tidak akan
sehappy dan seseru yang Fandy dan aku harapkan terbuktikan sudah. Lalu, aku
tidak bisa berkata selama perjalanan.
***
“Nan,
gue gak ketemu bunda, ya. Lo langsung masuk aja. Udah terlalu malem juga.”
“Hmm...
Yaudah deh. Oh iya, Fan, makasih ya... Gue happy banget hari ini. Gue makasih
sama dufan bisa bantu Fandy bahagiain gue. Hehehe...” Oh shit man! Aneh banget
nih. Awkward parah. Aku tidak pernah merasakan secanggung ini. Pasti banyak
pertanyaan di otak Fandy yang harus aku jawab dan luruskan. Tapi, ah
yasudahlah.
“Nan...”
Menarik tanganku dengan energinya yang dikurangi. Deg!!!!
“Ya???”
Tutup pintu mobil lagi, deh.
“Itu
mobil siapa? Parkir di depan gerbang kamu?” Iya, Fandy parkir di depan gerbang
rumahku tepatnya di belakang mobil yang juga sedang parkir. “Wah gila,
deg-degan banget gue liatnya, Nan.”
“Liat
apaan anjir?!! Gue gak liat.”
“Sableng
tuh asli dah, umur sekita udah boleh liat begituan belum, sih????” sambil
menunjuk kearah mobil di depan kami. Aku yang justru fokus pada jarinya, juga turut deg-degan.
“Fandy
pea!!” Ternyata bukan seperti yang Rasyid dan Disa lihat si Seaworld. Walaupun
sama-sama di tempat parkir, tapi ini bukan dua sejoli yang sedang berkecimpung
di dunia percintaan pada malam hari. Syukurlah hanya sepasang kucing yang
tertangkap tidur bersama. Konyol.
“Hahahaa..
biar gak bingung lo, Nan.” Tiba-tiba hening. “Masuk sana. Selamat malam yang
ternyaman. Semoga tidurnya nyenyak.”
See?
Fandy bersikap seolah tidak sedang terjadi apa-apa. Padahal, aku merasakan
sesuatu yang belum beres antara kami. Fandy memang selalu begitu, dia selalu
bersikap menyenangkan dalam keadaan apapun. Tapi, tadi di mobil suasana yang
sangat menegangkan, aku takut. Ternyata, Fandy lebih memilih bungkam dan
menggantinya dengan gurauan yang justru membuatku semakin khawatir.
“Iya,
Fan. Makasih yaaa...”
Jleb...
budeg seketika.
“Salam
buat Atta, semoga bisa jagain lo.”
Itu
terdengar berbisik. Ya Tuhan, kenapa seperti sinetron. Ini bukan yang seperti
dipikirkan Fandy, tapi aku bingung bagaimana menjelaskannya. Aku juga tidak
tahu awal mula Fandy kenal Atta. Ah, Tuhan nyenyakkanlah tidurku malam ini.