Minggu, 01 Oktober 2017

Today October...

Bolehkah aku sekedar mengingat atau mengingatkanmu tentang yang ku ingat?
Aku ingat beberapa minggu yang lalu, beberapa bulan yang lalu, atau mungkin beberapa tahun yang lalu, dihari Senin. Kita melewati senja bersama, menikmati suara bising Jakarta, bertukar cerita denngan ramainya kota dan kamu berkata 'senang bukan bisa melewati itu semua denganku?' Ya, kataku.
Aku ingat beberapa minggu yang lalu, beberapa bulan yang lalu, atau mungkin beberapa tahun yang lalu, dihari Jum'at. Hari yang suci. 
Kita kembali bertemu dengan bisingnya Kota Jakarta dan berada diantara mobil besar. 
Bukan hanya senja yang kita lalui, tapi melalui senja bersamamu dan rintik hujan dengan ritmenya yang indah juga teratur.
Aku ingat betul bagaimana Petrichor itu menembus indra penciumku dengan sempurna.
Aku juga ingat, kau ragu untuk menerjang hujan bersamaku, 'takut' katamu. 
Hujan yang mereda untuk menderas, tebakmu. 
Masih ingat bukan aku? Kita pernah mengawali di hari Senin dan mengakhirinya di hari Jum'at. 
Aku hanya ingin mengingat dan ingatan itu membuatku rindu. Rindu segala yang pernah mengalir, meski berakhir lebih cepat dari yang kuduga.

Hari ini hari pertama di bulan Oktober. 
Oktober menyambutku dengan rasa rindu. Iya, rindu yang tak bisa kuutarakan.
Setelah bergulat dengan kisah di bulan Mei, aku disambut rindu bulan ini.
Berapa waktu sudah berlalu, tanpamu.
Tanpa kisah yang berseri. 
Seri yang indah, manis hingga rumit.

Hey, aku rindu... Rindu dengan sedikit sesak.
Bagaimana denganmu? Munculkah sedikit rasa rindu itu? Semoga bahagia selalu bersamamu... 


Tanpa Nama

Yang Terselip di Sudut Kasur Tua

Selasa, 30 Mei 2017

Sentuhan Terakhirku

Namaku Kanaya Faradhisa. Orang memanggilku Kanaya, Naya, Nay, atau Kay. Kata mereka, aku seseorang yang ceria, ceroboh, asik, ya pokoknya 'gak ada Naya, gak rame'. Tak jarang kawanku bertanya 'Nay, lo gak punya beban hidup apa? Enteng banget.'’
Bukan aku tak punya beban, tapi ntah kenapa aku hanya ingin menebarkan energi positif pada orang disekitarku. Aku hanya ingin jadi perempuan yang selalu ceria dimata mereka. Aku ingin menjadi berkesan ceria dimata mereka. Aku rasa, aku memang tidak suka air mata. 

Selalu saja mereka menamaiku dengan ‘Naya yang buta cinta.’ Iya, buta cinta bukan cinta buta.
'Nay, lo gak pernah nangis deh. Sekalinya nangis, nangisin tugas. Itu juga kaya kilat.'
'Lo gak pernah jatuh cinta apa, Nay.'
‘Naya mah, gak ngerti cinta-cintaan. Polos.’
‘Nay, gak pernah galau, ya? Sejujurnya, merekalah alasanku untuk tak membawa cinta didepan mereka. Mereka bilang, aku tidak memanfaatkan masa mudaku. Tidak menikmati rasanya mencintai. Tidak merasakan cinta yang mereka bilang cinta itu indah. Aku hanyalah seorang anak kecil yang menjalani hidup dengan siklus, dimata mereka. Yang hanya tau, belajar yang benar, pintar dan menjadi orang sukses.

Ternyata, aku juga perempuan yang bisa rapuh. Aku juga perempuan yang bisa patah hatinya. Aku juga perempuan yang pernah ada pada sentuhan cinta. Aku juga perempuan yang bisa cemburu. Aku juga perempuan yang pernah mencintai tanpa dicintai. Aku juga pernah merasa berjuang sendiri. Aku juga pernah tau rasanya jatuh cinta dan dikecewakan cinta. Aku juga perempuan yang mudah meneteskan airmata. Tapi, bukan didepan teman-temanku. Jelas mereka tak pernah tahu ketika aku pada sentuhan cinta. Entah mengapa, aku merasa bersalah jika aku bersedih karena cinta didepan mereka. Jangankan temanku, didepan orang tuaku pun begitu. Tak semua mereka tau apa yang sedang aku rasa. Aku menangis, menjerit, dalam hati. Mungkin, saking pintarnya aku dalam menyembunyikan. Yang mereka tau aku baik-baik saja. Sampai suatu saat aku pernah bertanya pada diriku sendiri, sampai kapan aku akan berpura-pura semuanya baik-baik saja? Ya, sampai aku lupa jika aku sedang bersandiwara. Pertanyaan yang berhasil kujawab sendiri.

Aku pernah jatuh cinta dan benar-benar jatuh karena cinta.
Cinta? Apa itu? Sejenis umbi-umbian atau sejenis jarum yang menyakitkan?
Aku baru berkenalan dengan Cinta, sayangnya diawal perkenalannku ia memberi kesan yang teramat buruk sampai aku tak percaya Cinta. Semenjak itu, aku takut. Takut bertemu dengan Cinta meskipun baru yang kedua kalinya. Tak sedikit yang berkata, 
'Nay, gak semua cinta kayak gitu. Lo harus percaya.' 
'Nay, sampe kapan takut?'
'Nay, buka hati deh. Jangan kaya gini. Gimana lo mau percaya klo lo gak buka hati?' 
'Buat ilangin trauma ya dengan cara lo buka hati lo. Gak kaya gini. Lo acuhkan semua.' 
Selalu saja aku mendapatkan wejangan yang sama. Antara percaya atau tidak, tapi aku memang sempat berpikir. Tidak akan datang jika memang aku yang enggan membuka. Sejak saat itu, aku merasa menjadi orang paling egois saat aku bersikap acuh pada kedatangan Cinta. Aku merasa bersalah. Aku orang yang jahat.

Lalu, perlahan kubuka hatiku. Ku coba nasihat teman-temanku. Memang benar, jika ku terus menutup bagaimana aku bisa percaya dan mendapatkan Cinta? Nyatanya semua itu bohong. Berhasil sudah aku benar-benar jatuh karena Cinta yang kedua kalinya. Lalu, dengan Cinta yang seperti apa yang bisa kupercaya? Ajari aku jika memang aku salah. Tapi, itu yang membuat ku tak percaya Cinta dan tak tahu apa sebenarnya arti Cinta. Mungkin, aku hanya belum menemukan.

Dan aku berpikir mungkin itu semua bukan jawaban agar aku menyudahi ketidakpercayaanku pada Cinta. Namun, Cinta yang kerap menghampiriku itu hanyalah sebuah pelajaran kehidupan.

Regards,

Kanaya Faradhisa

Selasa, 23 Mei 2017

Aku Pamit...

          Melamun. Menangis. Tertawa. Melamun. Menangis. Itu sudah menjadi tradisiku ketika aku dihadapkan dengan yang katanya masalah cinta. Bukan aku menangisi orangnya, tapi apa yang sudah terjadi. Masih terlihat jelas awal pertemuan aku dan Akbar. Sikapnya memang berubah-ubah. Kadang manis, kadang pahit. Tapi, kalau ini akhirnya aku memilih Akbar yang bersikap pahit. Biar saja aku tidak bisa memiliki senyumnya apalagi membuatnya tersenyum, yang penting aku masih bisa menikmati senyumnya dalam waktu yang lama.
          Saat ini? Benar memang, sesuatu yang bersinar pasti akan redup juga. Hampir hari-hariku diisi oleh Akbar. Dulu. Sekarang, aku seorang diri. Tidak ada yang mengajak makan siang, mengantar pulang, apalagi yang selalu mengucapkan ‘selamat malam Naya cantik’. Loh, Nay? Memang sebelum Akbar datang bagaimana? Tidak ada yang mengajak makan pun aku masih bisa hidup. Ini semua hanya tentang waktu.
“Naya! Apa kabar?” Dan... Itu Akbar, setelah berbulan-bulan pergi tanpa meninggalkan pesan singkat.
“Eh, Bar. Hehe baik, lo?” Sebenarnya, ini adalah embel-embel klasik Akbar jika kami dipertemukan kembali setelah terpisahkan oleh tebing yang tinggi.
“Lama ya, gak ketemu, Nay.”
          Klasik sudah semuanya, Bar. Bertanya kabar, sadar sudah lama tak bertemu, sebentar lagi Akbar pasti mengajakku pulang bersama dan mengucapkan ‘selamat malam Naya cantik’. Entah aku harus meludah atau menelan kalimat manis itu (lagi) sampai dia meninggalkan aku (lagi). Ya sudahlah, itu semua haknya. Aku bukan siapa-siapanya yang berhak untuk ditemaninya.
          Jika dipikir-pikir, perasaanku kepadanya ini sudah semakin yakin bahwa aku harus melepasnya. Berat. Aku sudah terlanjur basah, tapi aku tidak bisa tenggelam. Aku seperti ingin melepas, tapi dia datang dan hatiku masih berharap dia terus bersamaku tanpa sebuah ikatan. Halah! Bodoh Kanaya. Bukankah aku sendiri yang berkata dia bisa melepasku? Ya sudah!
“Nay, gue anter pulang, Yuk. Udah lama banget gak pulang bareng. Gue kangen duduk di ayunan depan rumah lo.”
          Di depan rumahku memang terdapat sebuah taman dengan sepasang ayunan. Jika belum terlalu gelap, aku dan Akbar sering duduk berdua di taman itu. Mungkin, rumput dan pasir menjadi saksi bisu malam yang kami lewati bersama. Dulu.
“Kangen? Emang sering ya. Hahaha...”
“Wah, lo sengaja lupa atau menolak untuk ingat?”
“Lagian, ya udah lama juga.”
“Jam dari gue masih lo pakai?”
          Jam tangan. Aku sengaja tidak memakainya untuk saat ini. Berlebihan, iya memang aku berlebihan. Aku tidak ingin lihat semua hal yang berkaitan dengan sesuatu yang pernah aku lewati yang membuatku sakit. Itu semua hanya membuatku terlihat lemah.
“Masih kok, Bar. Hehe,”
“Mana? Tapi, jam lain yang lo pakai. Apa udah rusak? Dirusakkin?”
“Yakali gue rusakin, Bar.”
“Terus? Apa udah gamau dipake ya? Gara-gara gue juga udah mulai ilang?”
“Lah, ngaco kan.”
“Sorry, Nay. Bukannya gue mau menjauh atau lepasin lo. Tapi, kemarin gue emang lagi bingung aja. Lagi berantakan. Gue ngerasa, buat apa gue bertahan kalau lo aja belom tentu mempertahankan perasaan lo ke gue.” Padahal, dia sendiri yang memutuskan tetap bertahan walau tanpa sebuah kepastian. Bagaimana aku tidak menagih keputusannya.
          Aku diam. Aku selalu tak tahu harus menjawab apa. Aku ingin Akbar hanya untukku, tapi aku tak memberinya kepastian. Sungguh aku merasa menyesal pernah memberikan dua pilihan. Tapi semuanya sudah terlanjur. Aku merasa bahwa Akbar akan terus bersmaku meski tanpa sebuah ikatan. Tapi aku juga tidak yakin bahwa ia kuat bertahan yang kita sama-sama tidak tahu sampai kapan dan bagaiamana akhirnya.
“Hmmm... Gue juga gak ngerti harus jawab apa, Bar. Haha...”
“Lo mau mundur kan, Nay?”
“Lo nanya gue? Mungkin lo yang merasa bahwa lo udah gak kuat dan mau lepas. Gak papa, Bar lepas aja. Gimana gue tanggungan gue, kok.”
“Enggak juga, sih. Gue gak mau lepas, tapi yakin tanpa ikatan bakalan baik-baik aja? Kalau lo tiba-tiba jadi milik orang lain? Atau justru gue?”
“Kan gue udah bilang. Gue gak mau punya ikatan sama siapapun, Bar. Farhan sekalipun, yang kapasitas bareng gue lebih besar dari lo, Bar.”
“Ya, kita gak akan pernah tau kan, Nay. Gue pun begitu. Gue cuma takut aja diantara kita ada yang...”
“Yaudah. Lepasin gue aja. Gue gak kenapa-kenapa. Kalaupun lo takut gue kenapa-kenapa karena perasaan gue yang udah lo terlanjurin jatuh hati gini, bukan urusan lo dan gak akan merubah apapun. Im okay. Gue juga pernah bilang kan, gue gak bisa menahan seseorang yang hatinya buat gue, tapi gue gak pernah memberikan kepastian. Lo berhak lepas.” Aku menghentikan kalimat Akbar yang membuatku sesak.
***
“Nay, gimana lo sama Akbar?” Ya, Farhan. Dia adalah temanku. Teman yang selalu bersamaku sebelum aku mengenal Akbar hingga saat ini. Ia tahu apa yang terjadi diantara kami. Sejak pertemuan waktu itu, hingga ketidakjelasan antara kami.
“Hmm... Kayaknya dia mau lepas deh, Han. Ya, wajarlah dia mundur, toh gue gak akan kasih kepastian sampai kapanpun.”
“Rela dia sama yang lain?”
“Ya, udahlah, Han. Gue siapa? Gue gak bisa nahan dia buat gak punya ikatan sama orang lain. Kalau gue tahan, gue jahatlah...”
“Yaudah, sih. Itu keputusan lo berdua. Ntah apa akhirnya nanti, gue pun gak tau.”
“Dia berhak mencari dan singgah di sarang terbaiknya. Begitu juga gue, gue berhak untuk berdiri tegak pada pendirian gue, tanpa goyah.”
“Gak yakin sih gue, lo ikhlas ngomong gitu.”
“Ya, gimana, Han. Toh kenyataannya gitu. Ikhlas gak ikhlas gue harus berusaha. Mengikhlaskan dia tuh ibarat baca surat Al-Ikhas, yang gak ada kata ikhlas didalamya. Hahaha...”
“Yeuh, fake. Sok-sok ketawa.”
“Ya buat apa gue sedih dan nangis-nangis kalo gue masih kuat buat pura-pura bahagia. Hahaha...”
“Dasar Kanaya, gak berubah ya.”
          Farhan. Dia adalah temanku yang mungkin paling mengerti. Ia tahu apa yang sedang terjadi diantara aku dan Akbar. Dia mengenal Akbar saat pertama kali aku bertemu dengan Akbar, ia yang menemaniku. Dia juga selalu mengantarku pulang ketika aku sedang tidak menghabiskan waktu bersama Akbar. Jika aku boleh jujur, Akbar atau Farhan? Jelas aku memilih Farhan. Karena dialah yang selalu bersamaku, selalu. Tapi, hatiku memilih Akbar meskipun aku tidak bisa menjanjikannya. Perempuan mana yang tidak terbawa perasaan ketika ada lelaki yang selalu ada disaat kita senang ataupun sedih, yang selalu memberi solusi saat kita sedang sulit, dan jelas membuat nyaman dalam setiap sikapnya.
“Nay gue mau kasih tau deh. Tapi jangan marah.”
“Apa? Ya enggaklah. Sejak kapan gue bisa marah sama pembalap liar? Hahah.”
“Hmm, Akbar tuh lagi deket sama perempuan. Anak seni musik.”
“Oh iya? Serius??”
“Hmmm... Gak tau sih, sejauh apa. Tapi udah dua kali gue ketemu mereka dan saat hubungan kalian masih seperti ini. Oh iya, lo inget kan? Pas lo dianterin pulang habis kuliah? Langsung banget dianterin pulang itu, loh. Yang dia gak ngajak lo makan seperti biasanya dulu. Yang malemnya lo langsung freecall gue, Nay terus lo bilang semua udah beda.”
“Iya, gue inget. Nah, itu awal mula kecurigaan gue dia akan mundur, Han. Tapi, gue mikir positif ajalah. Gak pantes juge gue suudzonin dia.”
“Ya itu! Dia ketemu anak seni musik itu. Gue lupa namanya, kalo gak salah Kania apa siapa gitu. Yaelah, Nay. Masih aja sih.”
“Ya... Yaudalah ya. Biarin aja. Mau nangis, gak pates gue nangisin. Mau marah ke Akbar, apalagi. Gue siapa sih, Han.”
“Yaudalah, Nay. Dia nyerah ngejar lo. Wajar sih kalo kata gue juga. Sekarang gimana lo menjalankan kehidupan lo yang sudah lo prediksi sebelumnya yang lo bilang gue gak papa kok lo lepas.”
          Secepat itu ya, Bar. Mendengar berita itu saja sakit. Apa ini pertanda rasaku padanya semakin dalam? Ah! Tidak, Nay. Sadarlah!
***
          22 Mei. Hari ini aku ingat. Hari yang selalu kutunggu dibulan Mei. Dimana aku akan mengucap syukurku yang tak terhingga pada-Nya. Duapuluh tahun sudah aku hidup dan berusaha untuk bermanfaat bagi banyak orang. Terimakasih Tuhan, sudah beriku ribuan kesempatan untuk terus perbaiki diri dan bersyukur.
          Aku ingat, hari ini juga hari yang ditunggu Akbar. Bar, selamat ulang tahun. Seandainya kita ingat bagaimana kita saat melihat dunia bersama. Aku tak yakin ibumu dan ibuku berjanjian untuk mempertemukan kami hingga saat ini. Apa Akbar ingat satu hal di bulan Mei ini? Hari ini adalah hari itu, Bar. Aku sempat bertanya, akankah kita tetap bersama?
“Akbar Syahada, selamat ulang tahun!”
“Kanaya Faradisha, selamat ulang tahun!”
Today is our birthday!!!!!” Teriak Akbar di taman tempat kami sering bertemu.
“Selamat ya, Bar. Semoga apa yang disemogakan bisa terwujud. Amiin.”
“Kembali, Nay. Oh iya, gue sengaja ngajak ketemu lo disini. Gue mau kasih tau dunia, kalo kita bisa lihat dunia bareng lagi. Oh iya, Nay. Gue mau ngomong sesuatu.”
“Apa, Bar?” Dag dig dung... Sepertinya aku tahu.
“Hmmm... Kalo gue nyerah, lo bakal gimana ke gue?”
“Kan gue udah bilang, lo maju gue maju. Lo mundur, gue berusaha, Bar. Ini semua tentang keterlanjuran yang udah gue buat.”
“Hmmm... Lo orang baik, pasti akan dapet yang baik juga kok, Nay. Sepertinya gue memang orang yang memantaskan diri untuk lo, tapi tetap gak pantes.”
          Untuk pertama kalinya, Akbar meninggalkanku untuk kepentingan lain. Dia menyuruhku pulang terlebih dahulu karena ia akan pulang larut malam. Tapi, aku sedang tidak ingin pulang. Ia yang pulang lebih dulu karena ia ingin bertemu dengan seseorang.
          Akbar meninggalkanku di sudut taman sendiri. Itu adalah kali pertama ia rela dan tega meninggalkanku. Aku memperhatikannya hingga hanya tersisa bayang tubuhnya. Melalui koridor kampus ia berjalan dan kembali terlihat kala ia memutar balik arahnya. Kania, mahasiswi seni musik itu. Rambutnya digerai hitam pekat, dengan balutan long cardi berwarna navy, juga flatshoes yang berwarna senada, bersanding sejajar dengan Akbar menyusuri koridor kampus. Aku tetap memperhatikannya hingga pundak mereka tak terlihat.
          Entah apa hubungan mereka, tapi aku tak perlu tahu. Itu biar menjadi urusannya. Jika aku bertanya dan menggali lebih dalam, aku justru khawatir Akbar semakin menabung pundi-pundi harapannya akan sebuah ikatan bersamaku.
          Apa itu sebuah sinyal pamit? Belum tentu? Tapi aku merasa ini adalah sinyal bahwa ia akan pamit dari perasaannya padaku. Ini pertanda aku, harus berusaha menerima kepamitannya. Bukan karena aku ingin, tapi harus. Aku ingin tetap bertahan, tapi untuk apa jika hanya membuat dia menderita.
          Bukankah Akbar bilang, ia akan bertahan? Dia akan menjaga hatiku seperti aku menjaga jam tangan dan hatinya. Bunganya juga terlihat layu. Dia yang memberi keputusan untuk bertahan, justru ia duluan yang menyerah. Aku menyesal dengan pertemuan malam itu. Pertemuan yang menyeramkan. Apa yang kurasa benar akan terjadi. Ia tak akan mampu menahan perasaannya tanpa sebuah ikatan meskipun aku berusaha untuk mempertahankan dia untuk tidak pergi. Tapi semua itu wajar karena aku yang menolak status, bukan perasaan.
***
          Mei masih enggan berakhir. Tapi sepertinya, aku memang harus mengakhiri kisahku di bulan Mei. Bulan ini terlihat sering sekali turun hujan. Hujannya kerap kali mereda untuk menderas. Tapi kamu justru berhenti untuk berpamitan.
          Bukan aku memintamu untuk pergi secara perlahan, tapi bertahan dan percayalah jika kita teman yang mungkin akan bersama dan tak saling pergi. Mungkin Akbar merasa, aku biasa saja dengan kepergiannya. Biarlah rasa dan kesedihanku menjadi deritaku. Kau tak peru tahu. Biar saja aku yang menanggungnya. Selamat ulang tahun ya, Bar. Bersama Kania adalah suatu kebahagiaan untukmu di bulan Mei. Dan biarkan aku berusaha untuk tidak membenci Mei. Terimakasih, Bar.

-End-

Inspired by: Meijikuhibinui ft. NKnF



Pesan singkat,
Selamat malam brightness layar laptop, selamat malam tetesan air ac, selamat malam pembaca alittleimagine, selamat malam dia dan kamu. Kali ini beda, biasanya kalo cerita sama sahabat-sahabat cuma sekedar direspon dengan solusi. Gak sedikit juga tanpa solusi. But its ok. Sekarang cerita gue ini bersama manusia-manusia special dimasukkan kederetan cerita keren lainnya dalam alittleimagine. Seneng haru, mau promosiin juga di Instagram tapi takut si manusia-manusia special itu mampir dan meluangkan waktunya untuk “aku pamit”, walaupun mereka memang sudah pamit.
Gue NKnF, pemberi sedikit inspirasi dan adegan dalam cerita ini. Adegan? Bukan, ini bukan sinetron yang lebay dan gak ada ujungnya. Blog yang bikin gue seneng karna kisah gue di dalamnya. Bikin gue sedih juga, karna kisah gue, dengan dia, dengan kamu juga yang akhirnya tidak sesuai dengan apa yang pernah gue bayangin. Terlalu banyak membayangkan, terlalu banyak mengharapkan akan sangat terasa kecewa kalo gak sesuai. Ya… ini yang sedang gue rasakan. “Kecewa boleh, bersedih-sedih boleh, itu sangat wajar. Tapi jangan berlarut-larut terdiam pada kesedihan”, beberapa rangkaian kata yang gak jarang juga bunda gue berikan kepada anak gadis nya ini. Oke bun.
Terakhir gue mau ucapin terima kasih untuk jari-jemari alittleimagine yang sudah menyelesaikan kisah gue sampe akhir, akhir yang sementara. Yang sudah menyelesaikan kisah gue bersama tugas-tugas kampus yang bikin istighfar hehe. Terima kasih juga udah sedikit memodifikasi cerita didalamnya. Last but not least untuk si manusia-manusia special yang sudah membentuk sebuah kenangan terhebat. Kenangan yang bisa gue ceritakan dalam sebuah blog milik alittleimagine ini.
“Kita sama-sama punya masalalu, tempatkan masalalu di tempat yang berbeda dengan yang kita jalani saat ini, dan kemudian

                                                                             Sebelah kanan kasur, Mei 2017
NKnF

Hatur nuhun.

Jumat, 12 Mei 2017

Antara Perasaan & Penyesalan

Nay, tadi lo kasih gue pilihan, kan? Mau lepasin lo atau tetep bersama lo meskipun pait akhirnya kan? Gue pilih yang kedua, Nay. Kalau perasaan dan resiko lo jadi urusan lo, biarin gue merasakan hal yang sama.”
***
          Kalimat terakhir malam itu, saat aku dan Akbar bertemu masih terbayang-bayang dibenakku. Aku tak pernah tahu, bagaimana yang akan terjadi selanjutnya setelah malam itu. Benarkah Akbar mampu bertahan? Aku juga tak pernah tau tentang keputusanku malam ini. Akankah ini menjadi bumerang bagi kehidupanku setelah ini?

“Dorr!! Kanaya!”
“Kenapa ya, Bar ngagetin terus!” Keluhku sambil memukul punggungnya yang bidang.
“Udah lama nunggunya? Maaf ya, ngaret tadi Pak Musadinya.”
“Hmmm... Lama gak ya...”
“Temenin sampe kelar tugas gue, ya. Abis ini kita makan diluar.”
“Siap, Bar.”
“Oh iya, Nay. Gue punya sesuatu deng buat lo.”
“Apa tuh, Bar. Ulang tahun kita kan masih jauh.”
“Ciee... Kita. Seneng masa lo bilang kita.”
“Ya, lagian lahirnya ngikut-ngikut, sih.”
***
          Belum saatnya hari Mei itu datang untuk kita, Akbar sudah memberi sesuatu yang membuatku terkejut. Akbar memang selalu datang dengan hal-hal baru dalam hidupku. Dari Akbar, aku belajar banyak. Bukan hanya tentang bagaimana mengungkapkan perasaan, tapi bagaimana kita menghargai seseorang. Setelah setahun silam, aku lupa bagaimana caranya mencintai dan menyayangi seseorang. Bahkan, hal tersebut sama sekali tidak terlintas di benakku untuk kembali membuka hati. Mungkin, aku lebih tidak ingin ingat rasanya kehilangan seseorang yang sudah membungkus hariku menjadi berwarna. 
“Di pake gak?” Tanya Akbar saat kami sedang duduk di bangku taman kampus.
“Pake dong, hehe...”
“Suka, Nay? Jangan di rusak, ya. Kalau baterainya habis, bilang biar gue yang benerin.”
“Lah, gitu masa, Bar. Dijaga kok, gak sampe rusak permanen.”
“Sama yang kayak lo jaga hati gue. Gue juga bakal jaga kok, Nay. Ahahahaa...”
“Halah, Bar. Mulai lagi...”
“Gue serius, Nay. Kan kita gak ada ikatan, tapi tetep aja harus saling jaga. Gitu gak? Hehe...”
“Iya, kok. Sama-sama ngejaga ya, Bar. Biar adil.”
          Seperti biasa, aku lebih banyak menghabiskan soreku di kampus bersama Akbar. Tentu Akbar bertanggung jawab mengembalikanku ke rumah dengan selamat.
          Tak ada hal lain yang ku pandangi di kamar. Aku hanya fokus kepada dua benda istimewa yang aku dapat di bulan Mei, yang belum menunjukkan tanda-tanda kepamitannya. Jam tangan Denim dan bunga mawar yang beberapa hari lalu diberikan Akbar, tentunya masih rajin kurawat.
***
          Hari demi hari kita lewati seperti biasa. Makan siang bersama, mengerjakan tugas bersama, hingga kembali kerumah bersama. Jam tangan dari Akbar masih setia melekat di pergelangan tangan kiriku, bunga mawarnya pun masih segar karena aku rajin menyiramnya. Akbar bilang apa yang ia berikan harus ku rawat.
          Bohong jika perasaanku padanya tidak semakin menjadi. Bohong jika aku tidak mulai bergantung padanya. Apa yang sudah ia berikan padaku membuatku luluh. Perasaanku yang tadinya akan ku jaga cukup sampai disini, ternyata justru meluap. Sikap Akbar semakin hari juga semakin menjadi. Aku rasa, ini adalah pertanda bahwa kenyamananku sudah naik puluhan tingkat dalam waktu yang singkat.
“Gue langsung anter pulang ya, Nay.”
“Kok tumben, Bar. Biasanya makan dulu. Lo udah makan emang?”
“Gue makan di rumah aja. Lo juga makan di rumah, ya.”
          Mulai. Hari ini tidak seperti biasanya. Sikap Akbar tidak seperti biasanya. Setelah kuliah selesai, Akbar selalu mengajakku makan sebelum ia mengantarku pulang ke rumah. Kalau pun ia tidak ingin makan, ia pasti memaksaku untuk makan atau menghabiskan sore di taman kampus. Tapi, ada apa dengannya hari ini?
“Bar, lo kenapa?”
“Enggak kenapa-kenapa, Nay.”
“Serius? Kok aneh, ya?”
“Enggak. Perasaan lo doang kali, Nay.”
          Malam itu saat ia mengantarku pulang ke rumah, tidak ada perbincangan panjang diantara kami. Hening. Sunyi. Hanya ada suara angin dan kebisingan suara motor. Jika saat itu angin bisa bicara, mungkin aku sudah berbincang cantik bersamanya, atau mungkin aku sudah tidak lagi duduk di belakang Akbar, tapi terbang bersama angin.
          Tidak hanya tragedi makan atau keheningan sepanjang jalan. Malam itu juga tidak ada pesan dari Akbar. Biasanya ia selalu menanyakan keadaanku dimalam hari. Tapi, setelah ia menghilang dari pandanganku di pagar rumah, hingga aku siap untuk memejamkan mata, tak ada pesan singkat darinya. Jangankan menanyakan keadaanku, pesan titik saja tak timbul.
***
          Sampai pagi haripun tak tertera nama Akbar di ponselku. Lo kenapa sih sama gue? Gue salah apa? Kok lo beda banget. Kasih tau gue lo kenapa, Salah gue dimana. Gue gak suka lo berubah tanpa sebab. Seandaninya kalimat itu sangat mudah ku utarakan mungkin sudah tidak di barat ataupun selatan. Bukan itu maksdudnya. Seandainya aku mudah berkata seperti itu, sayangnya tidak. Karena aku bukan siapa-siapa Akbar.
          Satu hal yang perlu ku ingat, bahwa aku dan Akbar tidak punya ikatan apapun sehingga bagaimana dia bukanlah menjadi urusanku. Apa yang dia lakukan, ya biarkan. Suka atau tidak suka, sama sekali bukan hakku. Begitu juga dengan hilangnya dia yang tiba-tiba. Bukan menjadi hakku untuk bertanya kok hilang begitu aja sih, Bar. Kamu siapa, Kanaya! Kok sikap lo berubah sih sama gue? Kamu siapa, Kanaya!
          Lagi dan lagi terjadi. Sesuatu yang ku hindari sejak setahun yang lalu justru malah terulang. Aku yang tak ingin membuka hati, terbuka juga. Aku yang belum ingin merasakan cinta, merasakan juga. Aku yang tidak ingin memikirkan hal konyol, terpikirkan juga. Kerap kali semenjak berubahnya Akbar membuat lamunanku menjadi berlarut. Melakukan kesibukkan adalah hobiku saat aku merasakan hancur. Kenapa hancur, Nay? Kamu kan bukan siapa-siapa, dari mana kamu berhak hancur karenanya? Bodoh!
          Seperti ada sesuatu yang hilang. Mei ku seperti berkabung. Perasaanku padanya sudah meluap. Tapi dia menghilang tanpa meninggalkan jejak. Tanpa berpamitan. Apa ini pertanda kau ingin mengakhiri semuanya, Bar? Hhmm... Aku sadar. Aku tak pernah pantas menanyakan hal ini padanya. Wajar saja jika ia berhenti berjuang, karena ia tak akan pernah medapat sebuah ikatan dariku. Wajar saja jika seseorang menyerah, karena hatinya sudah tidak mampu menopang ketidakpastian.
          Aku seperti menyesal memberikan pilihan padanya. Seandainya kami tidak bertemu dan saling bicara malam itu. Aku tidak mungkin sehancur ini. Seandainya, Akbar tidak mengutarakan perasaannya padaku, mungkin kita kan tetap teman yang senyaman-nyamannya. Ini hak Akbar, untuk tetap bertahan atau pergi. Bukan menjadi hakku juga untuk memintanya tetap bertahan atau pergi. Aku tak tahu harus menyesal atau bagaimana. Yang aku tahu, Tuhan sudah menyiapkan cara terbaik-Nya untuk menyatukan kita yang berjodoh dan memisahkan kita yang tidak berjodoh.
          Terimakasih ya, Bar telah berikan segalanya untukku. Aku bercermin, bahwa aku tidak pantas menunggumu. Tidak pantas menahanmu, padahal kamu menderita akan perasaanmu. Taukah, Bar? Ini kali pertama aku berani membuka hatiku untuk seseorang setelah aku pernah dihancurkan untuk yang pertama kalinya. Ini saatnya aku untuk kembali berjuang melawan perasaan hancurku yang kedua kalinya. Berbahagialah ketika kamu telah menemukan tempat berlabuhmu, Bar. Terimakasih juga sudah membuat aku merasakan ingin sendiri bersama angin dan menceritakan seluruh rahasia, lalu meneteskan air mata. –Kanaya-


Inspired by Meijikuhibiniu ft. NKnF

Sabtu, 06 Mei 2017

Hai Mei...

Hai Mei,
Begitu banyak kisah terjadi di bulan ini. Padahal Mei baru memulai harinya. Belum lagi, kisah kita tentang hari dan tanggal yang spesial bagi hidup kita. Apakah kita masih bersama hingga hari itu? Atau justru kita mengalah pada keadaan di tengah hari-hari itu?
Hai Mei,
Mungkin sudah puluhan kali kita bertemu. Kali ini berbeda. Apa mungkin kau sedang menabur warna baru? Lalu kisah apa lagi yang kau siapkan dipertemuan kami yang selanjutnya?
***
“Nay, apa kabar?”
          Hari ini kami bertemu, setelah lama sudah kami tidak saling berkabar. Bagaimana Akbar sekarang? Sudahkah dia... Halah sudahlah. Siapa aku peduli tentangnya.
“Bar, baik. Lo gimana? Lama banget ga ketemu.”
“Baik juga nih. Lo kok disini?”
“Iya, gue tadi habis ke perpustakaan terus duduk bentar disini.
“Sendiri? Sekarang jadi anak perpus banget ya, Nay. Ahahaaa...”
“Ahahahaha... Engga juga sih, Bar. Tapi, emang kayaknya harus sering-sering ke perpus mulai dari searang. Lo pasti habis baca komik ya?”
“Udah enggak, Nay. Kebiasaan gue baca komik udah hilang sejak gue kenal sama lo.”
“Ah masa sih? Sampe begitukah gue?”
“Gue kangen juga sama lo, Nay.”
“Eh, bisa aja. Inget pacarnya tuh. Sekarang mah udah gak bisa bilang kangen sama sembarang orang, Bar.”
“Maksudnya?”
          Semenjak perbincangan terakhir kita saat itu aku mulai berpikir bahwa Akbar benar-benar lelah, sukses melepasku dan berhasil berlabuh di pelabuhan yang layak untuknya. Aku bicara begitu karena memang kenyataannya dia sudah berlabuh pada yang lain. Tapi, yasudahlah siapa aku berhak memikirkan itu?
***
“Nay, maksud lo kemarin apa, sih?” Aku memang belum sempat menjawab pertanyaannya kemarin.
“Maksud yang mana, Bar? Eh, lama juga ya ga makan siang bareng. Hahaha...”
“Jawab, Nay. Lo mah pinter banget kalau mengalihkan pembicaraan. Kenapa sih ahli banget akting semuanya baik-baik aja?”
“Ha? Gimana deh maksudnya. Lo mah ada aja deh ya.”
“Jadi, selama ini lo mikir setiap gue bilang kangen itu gue juga ngomong ke cewe lain gitu?”
“Loh? Kok jadi kesini deh, Bar. Orang lagi makan juga.”
          Sejujurnya aku tidak ingin membicarakan ini. Aku sudah terlanjur memendam rasa kepada Akbar. Sejauh ini kah pesonamu, Bar? Aku belum siap mendengar pernyataan bahwa dia akan mencari pelabuhan lain. Ah, Kanaya! Bodoh! Siapa aku bisa bicara seperti itu? Kenapa bisa aku belum siap mendengar penjelasannya? Siapa aku yang butuh penjelasan darinya? Aku bukan siapa-siapa.
“Nay, masalalu lo buruk banget apa?”
“Ah? Udahlah. Waktunya gak pas banget, Bar.”
          Rasa makananku menjadi hambar seketika. Aku sudah lupa dengan sakitnya masalaluku, tapi menjadi sakit sekali ketika ada yang mengingatkan. Justru itu, aku menghindari bagaimana masalaluku itu. Bukan aku tidak ingin membuka, tapi aku belum siap.
          Tidak seharusnya Akbar berbicara tentang hal itu. Aku merasa semakin bersalah ketika meihat dia jalan bersampingan dengan seorang wanita berambut hitam panjang yang diikat kuda setelah makan siang tadi. Aku tidak kenal siapa wanita itu. Pertunjukkan siang itu semakin mambuatku yakin, bahwa aku harus ikhlas dia berlabuh di pelabuhan yang lain.
“Nay, lo kenapa sih? Kok jadi agak dingin gini?”
“Gue pengen ngomong deh sama lo.”
“Gue juga pengen ngomong, Nay. Gue suka sama lo. Gue nyaman sama lo.”
“Bar, kan lo punya pacar. Gak seharusnya lo bilang gini ke gue. Gue gak suka.” 
“Ha? Punya pacar? Sejak kapan?”
“Itu kemarin yang jalan sama lo, Bar.”
          Lucu. Malu. Entahlah. Kenapa juga aku bicara langsung seperti itu. Hahahaha... Kanaya, dia bukan cewe gue. Lo suudzon, nih. Malu? Iya. Sudahlah. Dimana pantasnya ku taruh wajahku ini?
“Ya, bukan gimana-gimana, Bar. Namanya juga orang mana tau kan. Maaf ya, Bar. Gue jadi malu deh.”
“Lo kan gatau malu, Nay. Udah ya, jangan salah paham, ya? Gue masih punya lo, kok. Tapi, lo jangan mikir seenaknya tentang gue, ya.”
***
          Hari ini adalah hari pertama di bulan Mei. Mei adalah yang selalu kutunggu. Hari spesial dalam hidupku yang tidak bisa diganggu gugat. Aku suka Mei. Mei menandakan bahwa, Tuhan masih memberiku kesempatan untuk terus berlajar dan memperbaiki diri. Aku suka Mei. Mei selalu punya cerita dalam hidupku. Aku selalu menunggu apa yang akan dia bawa untukku.
          Mei ku kali ini berbeda. Tuhan hadirkan seseorang yang aku tidak pernah menyangka Tuhan menghadirkannya di bulan ini. Apa Tuhan sudah menyiapkan kisah di bulan Mei? Setelah aku benci Juni.
          Bulan ini mungkin juga akan menjadi bulan aku dan Akbar. Akbar juga suka Mei. Sama alasannya sepertiku. Aku juga tak menyangka mengapa Tuhan hadirkan takdir yang begitu sulit untuk ku percaya.
"Jadi, kita punya tanggal dan bulan lahir yang sama?"
“Iya, Nay. Apa kita kembar?”
“Gue gak percaya deh, Bar. Lo bohong ya?”
"Masa gue bohong. lo tanggal 22 Mei kan? Gue juga. Nih, kalau gak percaya. Namanya juga jodoh."
          Hari ke-enam pada Mei ini kami bertemu. Ini pertemuan pertama kali kami bersama Mei. Akbar menunjukkan kartu identitasnya dan dua puluh tahun yang lalu, kami melihat dunia secara bersama. Lalu, Tuhan pertemukan kami kembali dan menguak segalanya di bulan yang sama.
“Lo mah bilang gue bohong terus, Nay. Ini baru namanya jodoh. Oh iya, Nay gue mau bicara sesuatu, nih.”
“Sama, Bar. Lo dulu ya.”
“Lo gimana ke gue?”
“.....”
          Sontak malam itu menjadi sunyi. Hujan yang mengguyur jalanan di depan restauran kami pun semakin deras. Suasana berubah menjadi tegang. Entah mengapa, aku lupa rasanya di posisi ini setelah satu tahun silam. Aku bingung apa yang harus aku ungkapkan kepas Akabar.
“Lo mau kan jadi pacar gue, Nay?”
“Bar, sejujurnya ini yang gue takutin.”
          Malam itu, aku memberi dua pilihan jawaban. Membiarkan Akbar pergi mencari pelabuhan lain atau tetap jalani apapun akhirnya nanti. Setelah kejadian satu tahun yang lalu, yang belum aku lupakan, aku merasa bahwa berada dalam ikatan dengan seseorang membuatku takut. Takut akan berbagai hal. Yang aku tahu dan aku yakin bahwa Tuhan sudah siapkan siapa pasangan kita. Semenjak satu tahun yang lalu pun, aku sudah tidak terlintas bagaimana ketika aku melewati posisi itu.
“Gue gak bisa, Bar. Gue lagi takut buat punya ikatan sama orang. Bukan perkara masalalu yang buruk, tapi gue sedang memperbaiki diri gue dan gue yakin, kalau kita ditakdirin buat bersama itu pasti terjadi, Bar. Apa yang sudah jadi takdir kita, gak akan mungkin jadi miliki orang lain.”
“Tapi gue udah stuck di lo, Nay. Gue harus gimana?”
“Bar, gue juga punya rasa yang sama kayak lo. Gak mungkin dalam waktu tiga bulan ini gue biasa-biasa aja sama lo yang manisnya minta ampun. Tapi, gue rasa kita bakalan baik-baik aja kalau tanpa ikatan, Bar. Sekarang adil kan, kita punya rasa yang sama, bedanya lo pengen kita terikat. Sekarang terserah lo mau tetep bertahan untuk gue tanpa ikatan atau enggak. Masalah gue dan perasaan gue biar jadi urusan gue. Gue tau caranya mengontrol diri gue, Bar. Meskipun sakit. Gue gak papa.”
“Inget, Nay. Masalalu ada tempatnya sendiri. Sekarang, biar gue bawa lo dari masalu kelam lo itu.”
          Akbar. Keputusanku untuk tidak bersama dia adalah keputusan yang terbaik. Aku tidak ingin berada dalam satu ikatan. Aku tahu bagaimana siklus yang nantinya akan ku hadapi. Satu tahun silam, aku berusaha bangkit sendirian hanya karena cinta. Konyol. Untuk apa? Yang akhirnya juga pada perpisahan. Aku sadar tidak semua yang kita miliki akan menjadi milik kita selamanya. Begitupun dengan Akbar. Aku yakin, jika takdir mempertemukan kita maka pasti kita akan bersama.
          Dengan keputusanku untuk tidak menjalin ikatan dengannya, ini pertanda bahwa aku harus benar-benar siap dan ikhlas jika ia memutuskan untuk berlabuh pada pelabuhan yang lain. Jahat bila aku tetap memaksa Akbar untuk terus bersamaku tanpa sebuah ikatan.
          Sepertinya, Mei masih belum ingin berakhir. Apa kita masih bersama hingga hari spesial bagi kita itu datang? Dua puluh tahun yang lalu, kita membuka mata dan melihat dunia bersama. Lalu, apakah kita akan megarungi bulan-bulan lainnya secara bersama atau kau mengakhirinya di bulan Mei juga? Terimakasih, Bar atas bulan Mei tahun ini. Kau hadir dan aku tidak tahu ini menjadi kehadiranmu yang terakhir atau kau tetap menungguku dibelakang. Aku akan menunggu hari dimana kita melihat dunia yang ke dua puluh kalinya, bersamamu. Biar saja dunia tahu, bahwa kita pernah menangis bersama untuk keindahan dunia yang pertama kalinya
          Seiring berjalannya waktu, hari-hari di bulan Mei pun akan berkahir. Setelah Mei berakhir, hari-hari pertama di bulan Juni datang. Bulan yang tepat setahun sudah aku berusaha untuk bangkit sendirian. Tepat setahun sudah aku melupakan kejadian itu. Apa ini pertanda aku harus menempatkan kisah lalu di tempat yang berbeda dan memulai kisah baru tanpa sebuah ikatan?
Nay, tadi lo kasih gue pilihan, kan? Mau lepasin lo atau tetep bersama lo meskipun pait akhirnya kan? Gue pilih yang kedua, Nay. Kalau perasaan dan resiko lo jadi urusan lo, biarin gue merasakan hal yang sama.”



Inspired by: Meijikuhibiniu ft. NKnF

Selasa, 18 April 2017

Aku yang Jahat!


Ini salahku. Aku yang egois. Berusaha membuat diriku tetap terlindungi namun aku menyakiti orang lain. Membiarkan orang lain terambang di atas air tanpa pelindung. Sedangkan aku? Terambang diatas air dengan pelampung dan memaksanya tetap disampingku meski dalam bahaya. Egois bukan?
***
Seperti biasa, aku melakukan rutinitasku dengan pujaan hatiku di perpustakaan. Siapa lagi kalau bukan si tugas yang indah nan menawan ini. Kali ini aku selalu disibukkan dengan tugas proposal penelitianku, padahal aku baru menginjak semester ketiga. Bisa dihitung berapa kali aku menginjakkan kakiku di perpustakaan dalam seminggu. Tidak pernah, bahkan. Sejujurnya, aku adalah mahasiswi yang malas dengan harapan nilai yang memuaskan tiap semesternya.
Dengan terlunta-lunta aku memasuki pintu perpustakaan yang asing bagiku. Mahasiswi macam apa aku ini. Aku mulai mencari loker dengan nomor 112, dari bawah, kanan, kiri, ya! Aku menemukamu loker. Kuletakkan seluruh benda-bendaku kedalam loker itu dan dengan siap sedia aku melangkah menuju bilik buku di lantai dua. Inikah yang dinamakan siap sedia? Rasanya seperti menaiki seribu anak tangga. Konyol.
“Maaf, meja ini kosong ya? Bisa saya duduk?” Kudekati seseorang yang tengah duduk sendiri di meja perpustakaan kampus.
“Ah, iya. Kosong. Silakan.” Jawabnya tanpa melihat lawan bicaranya.
“Kak, maaf saya mau tanya. Kalau kumpulan buku-buku Bimbingan Konseling dimana ya, kak?”
“......” Lelaki dihadapanku bukan menjawab malah melirikku.
            Menyusahkan sekali, ya. Aku kan bertanya minta bantuan. Kalau aku sudah temukan buku yang kumau, jelas tidak mungkin aku bertanya dengan orang yang tidak aku kenal. Siapa sih dia? Lelaki rapi dengan kemeja kotak biru dan jeans biru dongker dengan rambut yang tidak terlalu rapi yang juga diperpadukan dengan jambul serta sneakers putih dengan tali hitam. Kalau dilihat-lihat dari penampilannya, boleh juga sih.
“Kanaya!” Sapa teman sekelasku.
“Eh, kok lo disini juga? Tau gitu bisa bareng kali ke perpusnya.”
“Hahahaha... Gue juga baru kepikiran buat ke perpus, padahal males juga ya kan.” Suara kami menggema disetiap sudut perpustakaan dan sontak kami menjadi bahan tontonan gratis orang perpustakaan dengan tema ‘Dua Mahasiswi Tak Tahu Malu’. Tak lupa lelaki berjambul itu menatap kami dengan sinis sedangkan aku dan Fathya hanya bisa tersipu tanpa mengenal malu.
“Bar, ayok rapat. Udah jam berapa ini? Berehenti dulu kali bacanya.”
“Eh, iya, Ziz. Bentar-bentar gue beresin barang gue dulu.”
            Bar? Ibrar? Bukanlah. Akbar? Ah, nama lelaki itu Akbar. Jelas benar Akbar namanya. Menyebalkan, tapi besar pesonanya.
***
            Hari ini hari pertama aku masuk kelas Pancasila. Jarak antara gedung fakultasku dengan gedung kuliah umum lumayan jauh. Aku harus menyebrang pulau dulu untuk sampai ke kelas Pancasila—Kanaya Faradisha, otak dengkul. Tidak, aku hanya bercanda. Tapi benar, jaraknya lumayan jauh cukup menguras keringat dan air minum. Kanaya memang selalu berlari untuk menyebrang, karena waktu perpindahan mata kuliah yang sangat pendek jaraknya. Buuukkk!!!
“Aduuhh!!! Maaf.”
“Yaampun, makalah gue.”
“Yah, maaf kak, maaf. Saya gak sengaja serius deh. Saya buru-buru banget.”
“Eh, lo lagi? Kenapa sih? Lo siapa sih?”
“Kak, kenalin aku Kanaya Faradisha, Bimbingan Konseling, 2015. Maaf, ya kak Hehe...”
            Kakak Akbar ternyata. Lelaki yang kutemui di perpustakaan itu mendinggalkan aku ditengah lapangan yang ramai. Sebelum aku bertanggung jawab karena perbuatanku yang begitu pahit dan tak tahu malu.
            Sampailah aku dikelas yang tak kutunggu sama sekali keberadaannya. Aku jelas ragu masuk kedalam ruangan. Ini bukan teman-temanku semua, kami dipecah. Dikelas ini, aku akan bergabung dengan orang-orang dari berbagai jurusan. Kalau dipikir-pikir, ada untungnya juga. Siapa tau... —Kanaya Faradisha, otak dengkul yang gemar mencari kesempatan. Ku intip tiap-tiap jendela di sepanjang lantai delapan. Tapi, ya dari mana aku bisa tahu kalau itu kelasku, padahal aku tidak tahu rupa dari dosen baruku itu. Alah! Aku kan menyimpan nomor ruangan. Ruang 908, tapi ini lantai delapan. Oke, naik satu lantai lagi dan cari ruang 908, Nay.
(TokTok) “Misi, pak ini kelas bapak Mahmudi bukan, ya Pak?”
“Ya, masuk-masuk.”
            Aku harus menyusuri mataku di setiap sudut ruangan ini. Mana tahu ada seseorang yang ku kenal. Satu, dua, tiga, empat, loh? Akhirnya, aku menemukan seseorang yang benar-benar kukenal, Kak Akbar. Kenal?
“Jadi ini angkatan 2015 semua, ya.”
“Ha? Kak Akbar 2015?” Lagi-lagi aku menjadi tontonan dikelas baruku. Lagi-lagi aku tertunduk tak tahu malu.
“Akbar siapa? Akbar Syahada Syahputra? Teknik Sipil. Catat, Kanaya.” Ternyata benar dugaanku, Akbar namanya dan kita seumuran. Akbar menatapku dengan tajam. Ia pasti malu karenaku. Sangat tajam. Kali ini, mungkin setajam silet atau bahkan golok kambing.
            Siapa yang mengira, Tuhan menakdirkan kita selau bersama. Aku berpasangan dengannya untuk tugas diskusi Undang-Undang. Sikapnya pasti dingin, ini karena aku yang tak tahu malu. Tapi aku tetap senang. Akbar Syahada Syahputra, Teknik Sipil, si jambul manis.
***
“Bar, gimana ini? Masa kerja kelompok lo diem-diem aja. Ngomong ama apa coba gue.”
“Kan udah gue kasih tugas, kan? Yaudah kerjain. Nanti kalau udah baru dibicarain.”
            Ternyata justru dia yang tidak bekerja. Ia membaca komik yang sejak awal pertemuan di perpustakaan itu ia baca dan belum tamat. Lalu, bagaimana nasib materi diskusi ini? Haruskan aku merasakan seribu anak tangga lagi?
“Bar, asli deh dua jam lagi kelas kita masuk. Gue udah absen kuliah program studi, nih. Tapi, lo malah main-main.” Keluhku sembari membolak-balikkan buku Pancasila.
“Yaudah. Ayuk masuk kelas.” Akbar pergi meninggalkan aku bersama laptop merahnya.
            Dengan sangat senang hati seorang Kanaya Faradisha mengerjakan tugas diskusi ini seorang diri. Sampai perginya Akbar tadi, aku tetap melanjutkan materi kami dengan bibir yang bisalah diukur dengan meteran bangunan. Setelah diukur dengan meteran bangunan, giliran kakiku yang berkorban. Berlari dari perpustakaan menuju warung cetak dilanjutkan menuju warung jilid dan diakhiri di ruang 908 dengan air minum yang kosong. Sedangkan Akbar, duduk manis dengan meneguk sebotol air meniral dihadapanku yang sedang tarik ulur nafas.
“Udah? Sini duduk samping gue.”
Uuhh... Akbar! Coba sikapnya gitu terus. Manis, deh. Sayang, galak. —Kanaya Faradisha, mudah terpesona. Padahal baru ditinggal.
            Siapa yang menyangka, nyatanya Akbar sangatlah lembut. Hari itu hari dimana kami maju kedepan dan mempresentasikan hasil diskusi kami tentang undang-undang. Akbar yang mendominasi presentasi kami. Padahal, ia tidak ikut banyak mendiskusikan materi. Jadi, Kanaya mulai terpesona. Aku berani menyimpulkan, bahwa Akbar adalah sosok yang totalitas. Sebelum presentasi, Akbar membaca materi singkat kami dan melupakan sejenak komiknya. Sudah empat kali pertemuan mata kuliah ini aku juga dapat menyipulkan, bahwa Akbar datang untuk kuliah dan pulang kerumah saat sudah selesai. Kanaya sok tahu!
“Nay, mau bareng gak?” Tegur Akbar saat aku menunggu lift.
“Ha? Enggak, Bar. Hehe...” —Kanaya Faradisha, sok jadi pemalu. Tiba-tiba, seorang Naya yang tidak punya malu menjadi Naya yang berpikir sebelum bertindak di depan Akbar. Karena, aku tidak ingin melewatkan momen kelembutan dan kemanisan Akbar. Ini fakta bahwa aku terlah terpesona olehnya.
“Serius, Nay. Rumah lo arah Cipinang, kan?”
            Akhirnya, aku duduk dibelakang si jambul manis ini. Lirik kanan, lirik kiri, rem kedepan, dan aku canggung. Kenapa aku yang biasanya pembicara aktif menjadi pasif hanya karena duduk dibelakang Akbar. Padahal, siapa dia dan dari mana asalnya pun aku belum tahu. Tapi memang, sejak awal pertemuan singkat di perpustakaan itu aku merasa dia punya karisma yang mampu memikat semua wanita. Itu memang fakta, bahwa dia adalah lelaki teknik sipil incaran kaum hawa. Luar biasa.
“Bar, boleh tanya?” Tanyaku kepada Akbar yang masih setia duduk disampingku. Bukan karena dia tetap setia untuk berada disampingku, tapi karena kami sekelompok.
“Apa, Nay?”
“Kok lo beda sih. Inget awal ketemu di perpus? Pas dilapangan?”
“Beda ya? Karena, lo songong.”
“Tapi, ya Bar. Lo tuh gak suka banget sama gue. Kok sekarang mau nebengin gue?.”
“Terpaksa.”
***
            Bagaimana mungkin seiring berjalannya waktu yang tidak bisa disalahkan aku merasa bahwa kami semakin intens tapi tidak hot shoot ataupun kabar-kabari. Berawal dari intensitas pertemuan kami yang lumayan sering dan pembicaraan yang sangat luas tanpa sadar kami terperangkap dalam suatu hubungan yang tidak jelas arah dan tujuannya.
“Kenapa gue bisa senyaman ini ya, sama lo, Nay? Padahal kan awalnya terpaksa.”
“Ssssttt... Jangan gitu ah, Bar. Makanya, jangan terpaksa. Yang perlu diingat kita kan team undang-undang. Hahaha...”
“Tapi gue serius. Lo gitu gak sih?”
            Aku terus mencari alasan untuk menghilangkan pembicaraan ini. Akbar terlalu terburu-buru. Aku tau dia serius, tapi justru aku takut. Bagaimana bisa dengan mudahnya dalam delapan belas kali tatap muka, Akbar bisa menaruh hati kepadaku? Jika boleh aku jujur, aku juga menyukainya. Tapi.... Ah! Masih berat bagiku mengakui pada diri sendiri bahwa ini yang terjadi. Pengalamanku masih menyisakan luka, tapi Akbar datang seolah membuatku berpikir hal buruk yang sama.
 “Bar!” Aku berusaha membuat dia kaget. Tapi tidak.
“Duduk sini. Mau makan apa?”
“Bar, gak makan deh gue. Minum aja.”
            Sejauh nasi dan air masuk kedalam tubuh kami, tidak ada percakapan yang membuat kami tegang. Tidak ada pembahasan mengenai hal sensitif itu. Namun, sepanjang perjalanan pulang nanti tidak menutup kemungkinan akan terjadi hal baru.
“Nay, gue tuh suka sama lo, deh.” Glek! Rasanya air yang baru mengalir lancar ditubuhku tiba-tiba berhenti ditengah jalan.
“Duh, Akbar. Gak gitu, ah.”
“Kenapa sih, Nay. Tiap gue bilang begini, lo selalu aja mengalihkan pembicaraan. Lo sendiri yang bilang ‘jangan terpaksa’ ini kayaknya gara-gara gue terpaksa, deh. Jadinya tulus.”
“Tulus yang nyanyi sepatu. Bentar lagi sandal.”
“Ya, bercandaain aja terus, Nay. Padahal, gue serius.”
“Jangan serius-serius, ah Bar. Ngeri.”
“Terserah Kanaya, deh.”
            Berjalanlah kami ke arah parkiran dengan suasana yang masih kurang baik. Semenjak pebincangan tadi membuat kami benar-benar saling diam seribu bahasa. Seakan semuanya menjadi berbeda. Antara aku ingin jelas-jelas mengatakan bahwa ‘Kita tidak bisa’ dan Akbar yang ingin sesuatu lebih dari pembicaraan tadi.
“Nay, dingin gak?” Tanya Akbar sambil salip menyalip motor lainnya.
“Enggak, Bar.”
“Kalau dingin, pake jaket gue aja nih.”
“Justru lo yang mesti pake, biar lo bisa lindungin gue. Kalau gue yang pake, lo kedinginan, masa gue yang lindungin lo di jalanan begini, sih?”
“Kayaknya gue suka beneran deh sama lo.” Suara Akbar nyaris tak terdengar karena kerasnya angin.
“Apa???!!”
“Gue suka sama lo.”
“Eh! Ssttt... Jangan.”
            Dinginnya malam itu membuatku berpikir, akankah ini terjalin dalam waktu yang lama? Akankah ini terjalin hingga kami bersama mengenakan toga diwaktu yang bersamaan? Atau mungkin saja malam ini adalah yang terakhir?
“Masuk, sana Nay. Ati-ati, ya. Selamat malam. Mimpi indah. Inget yang tadi, ya.” Ku balas dengan senyum dan menunggu hingga ia tak terlihat lagi punggungnya dari ujung gang rumahku. Jujur saja, aku lebih sering mengacuhkan ungkapannya padaku karena aku masih khawatir ini terlalu cepat.
***
            Aku masih terpikir akan pembicaraan kami kemarin. Rasanya seperti ingin, tapi tidak. Jelas semuanya tentu ada alasan. Mengapa aku ingin, tapi tidak. Yang membuatku berpikir, mengapa Akbar begitu cepat mengatakan ini semua? Bukankah semua menjadi terasa terburu-buru?
            Jika kalian bertanya bagaimana perasaanku padanya, aku pun tidak tahu. Kalimat ingin, tapi tidak itulah yang menggambarkan perasaanku padanya. Sejauh mana Akbar yakin akan perasaannya yang secepat itu? Sejujurnya kemarin aku ingin menanyakan tentang hal ini, tetapi aku bukanlah pribadi yang handal untuk membicarakan hal seperti ini. Itulah sebabnya aku selalu mengelak jika Akbar memulai pembicaraan yang sejenis ini.
“Nayaaa....” Panggil Akbar dari kejauhan. Kami memang berjanji untuk bertemu dan duduk cantik di bawah pohon lapangan. Iya, lapangan dimana aku menabraknya dan membuat makalahnya basah.
“Kak Akbar. Inget gak, Bar? Hahaha...”
“Iya, Kanaya si otak dengkul memang.”
“Ya ampun, Bar. Otak dengkul tapi lo suka.” Jeng Jeng! Aku rasa, aku sudah memancingnya untuk membahas hal yang belum berakhir semalam.
“Terus, lo suka sama gue gak, Nay? Gausah dijawablah. Pasti lo juga ngira gue bohong dan bercanda.”
“Hmmm... Akbar jangan bahas itu.”
“Kan lo yang mulai, Nay. Hahaha... Yaudah, Nay. Gak apa-apa kok. Apa ini tandanya gue ditolak sebelum gue mengungkapkan keseriusan gue, ya Nay.”
“Hmmm... Gak tau, Bar.”
“Wahahahaa... Pertanyaan gue bikin lo gak mood terus ya, Nay. Yaudah lupain, biarin aja gue yang nunggu lo, Nay. Butuh apapun, gue bakal selalu ada buat lo, Nay.”
“Iya, Bar. Makasih ya, hehe...”
“Ini yang masih dibilang bohong dan bercanda?”
            Pembicaraan yang sudah tidak mengenakkan bagi kami berdua sama seperti mulainya awan yang menghitam secara perlahan. Ini pertanda, bahwa kami harus menyudahi pertemuan hari ini. Karena Akbar sudah memintaku duduk di taman hingga malam tiba. Maka, ia pun harus mengembalikanku ke rumah alias mengantarku pulang.
“Bye, Nay. Langsung mandi biar gak bau hahaha. Terus tidur, ya...”
“Ih. Makasih ya, Bar. Kalau udah sampai rumah kabarin.”
***

            Beberapa hari setelah itu, banyak sesuatu yang membuatku gelisah tentang Akbar. Jelas gelisah, bukan Akbar jika dia terlambat membalas pesanku. Sudah tak ada kabar darinya. Rasanya aneh, tak ada percakapan seintens dulu. Jangankan membalas pesan, bertemu saja sudah jarang. Aku merasa ada yang hilang. Ingin ku ulang kelas 908 dengan penuh makna.
“Hai, Nay...” Hanya ‘hai’? Tidak seperti biasanya, Akbar hanya say hi ke aku. Biasanya, dia selalu menghampiri dan mengajakku makan bersama bahkan mengantarku pulang.
“Hai, Bar. Kelas jam berapa?” Aku menggunakan jurus untuk memancingnya.
“Jam 1, nih. Duluan ya, Nay.” Loh? ‘Woy, Bar. Ini jam makan siang. Lo gak ngajak gue makan?’. Aku meneriakinya. Dalam hati


            Sudah? Itu saja? Sungguh, ini tak seperti biasanya. Jelas aku merasa ada yang hilang dalam hariku.
“Naya, apa kabar?”
“Eh, Akbar. Alhamdulillah, baik. Lo?”
“Baik juga, Nay. Duluan, ya Nay.”
            Akbar bohong. Dia bilang dia menyukaiku. Dia akan terus bersamaku. Lalu, kemana dia? Dia jahat. Tidak bisa bertanggung jawab. Sudah berulang kali ku katakan, bahwa jangan ungkapkan perasaan itu jika pada akhirnya aku merasakan hal yang sama namun dia malah pergi
***
Sejak perubahan dalam hubungan kami, aku merasa rusak. Aku merasakan sakit yang kedua kali tanpa disakiti. Aku selalu mencarinya di sudut kampus. Akbar adalah alasanku untuk pergi kekampus demi melihat dirinya. Aku rindu. Tunjukkan wajahmu, Bar agar aku tau bagaimana wajah dan keadanmu yang sudah lama tak ku lihat.
            Bohong jika aku mengharapkan ini dari enggannya aku untuk membahas perasannya padaku. Bohong jika aku merasa senang jika ini akhirnya. Bohong jika aku tidak memiliki perasaan padanya. Apa ini tanda bahwa aku telah menyia-nyiakan orang yang benar-benar menyayangiku?
            Tunggu! Atau, ini semua terjadi karena suatu sebab yang dikarenakan oleh diriku sendiri. Ya! Aku ingat dimana saat ia menyatakan perasaannya padaku dan aku hanya menjawab dengan jawaban yang dingin. Munafik jika aku berkata bahwa, aku tidak memiliki rasa apapun dengannya. Tapi, aku tetap ingin melindungi diriku dari kerasnya cinta. Aku tidak ingin justru dia yang membuatku kembali merasakan kerasnya cinta. Aku tak ingin berada dalam ikatan dengannya, namun aku tetap ingin bersamanya disaat ia membutuhkan kepastian dariku.
“Bar, jangan tinggalin gue.”
“Bar, gue juga punya rasa yang sama.”
“Bar, gue mau bicarain tentang ini lebih jauh.”
“Bar, gue punya alasan.”
“Gue sebernya punya rasa yang sama seperti lo. Tapi gue takut, takut akan jatuh cinta dan sakit hati yang kedua kalinya.”
            Terlambat.
            Kanaya Faradisha, egois. Tidak berperasaan dan jahat. Membiarkan orang terus berkorban untukmu dan selalu bersamamu, tapi kau malah membiarkannya menghilang tanpa keputusan darimu. Jahat, membiarkan Akbar menunggu sedangkan kau sibuk menyelamatkan dirimu dari kerasnya cinta. Semoga kamu bisa belajar, Nay.


Inspired by: WW