Ini salahku. Aku yang egois. Berusaha
membuat diriku tetap terlindungi namun aku menyakiti orang lain. Membiarkan
orang lain terambang di atas air tanpa pelindung. Sedangkan aku? Terambang
diatas air dengan pelampung dan memaksanya tetap disampingku meski dalam
bahaya. Egois bukan?
***
Seperti biasa, aku melakukan rutinitasku
dengan pujaan hatiku di perpustakaan. Siapa lagi kalau bukan si tugas yang
indah nan menawan ini. Kali ini aku selalu disibukkan dengan tugas proposal
penelitianku, padahal aku baru menginjak semester ketiga. Bisa dihitung berapa
kali aku menginjakkan kakiku di perpustakaan dalam seminggu. Tidak pernah,
bahkan. Sejujurnya, aku adalah mahasiswi yang malas dengan harapan nilai yang
memuaskan tiap semesternya.
Dengan terlunta-lunta aku memasuki pintu
perpustakaan yang asing bagiku. Mahasiswi macam apa aku ini. Aku mulai mencari
loker dengan nomor 112, dari bawah, kanan, kiri, ya! Aku menemukamu loker.
Kuletakkan seluruh benda-bendaku kedalam loker itu dan dengan siap sedia aku
melangkah menuju bilik buku di lantai dua. Inikah yang dinamakan siap sedia?
Rasanya seperti menaiki seribu anak tangga. Konyol.
“Maaf, meja ini kosong ya? Bisa saya
duduk?” Kudekati seseorang yang tengah duduk sendiri di meja perpustakaan
kampus.
“Ah, iya. Kosong. Silakan.” Jawabnya
tanpa melihat lawan bicaranya.
“Kak, maaf saya mau tanya. Kalau kumpulan
buku-buku Bimbingan Konseling dimana ya, kak?”
“......” Lelaki dihadapanku bukan
menjawab malah melirikku.
Menyusahkan
sekali, ya. Aku kan bertanya minta bantuan. Kalau aku sudah temukan buku yang
kumau, jelas tidak mungkin aku bertanya dengan orang yang tidak aku kenal.
Siapa sih dia? Lelaki rapi dengan kemeja kotak biru dan jeans biru dongker
dengan rambut yang tidak terlalu rapi yang juga diperpadukan dengan jambul
serta sneakers putih dengan tali hitam. Kalau dilihat-lihat dari
penampilannya, boleh juga sih.
“Kanaya!” Sapa teman sekelasku.
“Eh, kok lo disini juga? Tau gitu bisa
bareng kali ke perpusnya.”
“Hahahaha... Gue juga baru kepikiran buat
ke perpus, padahal males juga ya kan.” Suara kami menggema disetiap sudut
perpustakaan dan sontak kami menjadi bahan tontonan gratis orang perpustakaan
dengan tema ‘Dua Mahasiswi Tak Tahu Malu’. Tak lupa lelaki berjambul itu
menatap kami dengan sinis sedangkan aku dan Fathya hanya bisa tersipu tanpa mengenal
malu.
“Bar, ayok rapat. Udah jam berapa ini?
Berehenti dulu kali bacanya.”
“Eh, iya, Ziz. Bentar-bentar gue beresin
barang gue dulu.”
Bar?
Ibrar? Bukanlah. Akbar? Ah, nama lelaki itu Akbar. Jelas benar Akbar namanya.
Menyebalkan, tapi besar pesonanya.
***
Hari
ini hari pertama aku masuk kelas Pancasila. Jarak antara gedung fakultasku
dengan gedung kuliah umum lumayan jauh. Aku harus menyebrang pulau dulu untuk
sampai ke kelas Pancasila—Kanaya Faradisha, otak dengkul. Tidak, aku hanya
bercanda. Tapi benar, jaraknya lumayan jauh cukup menguras keringat dan air
minum. Kanaya memang selalu berlari untuk menyebrang, karena waktu perpindahan
mata kuliah yang sangat pendek jaraknya. Buuukkk!!!
“Aduuhh!!! Maaf.”
“Yaampun, makalah gue.”
“Yah, maaf kak, maaf. Saya gak sengaja
serius deh. Saya buru-buru banget.”
“Eh, lo lagi? Kenapa sih? Lo siapa sih?”
“Kak, kenalin aku Kanaya Faradisha,
Bimbingan Konseling, 2015. Maaf, ya kak Hehe...”
Kakak
Akbar ternyata. Lelaki yang kutemui di perpustakaan itu mendinggalkan aku
ditengah lapangan yang ramai. Sebelum aku bertanggung jawab karena perbuatanku
yang begitu pahit dan tak tahu malu.
Sampailah
aku dikelas yang tak kutunggu sama sekali keberadaannya. Aku jelas ragu masuk
kedalam ruangan. Ini bukan teman-temanku semua, kami dipecah. Dikelas ini, aku
akan bergabung dengan orang-orang dari berbagai jurusan. Kalau dipikir-pikir,
ada untungnya juga. Siapa tau... —Kanaya Faradisha, otak dengkul yang gemar
mencari kesempatan. Ku intip tiap-tiap jendela di sepanjang lantai delapan.
Tapi, ya dari mana aku bisa tahu kalau itu kelasku, padahal aku tidak tahu rupa
dari dosen baruku itu. Alah! Aku kan menyimpan nomor ruangan. Ruang 908, tapi
ini lantai delapan. Oke, naik satu lantai lagi dan cari ruang 908, Nay.
(TokTok) “Misi, pak ini kelas bapak
Mahmudi bukan, ya Pak?”
“Ya, masuk-masuk.”
Aku
harus menyusuri mataku di setiap sudut ruangan ini. Mana tahu ada seseorang
yang ku kenal. Satu, dua, tiga, empat, loh? Akhirnya, aku menemukan seseorang
yang benar-benar kukenal, Kak Akbar. Kenal?
“Jadi ini angkatan 2015 semua, ya.”
“Ha? Kak Akbar 2015?” Lagi-lagi aku
menjadi tontonan dikelas baruku. Lagi-lagi aku tertunduk tak tahu malu.
“Akbar siapa? Akbar Syahada Syahputra?
Teknik Sipil. Catat, Kanaya.” Ternyata benar dugaanku, Akbar namanya dan kita
seumuran. Akbar menatapku dengan tajam. Ia pasti malu karenaku. Sangat tajam.
Kali ini, mungkin setajam silet atau bahkan golok kambing.
Siapa
yang mengira, Tuhan menakdirkan kita selau bersama. Aku berpasangan dengannya
untuk tugas diskusi Undang-Undang. Sikapnya pasti dingin, ini karena aku yang
tak tahu malu. Tapi aku tetap senang. Akbar Syahada Syahputra, Teknik Sipil, si
jambul manis.
***
“Bar, gimana ini? Masa kerja kelompok lo
diem-diem aja. Ngomong ama apa coba gue.”
“Kan udah gue kasih tugas, kan? Yaudah
kerjain. Nanti kalau udah baru dibicarain.”
Ternyata
justru dia yang tidak bekerja. Ia membaca komik yang sejak awal pertemuan di
perpustakaan itu ia baca dan belum tamat. Lalu, bagaimana nasib materi diskusi
ini? Haruskan aku merasakan seribu anak tangga lagi?
“Bar, asli deh dua jam lagi kelas kita
masuk. Gue udah absen kuliah program studi, nih. Tapi, lo malah main-main.”
Keluhku sembari membolak-balikkan buku Pancasila.
“Yaudah. Ayuk masuk kelas.” Akbar pergi
meninggalkan aku bersama laptop merahnya.
Dengan
sangat senang hati seorang Kanaya Faradisha mengerjakan tugas diskusi ini seorang
diri. Sampai perginya Akbar tadi, aku tetap melanjutkan materi kami dengan
bibir yang bisalah diukur dengan meteran bangunan. Setelah diukur dengan
meteran bangunan, giliran kakiku yang berkorban. Berlari dari perpustakaan
menuju warung cetak dilanjutkan menuju warung jilid dan diakhiri di ruang 908
dengan air minum yang kosong. Sedangkan Akbar, duduk manis dengan meneguk
sebotol air meniral dihadapanku yang sedang tarik ulur nafas.
“Udah? Sini duduk samping gue.”
Uuhh... Akbar! Coba sikapnya gitu terus.
Manis, deh. Sayang, galak. —Kanaya Faradisha, mudah terpesona. Padahal baru ditinggal.
Siapa
yang menyangka, nyatanya Akbar sangatlah lembut. Hari itu hari dimana kami maju
kedepan dan mempresentasikan hasil diskusi kami tentang undang-undang. Akbar
yang mendominasi presentasi kami. Padahal, ia tidak ikut banyak mendiskusikan
materi. Jadi, Kanaya mulai terpesona. Aku berani menyimpulkan, bahwa Akbar
adalah sosok yang totalitas. Sebelum presentasi, Akbar membaca materi singkat
kami dan melupakan sejenak komiknya. Sudah empat kali pertemuan mata kuliah ini
aku juga dapat menyipulkan, bahwa Akbar datang untuk kuliah dan pulang kerumah
saat sudah selesai. Kanaya sok tahu!
“Nay, mau bareng gak?” Tegur Akbar saat
aku menunggu lift.
“Ha? Enggak, Bar. Hehe...” —Kanaya
Faradisha, sok jadi pemalu. Tiba-tiba, seorang Naya yang tidak punya malu
menjadi Naya yang berpikir sebelum bertindak di depan Akbar. Karena, aku tidak
ingin melewatkan momen kelembutan dan kemanisan Akbar. Ini fakta bahwa aku
terlah terpesona olehnya.
“Serius, Nay. Rumah lo arah Cipinang,
kan?”
Akhirnya,
aku duduk dibelakang si jambul manis ini. Lirik kanan, lirik kiri, rem kedepan,
dan aku canggung. Kenapa aku yang biasanya pembicara aktif menjadi pasif hanya
karena duduk dibelakang Akbar. Padahal, siapa dia dan dari mana asalnya pun aku
belum tahu. Tapi memang, sejak awal pertemuan singkat di perpustakaan itu aku
merasa dia punya karisma yang mampu memikat semua wanita. Itu memang fakta,
bahwa dia adalah lelaki teknik sipil incaran kaum hawa. Luar biasa.
“Bar, boleh tanya?” Tanyaku kepada Akbar
yang masih setia duduk disampingku. Bukan karena dia tetap setia untuk berada
disampingku, tapi karena kami sekelompok.
“Apa, Nay?”
“Kok lo beda sih. Inget awal ketemu di
perpus? Pas dilapangan?”
“Beda ya? Karena, lo songong.”
“Tapi, ya Bar. Lo tuh gak suka banget
sama gue. Kok sekarang mau nebengin gue?.”
“Terpaksa.”
***
Bagaimana
mungkin seiring berjalannya waktu yang tidak bisa disalahkan aku merasa bahwa
kami semakin intens tapi tidak hot shoot ataupun kabar-kabari. Berawal dari
intensitas pertemuan kami yang lumayan sering dan pembicaraan yang sangat luas
tanpa sadar kami terperangkap dalam suatu hubungan yang tidak jelas arah dan
tujuannya.
“Kenapa gue bisa senyaman ini ya, sama
lo, Nay? Padahal kan awalnya terpaksa.”
“Ssssttt... Jangan gitu ah, Bar. Makanya,
jangan terpaksa. Yang perlu diingat kita kan team undang-undang. Hahaha...”
“Tapi gue serius. Lo gitu gak sih?”
Aku
terus mencari alasan untuk menghilangkan pembicaraan ini. Akbar terlalu
terburu-buru. Aku tau dia serius, tapi justru aku takut. Bagaimana bisa dengan
mudahnya dalam delapan belas kali tatap muka, Akbar bisa menaruh hati kepadaku?
Jika boleh aku jujur, aku juga menyukainya. Tapi.... Ah! Masih berat bagiku
mengakui pada diri sendiri bahwa ini yang terjadi. Pengalamanku masih
menyisakan luka, tapi Akbar datang seolah membuatku berpikir hal buruk yang
sama.
“Bar!”
Aku berusaha membuat dia kaget. Tapi tidak.
“Duduk sini. Mau makan apa?”
“Bar, gak makan deh gue. Minum aja.”
Sejauh
nasi dan air masuk kedalam tubuh kami, tidak ada percakapan yang membuat kami
tegang. Tidak ada pembahasan mengenai hal sensitif itu. Namun, sepanjang
perjalanan pulang nanti tidak menutup kemungkinan akan terjadi hal baru.
“Nay, gue tuh suka sama lo, deh.” Glek! Rasanya
air yang baru mengalir lancar ditubuhku tiba-tiba berhenti ditengah jalan.
“Duh, Akbar. Gak gitu, ah.”
“Kenapa sih, Nay. Tiap gue bilang begini,
lo selalu aja mengalihkan pembicaraan. Lo sendiri yang bilang ‘jangan terpaksa’
ini kayaknya gara-gara gue terpaksa, deh. Jadinya tulus.”
“Tulus yang nyanyi sepatu. Bentar lagi
sandal.”
“Ya, bercandaain aja terus, Nay. Padahal,
gue serius.”
“Jangan serius-serius, ah Bar. Ngeri.”
“Terserah Kanaya, deh.”
Berjalanlah
kami ke arah parkiran dengan suasana yang masih kurang baik. Semenjak pebincangan
tadi membuat kami benar-benar saling diam seribu bahasa. Seakan semuanya
menjadi berbeda. Antara aku ingin jelas-jelas mengatakan bahwa ‘Kita tidak
bisa’ dan Akbar yang ingin sesuatu lebih dari pembicaraan tadi.
“Nay, dingin gak?” Tanya Akbar sambil
salip menyalip motor lainnya.
“Enggak, Bar.”
“Kalau dingin, pake jaket gue aja nih.”
“Justru lo yang mesti pake, biar lo bisa
lindungin gue. Kalau gue yang pake, lo kedinginan, masa gue yang lindungin lo
di jalanan begini, sih?”
“Kayaknya gue suka beneran deh sama lo.”
Suara Akbar nyaris tak terdengar karena kerasnya angin.
“Apa???!!”
“Gue suka sama lo.”
“Eh! Ssttt... Jangan.”
Dinginnya
malam itu membuatku berpikir, akankah ini terjalin dalam waktu yang lama?
Akankah ini terjalin hingga kami bersama mengenakan toga diwaktu yang
bersamaan? Atau mungkin saja malam ini adalah yang terakhir?
“Masuk, sana Nay. Ati-ati, ya. Selamat
malam. Mimpi indah. Inget yang tadi, ya.” Ku balas dengan senyum dan menunggu
hingga ia tak terlihat lagi punggungnya dari ujung gang rumahku. Jujur saja,
aku lebih sering mengacuhkan ungkapannya padaku karena aku masih khawatir ini
terlalu cepat.
***
Aku
masih terpikir akan pembicaraan kami kemarin. Rasanya seperti ingin, tapi
tidak. Jelas semuanya tentu ada alasan. Mengapa aku ingin, tapi tidak. Yang membuatku
berpikir, mengapa Akbar begitu cepat mengatakan ini semua? Bukankah semua
menjadi terasa terburu-buru?
Jika
kalian bertanya bagaimana perasaanku padanya, aku pun tidak tahu. Kalimat ingin,
tapi tidak itulah yang menggambarkan perasaanku padanya. Sejauh mana Akbar
yakin akan perasaannya yang secepat itu? Sejujurnya kemarin aku ingin
menanyakan tentang hal ini, tetapi aku bukanlah pribadi yang handal untuk
membicarakan hal seperti ini. Itulah sebabnya aku selalu mengelak jika Akbar
memulai pembicaraan yang sejenis ini.
“Nayaaa....” Panggil Akbar dari kejauhan.
Kami memang berjanji untuk bertemu dan duduk cantik di bawah pohon lapangan. Iya,
lapangan dimana aku menabraknya dan membuat makalahnya basah.
“Kak Akbar. Inget gak, Bar? Hahaha...”
“Iya, Kanaya si otak dengkul memang.”
“Ya ampun, Bar. Otak dengkul tapi lo
suka.” Jeng Jeng! Aku rasa, aku sudah memancingnya untuk membahas hal yang
belum berakhir semalam.
“Terus, lo suka sama gue gak, Nay? Gausah
dijawablah. Pasti lo juga ngira gue bohong dan bercanda.”
“Hmmm... Akbar jangan bahas itu.”
“Kan lo yang mulai, Nay. Hahaha...
Yaudah, Nay. Gak apa-apa kok. Apa ini tandanya gue ditolak sebelum gue
mengungkapkan keseriusan gue, ya Nay.”
“Hmmm... Gak tau, Bar.”
“Wahahahaa... Pertanyaan gue bikin lo gak
mood terus ya, Nay. Yaudah lupain, biarin aja gue yang nunggu lo, Nay. Butuh apapun,
gue bakal selalu ada buat lo, Nay.”
“Iya, Bar. Makasih ya, hehe...”
“Ini yang masih dibilang bohong dan
bercanda?”
Pembicaraan
yang sudah tidak mengenakkan bagi kami berdua sama seperti mulainya awan yang
menghitam secara perlahan. Ini pertanda, bahwa kami harus menyudahi pertemuan
hari ini. Karena Akbar sudah memintaku duduk di taman hingga malam tiba. Maka,
ia pun harus mengembalikanku ke rumah alias mengantarku pulang.
“Bye, Nay. Langsung mandi biar gak bau
hahaha. Terus tidur, ya...”
“Ih. Makasih ya, Bar. Kalau udah sampai
rumah kabarin.”
***
Beberapa
hari setelah itu, banyak sesuatu yang membuatku gelisah tentang Akbar. Jelas
gelisah, bukan Akbar jika dia terlambat membalas pesanku. Sudah tak ada kabar
darinya. Rasanya aneh, tak ada percakapan seintens dulu. Jangankan membalas
pesan, bertemu saja sudah jarang. Aku merasa ada yang hilang. Ingin ku ulang
kelas 908 dengan penuh makna.
“Hai, Nay...” Hanya ‘hai’? Tidak seperti
biasanya, Akbar hanya say hi ke aku. Biasanya, dia selalu menghampiri
dan mengajakku makan bersama bahkan mengantarku pulang.
“Hai, Bar. Kelas jam berapa?” Aku
menggunakan jurus untuk memancingnya.
“Jam 1, nih. Duluan ya, Nay.” Loh? ‘Woy,
Bar. Ini jam makan siang. Lo gak ngajak gue makan?’. Aku meneriakinya. Dalam
hati
Sudah?
Itu saja? Sungguh, ini tak seperti biasanya. Jelas aku merasa ada yang hilang
dalam hariku.
“Naya, apa kabar?”
“Eh, Akbar. Alhamdulillah, baik. Lo?”
“Baik juga, Nay. Duluan, ya Nay.”
Akbar
bohong. Dia bilang dia menyukaiku. Dia akan terus bersamaku. Lalu, kemana dia?
Dia jahat. Tidak bisa bertanggung jawab. Sudah berulang kali ku katakan, bahwa
jangan ungkapkan perasaan itu jika pada akhirnya aku merasakan hal yang sama
namun dia malah pergi
***
Sejak perubahan dalam hubungan kami, aku
merasa rusak. Aku merasakan sakit yang kedua kali tanpa disakiti. Aku selalu
mencarinya di sudut kampus. Akbar adalah alasanku untuk pergi kekampus demi
melihat dirinya. Aku rindu. Tunjukkan wajahmu, Bar agar aku tau bagaimana wajah
dan keadanmu yang sudah lama tak ku lihat.
Bohong
jika aku mengharapkan ini dari enggannya aku untuk membahas perasannya padaku. Bohong
jika aku merasa senang jika ini akhirnya. Bohong jika aku tidak memiliki
perasaan padanya. Apa ini tanda bahwa aku telah menyia-nyiakan orang yang
benar-benar menyayangiku?
Tunggu!
Atau, ini semua terjadi karena suatu sebab yang dikarenakan oleh diriku
sendiri. Ya! Aku ingat dimana saat ia menyatakan perasaannya padaku dan aku
hanya menjawab dengan jawaban yang dingin. Munafik jika aku berkata bahwa, aku
tidak memiliki rasa apapun dengannya. Tapi, aku tetap ingin melindungi diriku
dari kerasnya cinta. Aku tidak ingin justru dia yang membuatku kembali
merasakan kerasnya cinta. Aku tak ingin berada dalam ikatan dengannya, namun
aku tetap ingin bersamanya disaat ia membutuhkan kepastian dariku.
“Bar, jangan tinggalin gue.”
“Bar, gue juga punya rasa yang sama.”
“Bar, gue mau bicarain tentang ini lebih
jauh.”
“Bar, gue punya alasan.”
“Gue sebernya punya rasa yang sama
seperti lo. Tapi gue takut, takut akan jatuh cinta dan sakit hati yang kedua
kalinya.”
Terlambat.
Kanaya
Faradisha, egois. Tidak berperasaan dan jahat. Membiarkan orang terus berkorban
untukmu dan selalu bersamamu, tapi kau malah membiarkannya menghilang tanpa
keputusan darimu. Jahat, membiarkan Akbar menunggu sedangkan kau sibuk
menyelamatkan dirimu dari kerasnya cinta. Semoga kamu bisa belajar, Nay.
Inspired by: WW