Sabtu, 05 April 2014

Part #17

Keadaan itu kembali muncul dan membuatku seolah-olah mejadi wanita cengeng dan telah dibodohi cinta.
            Begitu juga dimalam hari, hanya perubahan dalam diri Adam yang selalu muncul dibenakku. Hingga mataku yang hendak terlelap, mulai enggan memejamkan mata untuk tertidur. Rasanya bagaikan tubuhku mati rasa karena banyaknya airmata yang nengalir. Butiran-butiran indah itu nyaris membasahi sarung bantal bergambar Barbieku ini. Dinginnya tetes airmata yang membekas disarung bantalku, membuatku perlahan dapat memejamkan mataku dengan tenang.
                                                             ***
            Mengapa kelas begitu sepi? Terlalu pagikah aku? Biasnya, ketika aku menginjakkan kakiku kedalam kelas, sosok yang begitu istimewa telah bersandar dibangku kesayangannya. Namun, kali ini bangkunya kosong. Tempat itu tak menjadi tempat istimewa lagi. Hanya ada kawan sebangkunya yang sedang membolak-balikkan buku tulis dan mengerjakan pekerjaan rumah yang belum sempat ia selesaikan.
“Adam?”
“Dia bilang, mau berangkat bersama orang lain. Aku telah dilupakannya, Qhey.” Ia mengajakku bergurau. Padahal, aku sedang serius. Mungkin karena seringnya aku bergurau, ia sampai tak percaya dengan keseriusanku ini.
“Orang lain? Siapa?” Aku menghiraukan candanya.
“Entahlah, Qhey.” Kebingungan mulai menghampiriku dipagi hari.
            Aku benar-benar menunggunya di kelas. Bahkan, aku berdiri menunggunya diluar kelas. Aku tak dapat menyembunyikan kerinduanku padanya. Memang baru kemarin kami bertemu. Namun, berbeda seperti dahulu. Aku tak dapat merasakan menjadi miliknya seutuhnya seperti dahulu. Menjadi miliknya walau tanpa sesuatu yang special. Hentakkan kaki itu menghentikanku yang sedang terombang-ambing dalam masalalu yang indahku bersamanya. Aku hafal betul hentakan kaki itu. Ya, itu hentakkan kaki Adam. Tidak! Hentakkan itu menggema dan tidak seperti biasanya. Aku tak berani untuk membalikkan wajahku. Aku takut sesuatu buruk akan membuka pagiku kali ini.
            Rasa rindu yang menggebu-gebu sontak menghilang. Aku benar-benar terperanga kala aku melihat Adam menghentakkan kakinya bersama Farah. Hentakkan asing itu adalah hentakkan kaki Farah. Apakah… Ah, tidak mungkin, itu hanya kebetulan. Tapi, aku kerap kali melihat mereka bersanding bersama. Aku ingat ketika di Mall, ketika kesabaranku mulai diuji. Itu memang kesengajaan mereka. Namun, kali ini bisa saja hanya kebetulan. Mengingat rumah mereka berada satu komplek. Meski hanya sebuah kebetulan, aku tak sadar sedari tadi pipi bulatku ini sudah basah. Aku tak ingin airmata ini mengalir begitu jauh. Aku membiarkan telapak kakiku melewati anak tangga menuju kamar kecil. Aku biarkan butiran ini jatuh begitu deras didalam kamar kecil.
            Aku tak membiarkan tangisan itu menggema. Aku benar-benar hilang. Aku tak tahu apa yang akan kulakukan. Aku tak dapat lagi mengekspresikan perasaan dan keadaanku. Lelah rasanya jika aku tetap bertahan pada seseorang yang tak pernah mengerti aku sedikitpun. Lelah rasanya jika aku tetap bertahan untuk seseorang yang tak ingin berjuang bersamaku. Lelaahh… Perasaanku tak dapat berubah. Keyakinan yang sejak dulu ada pada diriku, hingga kini masih terikat benar dalam hatiku. Layaknya langit yang menjanjikan tetes hujan, namun mentari kembali datang. Dimana janjimu dahulu kala? Itu yang membuatku yakin. Sungguh, sakit. Ya Tuhan, aku tahu kau selalu memberiku kesabaran yang lebih dari mereka yang tak mengerti akan artinya kesabaran. Menahan, menahan, dan menahan. Jika bukan karena keyakinanku, sudah kubunuh Adam agar tak ada siapapun yang menganggunya selain aku.
            Aku kembali kedalam kelas setelah aku merasa lega dan nyaman. Sapaan indah yang biasa Adam sajikan padaku, tak lagi kudengar beberapa hari ini. Beberapa kawanku sempat bertanya dengan perubahan diwajahku. Akhir-akhir ini, aku memang lebih sering memasang wajah Fake. Apalagi, tatkala aku melihat moment istimewa Adam dengan Farah. Ya, aku memasanga wajah berpura-pura. Berpura-pura bahagia diatas kebahagiaan orang yang kusayang. Baiklah, itu adalah segelintir perjuanganku. Bagaimana denganmu Farah? Apa perjuanganmu? Menemaninya bersanding menapakki jalan? Hanya itu? Aku takkan rela.
“Qhey, apakah kau ingat dengan tugas resensi? Bagaimana dengan tugas resensiku?”
“Lalu?” Aku memperlihatkan rasa cuekku padanya.

            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar