This is about love. Just read! Michiko story..
Keasingan hidupku tentang cinta, membuat
aku merasa tidak nyaman berada diantara atom-atom cinta itu. Asing. Benar-benar
asing. Cerita orang akan indahnya cinta sering ku dengar. Bercerita tentang
berbagi kasih bersama. Bercerita tentang dia yang dicintai. Bercerita tentang
kenikmatan. Padahal itu hanya sesaat. Aku tau rasanya. “bohong! Kamu kan ga pernah berada diantara cinta!”. Iya, itu
kalimat yang benar. Aku tidak pernah berada diantara mereka. Tapi, aku tau
rasanya. Melayang-layang dimabuk cinta. Ya, aku setuju.
Kehidupan yang tenang bersama orang-orang
tersayang. Tak ada yang mengganggu. Begitu nikmat saat-saat bersama keluarga.
Tertawa bahagia tanpa ada beban diantara kami. Namun, semua itu terasa sangat
asing. Ketika, seseorang menghampiri hidupku. Ajakannya akan berbagi kasih
sayang dan janji yang diungkapkannya membuatku terpana dan melayani tawarannya.
Awal pertama ku jalani jembatan cinta itu sangat indah. Penuh gurau. Penuh
manja. Penuh janji. Disinilah aku tak mngerti arti ‘Janji’ sesungguhnya. Yang aku pelajari, janji adalah hal yang
harus dipenuhi. Dengan alasan apapun, janji itu hutang dan hutang harus
dibayar.
Begitu banyak kalimat manis yang ku dengar
lalu ku resapi dalam hati. Indah. Aku benar-benar tak berdaya akan keindahan
kalimat yang kudengar. Aku lupa dengan sekitar. Hanya ada aku dan dia. Manis
bukan? Aku benar-benar menikmati saat-saat itu. Dengan senyum dibibir, aku
lewati hari-hariku dengannya. Memang masih asing, tapi aku memaksa diriku untuk
terbiasa dengan keadaan ini. Aku di perdayakan oleh keadaan.
Tiada satupun yang mengganggu kami.
Nikmatnya hanya kami berdua yang merasa. Bahkan, perasaan asing itu sudah tak
berarti dan tak terasa dalam diriku. Sempat terpikir letak negatif itu. Sempat
terpikir yang negatif itu akan terjadi. Layaknya naskah yang dibuat sutradara.
Itu semua terjadi. Apa yang terpikirkan olehku terjadi tepat saat kami merasa
diawan bebas. Jika begini akhirnya, aku tidak akan pernah diajarkan cinta oleh
siapapun.
***
Ibarat anak kecil yang sedang tertimpa
musibah Tsunami. Betapa traumanya anak kecil itu akan kejadian yang ia alami.
Bukannya tak ingin bangkit. Namun, memang trauma itu masih menyelimuti anak
kecil itu. Ketika melihat air dengan ombak besarnya, ketakutan dan kepanikan
itu melandanya. Begitupun aku. Setelah dikenalkan dengan keadaan yang diawali
dengan manisnya dan diakhiri dengan pahitnya, enggan rasanya kembali pada
keadaan itu. Bukan aku tak ingin bangkit. Bukan aku tak ingin bersandar dibahu
yang lain. Tapi, aku takut. Takut akan terjadi hal yang sama. Bukan juga aku
menyamakan bahwa semua orang itu sama sifatnya. Tapi, aku masih belum berani
untuk melakukan hal yang dulu pernah ku lakukan. Tak ingin jatuh dikeadaan yang
sama. Bukannya aku masih ingat masalalu. Tapi, pahitnya masih terasa. Aku tak
ingin menambah pahitnya lebih banyak dan lebih dalam. Biarkan aku yang
memutuskan. Ini keputusanku. Hingga saat ini, pahit yang dahulu ku rasakan
memang benar masih terasa jelas adanya. Memang hingga saat ini, itulah yang aku rasakan. Bahkan, keasingan itu
kembali hadir padaku.
Beginilah hidupku yang tenang. Tanpa ada orang
yang lain. Hanya ada tawaku, keluargaku, dan temanku. Detik ini, aku masih
tidak ingin diajarkan cinta oleh siapapun. Pahamlah, bahwa aku memang masih berada
dalam masalalu yang kelam dan aku sedang menikmati hidupku saat ini.
-Michiko–