“Hey,
Qheyla. Ada apa?” Zalfa membalas sapaanku. Tapi, kenapa tiba-tiba wajah Adam
menjadi bete? Menjadi kusut. Apa mereka sedang membicarakan masalah? Atau,
karena aku? Karena aku mengganggu perbincangan mereka.
“Zalfa,
maaf ya sudah ganggu.” Aku segera berlari meninggalkan mereka. Ini hal konyol. Ada
apa dengan ku? Tiba-tiba lari. Ya, ada sisi perasaanku yang tidak ingin
mengacaukan perbicangan mereka.
***
Istirahat jam pertama setelah
pelajaran Matematika yang membuatku frustasi. Aku memang tak begitu suka
pelajaran semacam ini. Tidak seperti istirahat biasanya, kali ini aku sendirian. Aku
hanya duduk di pinggir lapangan. Biasanya aku dan Faqih bersatu. Aku dan Faqih
sangat dekat sampai-sampai, kami di tegaskan untuk berjauhan dan menjaraki
pertemanan oleh salah seorang guru kami.
“Qhey!
Kenapa tadi pergi begitu aja?” Zalfa mendatangiku dan mengisi bangku yang
kosong di sebelahku.
“Ah,
enggak, Fa. Tadi aku hanya sekedar menyapamu, kebetulan aja tadi lewat.” Aku segera
mencari alasan. “Oh iya, kamu sama Adam deket banget ya.” Kalimat itu tiba-tiba
melayang begitu saja dari mulutku yang berhenti dari kunyahan Chiki. Astaga,
pertanyaan macam apa ini? Ah, memalukan.
“Adam?
Hmm… Enggak juga sih. Cuma… Cuma temen biasa, Qhey.” Seperti ragu Zalfa
menjawab pertanyaan konyol dariku. Aku melihat ada sesuatu dalam dirinya. Seperti
menyembunyikan sesuatu. Ah, sudahlah. Kami pun mengakhiri perbincangan dengan
jadwal pelajaran saat itu. Kami dan semua murid meninggalkan lapangan.
***
Setengah semester hampir habis. Aku mulai
dekat dan terbiasa dengan teman baruku. Begitu juga, hubunganku dengan lelaki
misterius itu, Adam. Kita dekat, sangat dekat. Tak seperti dahulu. Saling diam,
padahal aku sangat ingin sekali akrab dengannya.
Aku mengikuti organisasi OSIS di
sekolahku. Aku tak sendiri, Faqih, Adam, dan juga Zalfa pun mengikuti OSIS. Aku
sudah menganggap mereka sahabatku, bahkan saudara. Karena kegiatan OSIS kami
sangat padat, kami jadi sering pergi bersama. Kami saling berbagi pengalaman,
berbagi kebahagiaan, berbagi makanan juga tentunya. Bahkan, Faqih sering curhat
pada kami. Maklum saja, dia termasuk lelaki yang polos.
Faqih, lebih sering curhat padaku. Ia
sedang mengincar wanita kelas sebelah. Fanny. Wanita kelas sebelah yang
menggunakan tas ungu, mungil, dan manis. Fanny satu kelas dengan Adam. Sehingga,
mudah bagi kami untuk menyatukan mereka. Faqih sering bercerita tentang Fanny. Terutama,
alasan ia ingin menggebetnya. “Aku usahkan, kok. Tenang aja, Qih.” Aku berusaha
menjanjikan sesuatu. Hingga pada akhirnya, Faqih memberanikan diri untuk
menyatakan perasaannya pada Fanny.
“Makasih
ya, Qhey. Kalau ga ada kamu juga ga akan kayak begini. Makasih banyak, Qhey.” Mereka
bersatu. Faqih bahagia, aku pun bahagia. Siapa yang tidak bahagia melihat
temannya bahagia?
***
Semakin kami dekat, kami semakin
tahu sifat kami satu sama lain. Sikap Adam kepada Zalfa. Ya, aku melihat itu.
aku merasa ada sesuatu yang aneh. Lelaki yang ku pikir cuek, ternyata tidak
cuek. Terutama kepada si mancung, Zalfa. Ada apa dengan mereka?
“Qhey…”
Ada seseorang memanggilku.
“Pengen
ada quality time berdua sama kamu
nih, Qhey.” Ternyata Adam yang memanggilku.
“Ayolah…
Kapan? Atur waktu aja, Dam.” Aku menyetujui sarannya.
“Pengennya
sih secepatnya. Abis, kayaknya enak ngombrol sama kamu.” Entah apa alasannya. Mengapa
aku? Bukan Zalfa? Selama ini, aku melihat ia selalu bersama Zalfa. Aku harap,
tak ada hal buruk yang terjadi.