Keadaan
itu kembali muncul dan membuatku seolah-olah mejadi wanita cengeng dan telah
dibodohi cinta.
Begitu juga dimalam hari, hanya
perubahan dalam diri Adam yang selalu muncul dibenakku. Hingga mataku yang
hendak terlelap, mulai enggan memejamkan mata untuk tertidur. Rasanya bagaikan
tubuhku mati rasa karena banyaknya airmata yang nengalir. Butiran-butiran indah
itu nyaris membasahi sarung bantal bergambar Barbieku ini. Dinginnya tetes airmata yang membekas disarung
bantalku, membuatku perlahan dapat memejamkan mataku dengan tenang.
***
Mengapa kelas begitu sepi? Terlalu
pagikah aku? Biasnya, ketika aku menginjakkan kakiku kedalam kelas, sosok yang
begitu istimewa telah bersandar dibangku kesayangannya. Namun, kali ini bangkunya
kosong. Tempat itu tak menjadi tempat istimewa lagi. Hanya ada kawan
sebangkunya yang sedang membolak-balikkan buku tulis dan mengerjakan pekerjaan
rumah yang belum sempat ia selesaikan.
“Adam?”
“Dia
bilang, mau berangkat bersama orang lain. Aku telah dilupakannya, Qhey.” Ia
mengajakku bergurau. Padahal, aku sedang serius. Mungkin karena seringnya aku
bergurau, ia sampai tak percaya dengan keseriusanku ini.
“Orang
lain? Siapa?” Aku menghiraukan candanya.
“Entahlah,
Qhey.” Kebingungan mulai menghampiriku dipagi hari.
Aku benar-benar menunggunya di
kelas. Bahkan, aku berdiri menunggunya diluar kelas. Aku tak dapat
menyembunyikan kerinduanku padanya. Memang baru kemarin kami bertemu. Namun,
berbeda seperti dahulu. Aku tak dapat merasakan menjadi miliknya seutuhnya
seperti dahulu. Menjadi miliknya walau tanpa sesuatu yang special. Hentakkan kaki itu menghentikanku yang sedang
terombang-ambing dalam masalalu yang indahku bersamanya. Aku hafal betul
hentakan kaki itu. Ya, itu hentakkan kaki Adam. Tidak! Hentakkan itu menggema
dan tidak seperti biasanya. Aku tak berani untuk membalikkan wajahku. Aku takut
sesuatu buruk akan membuka pagiku kali ini.
Rasa rindu yang menggebu-gebu sontak
menghilang. Aku benar-benar terperanga kala aku melihat Adam menghentakkan
kakinya bersama Farah. Hentakkan asing itu adalah hentakkan kaki Farah. Apakah…
Ah, tidak mungkin, itu hanya kebetulan. Tapi, aku kerap kali melihat mereka
bersanding bersama. Aku ingat ketika di Mall,
ketika kesabaranku mulai diuji. Itu memang kesengajaan mereka. Namun, kali ini
bisa saja hanya kebetulan. Mengingat rumah mereka berada satu komplek. Meski
hanya sebuah kebetulan, aku tak sadar sedari tadi pipi bulatku ini sudah basah.
Aku tak ingin airmata ini mengalir begitu jauh. Aku membiarkan telapak kakiku
melewati anak tangga menuju kamar kecil. Aku biarkan butiran ini jatuh begitu
deras didalam kamar kecil.
Aku tak membiarkan tangisan itu
menggema. Aku benar-benar hilang. Aku tak tahu apa yang akan kulakukan. Aku tak
dapat lagi mengekspresikan perasaan dan keadaanku. Lelah rasanya jika aku tetap
bertahan pada seseorang yang tak pernah mengerti aku sedikitpun. Lelah rasanya
jika aku tetap bertahan untuk seseorang yang tak ingin berjuang bersamaku.
Lelaahh… Perasaanku tak dapat berubah. Keyakinan yang sejak dulu ada pada
diriku, hingga kini masih terikat benar dalam hatiku. Layaknya langit yang
menjanjikan tetes hujan, namun mentari kembali datang. Dimana janjimu dahulu
kala? Itu yang membuatku yakin. Sungguh, sakit. Ya Tuhan, aku tahu kau selalu memberiku
kesabaran yang lebih dari mereka yang tak mengerti akan artinya kesabaran.
Menahan, menahan, dan menahan. Jika bukan karena keyakinanku, sudah kubunuh
Adam agar tak ada siapapun yang menganggunya selain aku.
Aku kembali kedalam kelas setelah
aku merasa lega dan nyaman. Sapaan indah yang biasa Adam sajikan padaku, tak
lagi kudengar beberapa hari ini. Beberapa kawanku sempat bertanya dengan
perubahan diwajahku. Akhir-akhir ini, aku memang lebih sering memasang wajah Fake. Apalagi, tatkala aku melihat
moment istimewa Adam dengan Farah. Ya, aku memasanga wajah berpura-pura.
Berpura-pura bahagia diatas kebahagiaan orang yang kusayang. Baiklah, itu
adalah segelintir perjuanganku. Bagaimana denganmu Farah? Apa perjuanganmu?
Menemaninya bersanding menapakki jalan? Hanya itu? Aku takkan rela.
“Qhey,
apakah kau ingat dengan tugas resensi? Bagaimana dengan tugas resensiku?”
“Lalu?”
Aku memperlihatkan rasa cuekku padanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar