Sabtu, 12 April 2014

Part #18

“Ada apa denganmu ini? Kau terlihat cuek!” Aku memang tak pernah membiarkan wajahku dan perhatianku terlihat cuek padanya. Ya, meskipun sedemikian yang ia perbuat padaku. Jadi, wajar saja jika ia berontak tatkala menerima respon pahitku ini. “Tak inginkah kau membantuku dalam membuat resensi? Kau tahu betul, kan, kelemahanku?”
“Iya, Dam.” Adam menebarkan semyum terimakasih padaku dan meninggalkanku sendiri. Jujur saja, mengapa kala kau membutuhkanku, kau datang padaku? Farah tak dapat membantumu? Ya, aku lebih paham kelemahanmu dibanding Farah. Bahkan, kelemahanmu mendatangiku hanya ketika kau membutuhkanku. Aku menerimamu apa adanya. Bahkan, dengan kelemahan-kelemahan yang kau miliki. Tapi, inikah yang kau lakukan? Kala aku sudah menerima dan menutupi segala kekuranganmu dimata banyak orang, kau pergi begitu saja dan datang bila kau butuh? Lagi-lagi aku menerimanya dengan jeritan tangis yang tenggelam dalam batinku. Kau tak akan tahu itu.
            Jeritan itu semakin menjerit dalam batinku. Setelah aku menerima permohonan Adam dan berpikir segala kekurangannya, apa yang ia lakukan? Pandanganku tertuju pada mereka, Adam dan Farah. Bola mataku focus pada suatu benda berbentuk kotak, berwarna merah marun. Ya, kotak bekal. Tepat pada titik kefokusanku kotak bekal itu melayang dari jemari Farah, lalu ditangkap oleh jemari Adam. Senyuman bahagia terumbar dalam bibir manis mereka. ‘Mungkin mereka tidak melihatmu, Qhey.’ Bagaimana mereka tidak melihatku? Aku tepat berada diantara mereka. Farah tahu perjuanganku selama ini untuk Adam . Tapi, apa yang ia lakukan?! Sungguh! Biarkan aku menjambak rambutnya yang terbalut kain putih. Dukunganmu takkan ada artinya lagi.
            Aku menghilang selama pelajaran Sosiologi berlangsung. Aku berusaha menenangkan diriku setelah kejadian buruk tadi. Sedu-sedan tangisku kembali tak beraturan. Aku tak berani kembali ke dalam kelas. Ya, Tuhan… Apa yang harus kulakukan? Ribuan cara telah kutempuh. Melalui ribuan airmataku yang mengalir, kubiarkan ini menjadi pelampiasan, karena aku tak dapat lagi berkata apapun. Aku biarkan, mampu berapa banyak lagi tetesan ini mengalir.
                                                              ***
            Hari ini waktunya kami untuk mengumpulkan tugas resensi. Jika aku mengingat tugas ini, aku teringat Adam. Syukur saja, aku telah membantunya menyelesaikan tugasnya. Aku mengerjakan tugasnya disela-sela kesibukanku yang sangat sibuk.
“Tugas siapa? Kau membuat dua? Terlalu rajin.” Aku terkejut kala mendengar Meli bertanya sembari membolak-balikan kertas resensiku.
“Yang satu, milik Adam.”
“Ha? Adam?!” Aku melihat ekspresi Meli kala aku menjawab pertanyaannya. “Dia hanya mendatangimu kala ia membutuhkanmu? Aku akan tertawa terbahak-bahak untukmu, Qhey. Dimana pemikiranmu? Aku turut prihatin padamu.” Hanya senyum disertai dengan genangan kelap-kelip dimataku. Meli sangat menunjukkan ketidaksukaannya pada sikapku yang seolah-olah memanjakan Adam. Lalu? Salahkah aku bersikap seperti itu? Biarkan aku melakukan apa yang membuat Adam bahagia. Aku turut bahagia, jika bahagia itu datang dalam diri Adam. Meski, aku merasa sakit.
            Aku menyodorkan kertas resensi miliknya. Wajah bingung ia tunjukkan kala itu.
“Apa?” Hanya memandangi kertas resensi yang telah kubuat.
“Apa maksudmu? Kemarin kau menyuruhku membantu membuatkan tugas.” Ia langsung memalingkan tubuhnya, dan mengambil selembar kertas yang ada dipangkuan Farah.
“Ini punyaku. Mungkin itu punya yang lain.” Aku yang sedang tertawa bersama Meli, tiba-tiba berhenti dan mengubah lekukan indah dibibirku ini menjadi lekukan buruk. Tubuhku kaku, mataku membesar, ada genagan yang menggenang dalam mataku. Betapa teganya Adam. Ia menyuruhku membantunya. Pengorbananku untuk membantunya sama sekali tak ada artinya. Apa maksudmu?! Farah! Mengapa ia diam saja, tak menjelaskan sesuatu kepadaku tentang ini? Sunggguh, kebencianku padanya mulai membukit. Apa yang kau lakukan pada Adam? Kau menggunakan pelet agar Adam mendekatimu dan menjauh dariku? Bahkan, membuatku menderita. Apakah ini salah satu kelemahanmu yang aku tak pernah tahu dan kau menyuruhku untuk menutupinya lagi, Dam?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar