Telah
kukuatkan seluruh jiwa dan ragaku kala melihat mereka bersanding bersama
disepanjang lantai Mall. Aku ada
disana bahkan, disamping mereka. Adam tak seperti biasanya. Justru biasanya, ia
mengkhawatirkanku tersenggol oleh lelaki lain. Tak ingatkah ketika hari-hari
indah dan mengejutkan itu hadir dalam hidupku? Aku tak dapat menghapuskan
memori itu dalam ingatanku. Kejadian itu masih tersimpan sangat pekat di otakku.
Namun, saat ini? Aku selalu berusaha membuat lekukan indah dibibir mungil ku
ini kala pecahan kaca itu menusukku. Aku sadar, aku tak pantas menyalahkan
Farah. Tapi, sungguh. Aku tak dapat menyembunyikan kebencianku terhadapnya. Tak
ingatkah bagaimana dukunganmu agar aku menjadi kekasih Adam? Isi hatiku yang
selalu kucurahkan padamu? Mungkin aku egois jika aku membenci Farah. Namun
kenyataannya? Seolah-olah semua ini permainan yang tak kukenali jenisnya.
Baiklah, aku tak ingin melempar dadu. Semoga baik-baik saja.
***
“Qhey,
aku sedikit melihat kejanggalan dibalik mata mereka.”
“Mereka?
Siapa maksudmu?”
“Ah,
tidak. Jangan dipikirkan. Bukan hal yang penting bagimu.”
“Aku
juga merasakannya, Mel. Aku tak tahu apa yang sedang mereka pikirkan. Hmm…
Apakah aku harus menyesali ini?” Aku mulai tenggelam dalam nasihat Meli yang
selalu berbobot.
“Apa
ada sesuatu yang mereka sembunyikan, ya? Sudah, itu bukan urusanmu, Qhey. Tak
penting.” Meli mulai tak menyukai konflikku dengan Adam.
Tuhan memang adil. Aku hanya ingin
tahu, apakah ada seorang yang telah lama kupercaya, tiba-tiba mengkhianatiku?
Aku tak ingin banyak hal. Apalagi, untuk menjarak hubungan mereka. Itu bukan
hakku. Aku mengerti, sangat mengerti. Semuanya sudah kurasakan dari awal. Sejak
pertama kami manginjakkan kaki kami dikelas dua. Tidak, tidak, dan tidak. Hanya
itu yang terbang dari bibir mungil Farah. Begitu banyak deret pertanyaan yang
kulontarkan tentang Adam. Sangat singkat jawabnya. Aku tak meminta siapapun
untuk memata-matai mereka. Aku juga tak menyewa detektif handal dari luar
negeri. Namun, ada saja yang memberitahuku, apapun itu. Entah, keadaan, waktu,
orang, bahkan tempat sekalipun.
Seperti yang kukatakan. Semua
kalimat sanggahan Farah tentang Adam, sudah basi. Bahkan, tak layak dikatakan.
Semua sudah terkuak. Tak ada maksud menuduhnya. Memang pada kenyataannya, Farah
yang merubah Adam. Sampai hal yang tak kuduga terjadi pada Adam. Akhir-akhir ini,
ia sangat sering melalaikan tugasnya. Bahkan, ia melalaikan aku. Adam telah
melupakan janjinya untukku demi Farah.
“Adam…”
Kutebarkan senyuman dalam gema sapaanku untuknya. Sebenarnya, aku sedang
merasakan abstraknya kanfas yang kusam. Aku tak ingin membiarkan air mataku
jatuh terlalu deras, karena ia tak membalas sapaanku. Itu benar-benar sakit. Ia
melanjutkan guraunya bersama kawannya. Ada Faqih disana. Ia menyipitkan matanya
yang seolah bertanya ‘ada apa denganmu dan Adam?’ Aku sangat memaksakan lekukan
indah dibibirku ini terbentuk. Mataku sudah berkaca-kaca yang bisa saja
kupecahkan saat itu juga. Namun, aku sempat mengingat perkataan Adam. ia tak
menginginkan aku menjatuhkan air mataku karenanya. Tapi, kau sendiri yang
membuatnya, Dam.
“Qhey,
ada apa dengan Adam?”
“Entahlah.
Aku tak mengerti apa salahku.”
“Aku
khawatir.” Faqih ternyata memang jatuh terlalu jauh untuk memperhatikan Adam.
“Khawatir?”
“Aku
sempat melihat Adam menggenggam ponselnnya . Waktu itu, aku tak sengaja melirik
ke arah layar ponselnya. Ia sedang membalas pesan dari Farah.” Aku benar-benar
membiarkan butiran indah itu jatuh dipundak Faqih. Sejujurnya, aku tak enak
dengan Fitri yang saat ini masih menjadi kekasih Faqih. Namun, apa yang bisa
kuperbuat? Kepalaku benar-benar jatuh dipundak Faqih. Kali ini bukan Adam, tapi
Faqih. Ia sangatlah sahabat terbaikku. Apapun keadaanku, ia selalu ada untukku.
Butiran indah itu membasahi seragam putih yang dikenakan Faqih kala itu.
***
Rrrr… Pagi ini mataku terlihat
membengkak seperti seekor panda yang menghabiskan malamnya dengan tetsan air
mata. Jika Adam tahu ini karenanya, ia pasti akan memarahiku, bahkan mungkin
mencacimakiku.
“Matamu
seperti panda. Kau kurang tidur? Tunggu, ini terlihat bengkak. Kau menangis
semalaman?”