Aku
melihat Farah di Musholla. Sepertinya, aku mengenali rambut dan rompi itu.
“Itu
bukannya Adam?” Sontak aku mengedipkan mataku yang sempat tak berkedip.
“Iya,
itu Adam. Lihat, itu… Farah.” Jelas bukan hal yang mengagetkanku. Ini sudah tertebak.
Sedari tadi, Adam meninggalkanku dan ia menapakki lantai Mall bersama temanku, Farah.
“Qhey,
aku mau siapin meja buat kita makan nanti, ya. Aku dan Nara duluan kesana ya.
Restaurant Ramen, ya.” Farah dan Nara menawarkan kami.
“Baiklah,
nanti berikan aku kabar.” Farah dan Nara bergegas pergi untuk membooking meja.
Jujur, sebenarnya aku sedikit kesal dengan
Farah. Entah apa yang ada dipikirannya. Dia mengetahui perjuanganku untuk Adam.
Tapi… Aku belum mendapat kalimat yang tepat untuknya. Rasanya banyak sekali
tetes air mata yang kusembunyikan. Baiklah, aku menyandarkan tubuhku dibangku
restaurant. Kami semua sudah berkumpul bersama. Tunggu, dimana Adam? Kali ini
Adam tak menghilang bersama Farah. Justru, ia menghilang bersama kawan
terbaiknya. Ia kembali pulang lebih dulu? Tidak mungkin. Ia tak pernah
membiarkanku tanpanya.
Aku segera bangkit dari kenyamananku di
bangku restaurant. Aku khawatir dengan Adam. “Sebentar, ya. Aku mau ke toilet.”
Aku sempat berpikir untuk alasan yang lebih logis. Tapi, nihil. Aku hanya bisa
melontarkan kalimat itu. Dengan sigap, aku pergi untuk mencari Adam. Kala itu,
Farah juga pamit untuk pergi keluar bersama Naza. Kulangkahkan kakiku disetiap
sudut Mall. Aku sama sekali tak
melihat batang hidungnya. Hentakkan kakiku juga terdengar. Bahkan, kehawatiran
diwajahku.
Pecuma, tak kudapatkan ia kembali. Entah
kemana makhluk itu perginya. Aku menyerah mencarinya. Mengapa tak mengirim
pesang singkat? Sudah banyak pesan singkat yang kukirim. Tak ada satu pun yang
dibalasnnya. Langkah kakiku sampai kembali didepan restaurant ramen. Adam telah
bersantai disamping Meli. Ah, sungguh kejam. Tapi, Farah telah kembali. Apa
yang mereka rencanakan dibelakangku? Sungguh tak habis pikir. Apa mereka
menghentakkan kaki bersama kembali?
“Kau,
mengkawatirkanku saja!” Suara pelan itu tak kubiarkan menggema seperti biasa.
Aku hanya menyenggol lengannya. Jika biasanya aku menyubitnya, aku takkan
melakukannya dihadapan Farah. Tak seperti biasanya, kali ini Adam hanya
melontarkan ekspresi sinis kepadaku. Ada apa dengannya? Apa yang membuatnya
kembali layaknya ia tengah mengincar Zalfa? Apa ia bosan denganku? Apa ia
sedang mengincar yang lain? Farah? Ah, tidak mungkin. Farah teman baikku. Ia
tak mungkin setega itu.
Ingin rasanya aku menjerit, menangis,
dan berontak ketika melihatmu mengambil gambar bersama Farah dihadapanku.
Memang aku bukan siapa-siapamu. Menjadi orang penting dalam hidupmu juga belum.
Tapi, sudah banyak yang kuperjuangkan untuk mu, Dam. Tidak dengan Farah.
Seolah-olah aku yang berjuang untuk kebahagiaan mu dan Farah. Aku semakin
diuji. Bukankah aku telah berjanji padamu jika aku takkan meninggalkanmu? Aku
akan menepatinya. Ku eratkan sabuk pengaman yang belum lama kulepaskan. Aku
melihat ada kebohongan dalam diri mereka. Ya, aku tertawa dibalik penderitaanku
sendiri, demi kebahagiaan orang lain. Meski aku membohongi diriku sendiri.
***
Lelah. Hanya itu yang dapat
mendeskripsikan keadaanku. Lelah fisik, bahkan lelah hati. Itu semua terasa
kencang setelah aku menghabiskan setengah hariku bersama kawan baruku. Entah
mengapa, ketika aku ingin membangkitkan tubuhku yang sedang bermanja ini , ada
sesuatu yang membuat perasaanku berantakan. Baiklah, mengingat kejadian
kemarin. Jujur saja, aku merasakan perubahan besar dalam diri Adam, hampir
seratus persen. Mungkin itu yang membuat perasaanku tak karuan. Ia tak peduli
denganku. Entah apa yang terjadi dengannya. Aku juga bertanya padaa diriku
sendiri ‘apa salahku?’. Bahkan, keindahan
yang dulu sempat kumilikki tak lagi kurasakan. Semua yang membuat dirinya
tampak lebih sempurna tak pernah lagi kurasakan.
Bagaimana jika Adam menyimpan rasa
kepada Farah? Bagaimana jika Farah memiliki perasaan yang sama? Mengapa
pertanyaan itu menghantuiku. Tak mungkin jika Farah melakukannya. Tega sekali
dia. Jelas-jelas dia belum mampu melupakan kekasihnya yang baru saja mengakhiri
hubungannya. Tapi, ia benar-benar telah mengambil posisiku. Bahkan, saat di Mall. Mereka bersanding bersama
dihadapanku. Adam terlihat tak lagi memikirkan perasaanku. Berbeda kala wanita
junior berkawat gigi yang menyukainya, Adam mengingatkan akan janjinya
kepadaku. Farah? Ia biasa saja. Tak ada beban dalam mimic wajahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar