Melamun.
Menangis. Tertawa. Melamun. Menangis. Itu sudah menjadi tradisiku ketika aku
dihadapkan dengan yang katanya masalah cinta. Bukan aku menangisi orangnya,
tapi apa yang sudah terjadi. Masih terlihat jelas awal pertemuan aku dan Akbar.
Sikapnya memang berubah-ubah. Kadang manis, kadang pahit. Tapi, kalau ini
akhirnya aku memilih Akbar yang bersikap pahit. Biar saja aku tidak bisa
memiliki senyumnya apalagi membuatnya tersenyum, yang penting aku masih bisa
menikmati senyumnya dalam waktu yang lama.
Saat ini? Benar
memang, sesuatu yang bersinar pasti akan redup juga. Hampir hari-hariku diisi
oleh Akbar. Dulu. Sekarang, aku seorang diri. Tidak ada yang mengajak makan
siang, mengantar pulang, apalagi yang selalu mengucapkan ‘selamat malam Naya
cantik’. Loh, Nay? Memang sebelum Akbar datang bagaimana? Tidak ada yang
mengajak makan pun aku masih bisa hidup. Ini semua hanya tentang waktu.
“Naya! Apa kabar?” Dan... Itu Akbar, setelah berbulan-bulan
pergi tanpa meninggalkan pesan singkat.
“Eh, Bar. Hehe baik, lo?” Sebenarnya, ini adalah embel-embel
klasik Akbar jika kami dipertemukan kembali setelah terpisahkan oleh tebing
yang tinggi.
“Lama ya, gak ketemu, Nay.”
Klasik sudah
semuanya, Bar. Bertanya kabar, sadar sudah lama tak bertemu, sebentar lagi
Akbar pasti mengajakku pulang bersama dan mengucapkan ‘selamat malam Naya
cantik’. Entah aku harus meludah atau menelan kalimat manis itu (lagi)
sampai dia meninggalkan aku (lagi). Ya sudahlah, itu semua haknya. Aku bukan
siapa-siapanya yang berhak untuk ditemaninya.
Jika
dipikir-pikir, perasaanku kepadanya ini sudah semakin yakin bahwa aku harus
melepasnya. Berat. Aku sudah terlanjur basah, tapi aku tidak bisa tenggelam.
Aku seperti ingin melepas, tapi dia datang dan hatiku masih berharap dia terus
bersamaku tanpa sebuah ikatan. Halah! Bodoh Kanaya. Bukankah aku sendiri yang
berkata dia bisa melepasku? Ya sudah!
“Nay, gue anter pulang, Yuk. Udah lama banget gak pulang
bareng. Gue kangen duduk di ayunan depan rumah lo.”
Di depan
rumahku memang terdapat sebuah taman dengan sepasang ayunan. Jika belum terlalu
gelap, aku dan Akbar sering duduk berdua di taman itu. Mungkin, rumput dan
pasir menjadi saksi bisu malam yang kami lewati bersama. Dulu.
“Kangen? Emang sering ya. Hahaha...”
“Wah, lo sengaja lupa atau menolak untuk ingat?”
“Lagian, ya udah lama juga.”
“Jam dari gue masih lo pakai?”
Jam tangan. Aku
sengaja tidak memakainya untuk saat ini. Berlebihan, iya memang aku berlebihan.
Aku tidak ingin lihat semua hal yang berkaitan dengan sesuatu yang pernah aku
lewati yang membuatku sakit. Itu semua hanya membuatku terlihat lemah.
“Masih kok, Bar. Hehe,”
“Mana? Tapi, jam lain yang lo pakai. Apa udah rusak?
Dirusakkin?”
“Yakali gue rusakin, Bar.”
“Terus? Apa udah gamau dipake ya? Gara-gara gue juga udah
mulai ilang?”
“Lah, ngaco kan.”
“Sorry, Nay. Bukannya gue mau menjauh atau lepasin lo. Tapi,
kemarin gue emang lagi bingung aja. Lagi berantakan. Gue ngerasa, buat apa gue
bertahan kalau lo aja belom tentu mempertahankan perasaan lo ke gue.” Padahal,
dia sendiri yang memutuskan tetap bertahan walau tanpa sebuah kepastian.
Bagaimana aku tidak menagih keputusannya.
Aku diam. Aku
selalu tak tahu harus menjawab apa. Aku ingin Akbar hanya untukku, tapi aku tak
memberinya kepastian. Sungguh aku merasa menyesal pernah memberikan dua
pilihan. Tapi semuanya sudah terlanjur. Aku merasa bahwa Akbar akan terus
bersmaku meski tanpa sebuah ikatan. Tapi aku juga tidak yakin bahwa ia kuat
bertahan yang kita sama-sama tidak tahu sampai kapan dan bagaiamana akhirnya.
“Hmmm... Gue juga gak ngerti harus jawab apa, Bar. Haha...”
“Lo mau mundur kan, Nay?”
“Lo nanya gue? Mungkin lo yang merasa bahwa lo udah gak kuat
dan mau lepas. Gak papa, Bar lepas aja. Gimana gue tanggungan gue, kok.”
“Enggak juga, sih. Gue gak mau lepas, tapi yakin tanpa ikatan
bakalan baik-baik aja? Kalau lo tiba-tiba jadi milik orang lain? Atau justru
gue?”
“Kan gue udah bilang. Gue gak mau punya ikatan sama siapapun,
Bar. Farhan sekalipun, yang kapasitas bareng gue lebih besar dari lo, Bar.”
“Ya, kita gak akan pernah tau kan, Nay. Gue pun begitu. Gue
cuma takut aja diantara kita ada yang...”
“Yaudah. Lepasin gue aja. Gue gak kenapa-kenapa. Kalaupun lo
takut gue kenapa-kenapa karena perasaan gue yang udah lo terlanjurin jatuh hati
gini, bukan urusan lo dan gak akan merubah apapun. Im okay. Gue juga pernah
bilang kan, gue gak bisa menahan seseorang yang hatinya buat gue, tapi gue gak
pernah memberikan kepastian. Lo berhak lepas.” Aku menghentikan kalimat Akbar
yang membuatku sesak.
***
“Nay, gimana lo sama Akbar?” Ya, Farhan. Dia adalah temanku. Teman
yang selalu bersamaku sebelum aku mengenal Akbar hingga saat ini. Ia tahu apa
yang terjadi diantara kami. Sejak pertemuan waktu itu, hingga ketidakjelasan
antara kami.
“Hmm... Kayaknya dia mau lepas deh, Han. Ya, wajarlah dia
mundur, toh gue gak akan kasih kepastian sampai kapanpun.”
“Rela dia sama yang lain?”
“Ya, udahlah, Han. Gue siapa? Gue gak bisa nahan dia buat gak
punya ikatan sama orang lain. Kalau gue tahan, gue jahatlah...”
“Yaudah, sih. Itu keputusan lo berdua. Ntah apa akhirnya
nanti, gue pun gak tau.”
“Dia berhak mencari dan singgah di sarang terbaiknya. Begitu
juga gue, gue berhak untuk berdiri tegak pada pendirian gue, tanpa goyah.”
“Gak yakin sih gue, lo ikhlas ngomong gitu.”
“Ya, gimana, Han. Toh kenyataannya gitu. Ikhlas gak ikhlas gue
harus berusaha. Mengikhlaskan dia tuh ibarat baca surat Al-Ikhas, yang gak ada
kata ikhlas didalamya. Hahaha...”
“Yeuh, fake. Sok-sok ketawa.”
“Ya buat apa gue sedih dan nangis-nangis kalo gue masih kuat
buat pura-pura bahagia. Hahaha...”
“Dasar Kanaya, gak berubah ya.”
Farhan. Dia
adalah temanku yang mungkin paling mengerti. Ia tahu apa yang sedang terjadi
diantara aku dan Akbar. Dia mengenal Akbar saat pertama kali aku bertemu dengan
Akbar, ia yang menemaniku. Dia juga selalu mengantarku pulang ketika aku sedang
tidak menghabiskan waktu bersama Akbar. Jika aku boleh jujur, Akbar atau
Farhan? Jelas aku memilih Farhan. Karena dialah yang selalu bersamaku, selalu.
Tapi, hatiku memilih Akbar meskipun aku tidak bisa menjanjikannya. Perempuan mana
yang tidak terbawa perasaan ketika ada lelaki yang selalu ada disaat kita
senang ataupun sedih, yang selalu memberi solusi saat kita sedang sulit, dan
jelas membuat nyaman dalam setiap sikapnya.
“Nay gue mau kasih tau deh. Tapi jangan marah.”
“Apa? Ya enggaklah. Sejak kapan gue bisa marah sama pembalap
liar? Hahah.”
“Hmm, Akbar tuh lagi deket sama perempuan. Anak seni musik.”
“Oh iya? Serius??”
“Hmmm... Gak tau sih, sejauh apa. Tapi udah dua kali gue
ketemu mereka dan saat hubungan kalian masih seperti ini. Oh iya, lo inget kan?
Pas lo dianterin pulang habis kuliah? Langsung banget dianterin pulang itu,
loh. Yang dia gak ngajak lo makan seperti biasanya dulu. Yang malemnya lo
langsung freecall gue, Nay terus lo bilang semua udah beda.”
“Iya, gue inget. Nah, itu awal mula kecurigaan gue dia akan
mundur, Han. Tapi, gue mikir positif ajalah. Gak pantes juge gue suudzonin dia.”
“Ya itu! Dia ketemu anak seni musik itu. Gue lupa namanya,
kalo gak salah Kania apa siapa gitu. Yaelah, Nay. Masih aja sih.”
“Ya... Yaudalah ya. Biarin aja. Mau nangis, gak pates gue
nangisin. Mau marah ke Akbar, apalagi. Gue siapa sih, Han.”
“Yaudalah, Nay. Dia nyerah ngejar lo. Wajar sih kalo kata gue
juga. Sekarang gimana lo menjalankan kehidupan lo yang sudah lo prediksi
sebelumnya yang lo bilang gue gak papa kok lo lepas.”
Secepat itu ya,
Bar. Mendengar berita itu saja sakit. Apa ini pertanda rasaku padanya semakin
dalam? Ah! Tidak, Nay. Sadarlah!
***
22 Mei. Hari
ini aku ingat. Hari yang selalu kutunggu dibulan Mei. Dimana aku akan mengucap
syukurku yang tak terhingga pada-Nya. Duapuluh tahun sudah aku hidup dan
berusaha untuk bermanfaat bagi banyak orang. Terimakasih Tuhan, sudah beriku
ribuan kesempatan untuk terus perbaiki diri dan bersyukur.
Aku ingat, hari
ini juga hari yang ditunggu Akbar. Bar, selamat ulang tahun. Seandainya kita
ingat bagaimana kita saat melihat dunia bersama. Aku tak yakin ibumu dan ibuku
berjanjian untuk mempertemukan kami hingga saat ini. Apa Akbar ingat satu hal
di bulan Mei ini? Hari ini adalah hari itu, Bar. Aku sempat bertanya, akankah
kita tetap bersama?
“Akbar Syahada, selamat ulang tahun!”
“Kanaya Faradisha, selamat ulang tahun!”
“Today is our birthday!!!!!” Teriak Akbar di taman
tempat kami sering bertemu.
“Selamat ya, Bar. Semoga apa yang disemogakan bisa terwujud.
Amiin.”
“Kembali, Nay. Oh iya, gue sengaja ngajak ketemu lo disini.
Gue mau kasih tau dunia, kalo kita bisa lihat dunia bareng lagi. Oh iya, Nay.
Gue mau ngomong sesuatu.”
“Apa, Bar?” Dag dig dung... Sepertinya aku tahu.
“Hmmm... Kalo gue nyerah, lo bakal gimana ke gue?”
“Kan gue udah bilang, lo maju gue maju. Lo mundur, gue
berusaha, Bar. Ini semua tentang keterlanjuran yang udah gue buat.”
“Hmmm... Lo orang baik, pasti akan dapet yang baik juga kok,
Nay. Sepertinya gue memang orang yang memantaskan diri untuk lo, tapi tetap gak
pantes.”
Untuk pertama
kalinya, Akbar meninggalkanku untuk kepentingan lain. Dia menyuruhku pulang
terlebih dahulu karena ia akan pulang larut malam. Tapi, aku sedang tidak ingin
pulang. Ia yang pulang lebih dulu karena ia ingin bertemu dengan seseorang.
Akbar
meninggalkanku di sudut taman sendiri. Itu adalah kali pertama ia rela dan tega
meninggalkanku. Aku memperhatikannya hingga hanya tersisa bayang tubuhnya.
Melalui koridor kampus ia berjalan dan kembali terlihat kala ia memutar balik
arahnya. Kania, mahasiswi seni musik itu. Rambutnya digerai hitam pekat, dengan
balutan long cardi berwarna navy, juga flatshoes yang
berwarna senada, bersanding sejajar dengan Akbar menyusuri koridor kampus. Aku
tetap memperhatikannya hingga pundak mereka tak terlihat.
Entah apa
hubungan mereka, tapi aku tak perlu tahu. Itu biar menjadi urusannya. Jika aku
bertanya dan menggali lebih dalam, aku justru khawatir Akbar semakin menabung
pundi-pundi harapannya akan sebuah ikatan bersamaku.
Apa itu sebuah
sinyal pamit? Belum tentu? Tapi aku merasa ini adalah sinyal bahwa ia akan
pamit dari perasaannya padaku. Ini pertanda aku, harus berusaha menerima
kepamitannya. Bukan karena aku ingin, tapi harus. Aku ingin tetap bertahan,
tapi untuk apa jika hanya membuat dia menderita.
Bukankah Akbar
bilang, ia akan bertahan? Dia akan menjaga hatiku seperti aku menjaga jam
tangan dan hatinya. Bunganya juga terlihat layu. Dia yang memberi keputusan
untuk bertahan, justru ia duluan yang menyerah. Aku menyesal dengan pertemuan
malam itu. Pertemuan yang menyeramkan. Apa yang kurasa benar akan terjadi. Ia
tak akan mampu menahan perasaannya tanpa sebuah ikatan meskipun aku berusaha
untuk mempertahankan dia untuk tidak pergi. Tapi semua itu wajar karena aku
yang menolak status, bukan perasaan.
***
Mei masih
enggan berakhir. Tapi sepertinya, aku memang harus mengakhiri kisahku di bulan
Mei. Bulan ini terlihat sering sekali turun hujan. Hujannya kerap kali mereda
untuk menderas. Tapi kamu justru berhenti untuk berpamitan.
Bukan aku
memintamu untuk pergi secara perlahan, tapi bertahan dan percayalah jika kita
teman yang mungkin akan bersama dan tak saling pergi. Mungkin Akbar merasa, aku
biasa saja dengan kepergiannya. Biarlah rasa dan kesedihanku menjadi deritaku.
Kau tak peru tahu. Biar saja aku yang menanggungnya. Selamat ulang tahun ya,
Bar. Bersama Kania adalah suatu kebahagiaan untukmu di bulan Mei. Dan biarkan
aku berusaha untuk tidak membenci Mei. Terimakasih, Bar.
-End-
Inspired by: Meijikuhibinui ft. NKnF
Pesan singkat,
Selamat
malam brightness layar laptop, selamat malam tetesan air ac, selamat malam
pembaca alittleimagine, selamat malam dia dan kamu. Kali ini beda, biasanya
kalo cerita sama sahabat-sahabat cuma sekedar direspon dengan solusi. Gak
sedikit juga tanpa solusi. But its ok. Sekarang cerita gue ini bersama
manusia-manusia special dimasukkan kederetan cerita keren lainnya dalam
alittleimagine. Seneng haru, mau promosiin juga di Instagram tapi takut si
manusia-manusia special itu mampir dan meluangkan waktunya untuk “aku pamit”,
walaupun mereka memang sudah pamit.
Gue
NKnF, pemberi sedikit inspirasi dan adegan dalam cerita ini. Adegan? Bukan, ini
bukan sinetron yang lebay dan gak ada ujungnya. Blog yang bikin gue seneng
karna kisah gue di dalamnya. Bikin gue sedih juga, karna kisah gue, dengan dia,
dengan kamu juga yang akhirnya tidak sesuai dengan apa yang pernah gue bayangin.
Terlalu banyak membayangkan, terlalu banyak mengharapkan akan sangat terasa
kecewa kalo gak sesuai. Ya… ini yang sedang gue rasakan. “Kecewa boleh,
bersedih-sedih boleh, itu sangat wajar. Tapi jangan berlarut-larut terdiam pada
kesedihan”, beberapa rangkaian kata yang gak jarang juga bunda gue berikan
kepada anak gadis nya ini. Oke bun.
Terakhir
gue mau ucapin terima kasih untuk jari-jemari alittleimagine yang sudah
menyelesaikan kisah gue sampe akhir, akhir yang sementara. Yang sudah
menyelesaikan kisah gue bersama tugas-tugas kampus yang bikin istighfar hehe. Terima
kasih juga udah sedikit memodifikasi cerita didalamnya. Last but not least
untuk si manusia-manusia special yang sudah membentuk sebuah kenangan terhebat.
Kenangan yang bisa gue ceritakan dalam sebuah blog milik alittleimagine ini.
“Kita
sama-sama punya masalalu, tempatkan masalalu di tempat yang berbeda dengan yang
kita jalani saat ini, dan kemudian”
Sebelah
kanan kasur, Mei 2017
NKnF
Hatur
nuhun.