Adam
memintaku untuk mengajarkannya. Aku melihatnya sedari tadi guru kami
menerangkan, ia malah bergurau dengan sahabat barunya. Aji. Bahkan, tanpa rasa
dosanya, ia tetap saja bergurau disetiap goresan angka yang ia goreskan di
bukunya. ‘
“Lihat,
Qhey! Wajahmu tampak seperti ini… Hahaha…”
“Dam,
apa maumu?” Ia menggambar sebuah wajah, lalu ia membandingkannya denganku.
Makhluk ini benar-benar menyebalkan. Jika aku tak menyukaimu, sudah kubunuh
kau. Untungnya itu semua terkalahkan dengan perasaanku.
Karena sekolah kami menerapkan
system pindah kelas disetiap pelajarannya atau sering disebut dengan Moving Class, kami kerap kali
berkeliaran disekitar sekolah. Tapi, aku melihat pemandangan yang berbeda.
Dibangku pinggir lapangan ada Farah dengan teman-temannya dan wanita junior
kawat gigi yang tak kukenal namanya. Adam memilih duduk bersanding dengan
Farah? Aku dan Meli membiarkan tubuh kami melintas dihadapan mereka. Kudengar
gelak tawa dari mereka. Saat kami melintas, Adam sama sekali tak menyapaku.
Jangankan untuk menyapa, melirik pun sama sekali tidak.
Kelas yang ingin kami tempati sudah
kosong. Kali ini waktunya pelarajan Ekonomi. Entah ada apa dengan guru cantik
yang satu ini. Ia langsung memberikan kami tugas dan harus dikumpulkan pada saat
itu juga. Tak seperti tadi pagi, kali ini aku melihat Adam menanyakan soal pada
Farah. Bahkan, Adam duduk dihadapan Farah. Hey! Aku mengerti tentang soal yang
kau tanyakan, Dam.
“Qhey,
apa kau mengerti maksud soal ini?” Farah tak mengerti, Dam. Mengapa kau
bertanya pada orang yang tak mengerti.
“Sebentar,
aku hitung dulu, ya.”
“Sana,
sama Qheyla.” Aku mengdengar Farah menyuruh Adam untuk mengerjakan bersamaku.
Tapi, aku melihat sesuatu yang kembali berbeda dengan Adam. Ia membiarkan
tubuhnya semakin erat dengan bangku yang ada dihadapan Farah. Aku memang
sedikit merasakan cemburu. Namun, biarkanlah itu hak Adam. mungkin Adam sedikit
tertarik dengan kepintaran Farah.
“Kalian
berdua cocok. Aku menyukai jika kalian bersatu.”
Aku sering mendengar kalimat itu
keluar dari bibir Farah. Bahkan, ketika aku mencurahkan isi hatiku kepadanya,
kalimat itu menjadi kalimat yang wajib ia ungkapkan kepadaku. Seringnya ia
mengatakan itu membuat aku bosan mendengarnya.
***
Kelas baru, teman baru. Kami akan
menjadi satu kesatuan di kelas baru dengan wajah yang baru pula. Memang tahun
ini liburan berjarak sangat dekat, kami sekelas menyempatkan diri untuk
menghabiskan liburan bersama. Kami akan menyaksikan film terbaru di bioskop.
Mungkin kami datang terlalu pagi.
Itu semua kami lakukan untuk menghindari kemacetan. Bioskop belum buka kala
itu. Kami pun menunggunya disalah satu Café
didalam Mall tersebut. Ada yang
berbeda dari Adam. Entah mengapa, perbedaan itu sudah kurasakan ketika
tertariknya Adam belajar bersama Farah. Rasa takutku mulai menggelora kala itu.
Nafasku tak beraturan ketika aku menatap masing-masing pasang mata mereka.
Ketakutanku bukan karena junior berkawat gigi itu. Tapi, Farah.
Saat di Mall, kesabaran dan ketegaranku mulai diuji. Aku tak tahu ada apa
denganku. Adam sama sekali acuh denganku. Seolah-olah, posisiku telah direbut
dengan Farah. Ada apa dengamu, Dam? Ia seperti menjauh dariku. Tak ingin
bersanding bersamaku disepanjang jalan. Ia seperti mengejar kemana pun Farah
melangkah. Bahkan, Adam yang sebelumnya ingin menyaksikan bioskop besebelahan
denganku, ia justru bersebelahan dengan Farah. Padahal, aku sudah melarang Meli
untuk duduk disampingku hanya untuk Adam. Benar-benar bagai bintang disiang
terik. Tak ada gunanya langit dan bintang bersama jika ada matahari.
Benar-benar tak seindah dahulu.
“Mel,
lihat Adam?”Aku mengintai sosok yang perlahan mulai hilang dari sampingku,
bahkan hidupku.
“Iya,
aku tak melihat rambutnya yang mengembang itu, Qhey.”
“Shalat
dulu, yuk.” Aku mengajak Meli untuk sholat di Musholla Mall. Adam dan Farah sudah berada disana. Mereka bersanding bersama
selama di Mall? Baiklah, kuselesaikan
dulu kewajibanku sebagai muslim. Aku lupakan masalah ini sejenak. Mungkin,
setelah aku selesai shalat, aku merasa lega.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar