Rabu, 26 Februari 2014

Part #11

“Sepi, nih.” Aku mendapat sebuah pesan singkat dari Adam. Lagi-lagi aku harus menjenguknya. Aku tak ingin menkajak siapapun. Jarang-jarang aku menikmati moment seperti ini.
            Kali ini, aku memasuki pintu rumah sakit dengan membawa makanan kesukaanya. Sebelum menuju ke rumah sakit, aku menyempatkan diri memasak untuknya. Aku meracik bumbu demi bumbu untuk makanan kesukaan Adam. Sayur Asam dengan taburan ikan teri kecil goreng diatasnya. Untung saja, hari ini adalah hari libur. Sehingga mudah bagiku untuk menghidangkan makanan kesukaanya. Kusajikan makanan ini disebuah piring. Ia menyuapkan sendok demi sendok ke bibirnya. Hingga tiba saatnya, ia melakukan hal konyol. Ia melayangkan sendok itu kearah bibirku. “Hey! Mana bisa seseorang yang sedang sakit menyuapi orang yang sehat. Tapi, kau sudah besar aku tak perlu melakukannya untukmmu.” Aku tertawa geli kala itu. Jelas saja ku dorong sendok itu kembali ke mulutnya. Lahap sekali ia memakannya. “Entah bagaimana dengan rasanya. Aku harap tak akan terjadi sesuatu padamu.”
“Hahaha… Enak, Qhey. Kuhargai perjuanganmu. Perjuangan ibumu, tepatnya. Wanita sepertimu mana bisa memasak masakan seperti ini. Impossible, Qheyla. Sampaikan salamku untuk ibumu. Wanita yang telah meluangkan waktunya untuk memasak makanan kesukaanku.”
“Kau pikir aku wanita macam apa, Dam? Masak seperti ini saja tak bisa? Bukan Qheyla namanya. Ibuku? Hey! Kau menyukai ibuku?” Aku melayangkan ekspresi sinis kepadanya.
“Iya, jelas ibumu. Wanita berhidung pesek mana bisa menghirup harumnya masakan? Wanita bermata sipit mana bisa melihat porsi bumbu masakan? Wanita berbibir kecil mana bisa meraskan makanan? Hahaha…” Adam sangat senang meledekku, tawanya sangat puas. Kejamnya kau Adam!
“Segampang itu kau meremehkanku, Dam?”
“Tapi, kau tahu kelebihanmu?”
“Apa itu?” Sungguh, aku sangat muak dengan leluconnya.
“Kau dapat membuat hatiku meleleh dengan cepat. Seperti ice cream yang di letakkan dibawah sinar matahari.” Astaga! Ini bukan lelucon, Dam. Aku tak tahu harus tertawa atau membunuhmu.
            Tawa kami menggema di kamar Adam kala itu. Bahkan, ia tak sadar telah menghilangnya semua isi yang ada dipiring tersebut. Syukurlah, perutnya kembali terisi. Entah petir apa yang ada dalam diriku sehingga mudahnya…
“Apa kau masih berharap Zalfa?” Tuhan, mengapa kau biarkan kalimat lancang ini keluar dari mulutku?
“Percayalah, Qhey. Zalfa hanyalah serpihan masalaluku. Kau mengkhawatirkannya? Lalu, jika aku bertanya. Bagaimana dengan kepastian?” Mutiaraku sudah menggenang dikantung mataku. Sungguh, aku tak dapat menahannya. “Kau takut? Jawab, Qhey.”
“Apa harus ada kepastian? Aku takut, Dam.”
“Akupun begitu. Sebenarnya sulit rasanya aku mengatakan ini. Aku juga tak ingin memilikimu saat ini. Aku memang mencintaimu, Qhey. Takut jika esok tak lebih indah dari hari ini.”
“Kita akan baik-baik saja, Kan?” Sungguh, aku tak dapat berkata apa-apa lagi. Hanya itu yang ada dalam benakku.
“Percayalah. Kau bilang kepastian itu bukan hal penting. Ya, kita akan baik-baik saja, Qhey. Bukankah, tak perlu menjadi yang special untuk melakukan hal yang special? Meski aku mencintaimu dank au mencintaiku. Baiklah, tak perlu ada kepastian.”
            Mutiaraku tak dapat ku tahan. Kubiarkan mutiara itu berjatuhan di bahu Adam. “Aku tak senang kau menangis, Qhey. Janganlah menangis karenaku.” Sore itu, aku benar-benar tenggelam dalam dekapannya yang hangat.
“Hari ini, kita terakhir bertemu, Dam. Besok sudah libur panjang.” Aku mulai mencairkan suasana.
“Kita tetap selalu berdekatan.” Senyumnya di rumah sakit mengakhiri tahun ajaran di sekolah kami kala itu.
                                                                        ***
            Satu tahun telah kami lewati. Jelas saja aku dan Adam tak lagi menjadi murid terjunior. Kami sudah memiliki adik kelas. Ada yang menarik wajahnya, ada juga yang membosankan. Bahkan, menakutkan. Aku harus waspada menjaga Adam. Meskipun belum ada hubungan kepastian bagi kami. Banyak wanita junior yang lebih cantik dariku.
            Seperti yang kukira diawal aku bertemu sosok Adam yang dulu kukira ia adalah seorang kapten basket. Diawal ajaran baru ini, ia kerap kali bergabung dalam Club Basketball. Ia selalu berlatih disore hari, setelah kegiatan belajar habis. Klub ini tak hanya untuk kalangan tertentu. Artinya, terbuka untuk semua kalangan. Bahkan, jika petugas sekolah ingin bergabung juga terbuka. Namun, petugas sekolah kami sangat mengerti akan artinya umur bagi mereka. Terbuka. Tak hanya lelaki berotot saja yang bergabung. Yang tak punya otot pun bisa bergabung. Tak hanya lelaki saja, siswi remaja pun banyak yang bergabung. Termasuk junior kami.
            Perkiraanku benar. Adam memang lelaki paling tampan di sekolah. Bagaimana tidak? Berawal dari wanita junior yang bermata sipit, berkulit putih, dan berkawat gigi. Aku mendapati wanita itu mengagumi Adam. Sungguh, rasa cemburuku tumbuh kala itu. jelas saja aku menyimpan cemburu yang dalam. Aku tak pernah memiliki Adam, meski kami sudah sangat dekat. Aku takut, takut jika wanita cantik itu dapat memilikinya tanpa perjuangan yang kuperjuangkan selama ini. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku melarang wanita itu untuk menyukai Adam? Tidak, aku tak berhak melakukannya. Adam bukan siapa-siapaku. Bisa-bisa Adam membenciku. Ekspresi sinis kerap kali ku tunjukkan kala aku melihat mereka bersama. Mereka satu klub basket. Kekhawatiranku benar-benar tak dapat ku sembunyikan.
“Tak usah pasang wajah sinis ketika kami bersama.” Adam menghampiriku yang sedang duduk dipinggir lapangan basket. Kala itu, aku sedang memperhatikannya berlatih. Wajah sinisku terlihat ketika mereka bersendau gurau bersama.
“Apa? Bagaimana tidak? Bagaimana kalau kau menyukainnya? Bagaimana jika kau melupakanku?” Aku sedikit menaikkan nadaku.
“Tak perlu khawatir. Kau berlebihan, dia adalah junior. Mana bisa aku menyukai junior? Percayalah, ingatlah janjiku. Aku hanya berteman.” Banyak sekali usaha Adam untuk meyakinkanku akan janjinya.
“Padahal, kau tidak begitu tampan.” Ia menghancurkan jilbabku yang tak pernah berantakan dan langsung mengambil bola basket untuk memasukkannya ke ring.
            Kami kembali ke rumah bersama dan melupakan beberapa gelintir wanita junior yang mengagumi Adam.

“Apa tadi kau bilang? Aku tak begitu tampan? Tak mungkin kau menyukaiku jika aku tak begitu tampan.” Ketampanan Adam menutup sore yang senja kala itu.
                                                           ***
           Pagi ini aku mengintai sosoknya. Hampir disemua sudut sekolah ku pandangi. Setelah satu tahun kami lewati, banyak sekali rintangan, banyak pula pelajaran yang kudapati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar