Selasa, 11 Maret 2014

Part #13

Adam memintaku untuk mengajarkannya. Aku melihatnya sedari tadi guru kami menerangkan, ia malah bergurau dengan sahabat barunya. Aji. Bahkan, tanpa rasa dosanya, ia tetap saja bergurau disetiap goresan angka yang ia goreskan di bukunya. ‘
“Lihat, Qhey! Wajahmu tampak seperti ini… Hahaha…”
“Dam, apa maumu?” Ia menggambar sebuah wajah, lalu ia membandingkannya denganku. Makhluk ini benar-benar menyebalkan. Jika aku tak menyukaimu, sudah kubunuh kau. Untungnya itu semua terkalahkan dengan perasaanku.
            Karena sekolah kami menerapkan system pindah kelas disetiap pelajarannya atau sering disebut dengan Moving Class, kami kerap kali berkeliaran disekitar sekolah. Tapi, aku melihat pemandangan yang berbeda. Dibangku pinggir lapangan ada Farah dengan teman-temannya dan wanita junior kawat gigi yang tak kukenal namanya. Adam memilih duduk bersanding dengan Farah? Aku dan Meli membiarkan tubuh kami melintas dihadapan mereka. Kudengar gelak tawa dari mereka. Saat kami melintas, Adam sama sekali tak menyapaku. Jangankan untuk menyapa, melirik pun sama sekali tidak.
            Kelas yang ingin kami tempati sudah kosong. Kali ini waktunya pelarajan Ekonomi. Entah ada apa dengan guru cantik yang satu ini. Ia langsung memberikan kami tugas dan harus dikumpulkan pada saat itu juga. Tak seperti tadi pagi, kali ini aku melihat Adam menanyakan soal pada Farah. Bahkan, Adam duduk dihadapan Farah. Hey! Aku mengerti tentang soal yang kau tanyakan, Dam.
“Qhey, apa kau mengerti maksud soal ini?” Farah tak mengerti, Dam. Mengapa kau bertanya pada orang yang tak mengerti.
“Sebentar, aku hitung dulu, ya.”
“Sana, sama Qheyla.” Aku mengdengar Farah menyuruh Adam untuk mengerjakan bersamaku. Tapi, aku melihat sesuatu yang kembali berbeda dengan Adam. Ia membiarkan tubuhnya semakin erat dengan bangku yang ada dihadapan Farah. Aku memang sedikit merasakan cemburu. Namun, biarkanlah itu hak Adam. mungkin Adam sedikit tertarik dengan kepintaran Farah.
“Kalian berdua cocok. Aku menyukai jika kalian bersatu.”
            Aku sering mendengar kalimat itu keluar dari bibir Farah. Bahkan, ketika aku mencurahkan isi hatiku kepadanya, kalimat itu menjadi kalimat yang wajib ia ungkapkan kepadaku. Seringnya ia mengatakan itu membuat aku bosan mendengarnya.
                                                              ***
            Kelas baru, teman baru. Kami akan menjadi satu kesatuan di kelas baru dengan wajah yang baru pula. Memang tahun ini liburan berjarak sangat dekat, kami sekelas menyempatkan diri untuk menghabiskan liburan bersama. Kami akan menyaksikan film terbaru di bioskop.
            Mungkin kami datang terlalu pagi. Itu semua kami lakukan untuk menghindari kemacetan. Bioskop belum buka kala itu. Kami pun menunggunya disalah satu CafĂ© didalam Mall tersebut. Ada yang berbeda dari Adam. Entah mengapa, perbedaan itu sudah kurasakan ketika tertariknya Adam belajar bersama Farah. Rasa takutku mulai menggelora kala itu. Nafasku tak beraturan ketika aku menatap masing-masing pasang mata mereka. Ketakutanku bukan karena junior berkawat gigi itu. Tapi, Farah.
            Saat di Mall, kesabaran dan ketegaranku mulai diuji. Aku tak tahu ada apa denganku. Adam sama sekali acuh denganku. Seolah-olah, posisiku telah direbut dengan Farah. Ada apa dengamu, Dam? Ia seperti menjauh dariku. Tak ingin bersanding bersamaku disepanjang jalan. Ia seperti mengejar kemana pun Farah melangkah. Bahkan, Adam yang sebelumnya ingin menyaksikan bioskop besebelahan denganku, ia justru bersebelahan dengan Farah. Padahal, aku sudah melarang Meli untuk duduk disampingku hanya untuk Adam. Benar-benar bagai bintang disiang terik. Tak ada gunanya langit dan bintang bersama jika ada matahari. Benar-benar tak seindah dahulu.
“Mel, lihat Adam?”Aku mengintai sosok yang perlahan mulai hilang dari sampingku, bahkan hidupku.
“Iya, aku tak melihat rambutnya yang mengembang itu, Qhey.”
“Shalat dulu, yuk.” Aku mengajak Meli untuk sholat di Musholla Mall. Adam dan Farah sudah berada disana. Mereka bersanding bersama selama di Mall? Baiklah, kuselesaikan dulu kewajibanku sebagai muslim. Aku lupakan masalah ini sejenak. Mungkin, setelah aku selesai shalat, aku merasa lega.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar