“Ada
apa denganmu ini? Kau terlihat cuek!” Aku memang tak pernah membiarkan wajahku
dan perhatianku terlihat cuek padanya. Ya, meskipun sedemikian yang ia perbuat
padaku. Jadi, wajar saja jika ia berontak tatkala menerima respon pahitku ini. “Tak
inginkah kau membantuku dalam membuat resensi? Kau tahu betul, kan,
kelemahanku?”
“Iya,
Dam.” Adam menebarkan semyum terimakasih padaku dan meninggalkanku sendiri. Jujur
saja, mengapa kala kau membutuhkanku, kau datang padaku? Farah tak dapat
membantumu? Ya, aku lebih paham kelemahanmu dibanding Farah. Bahkan,
kelemahanmu mendatangiku hanya ketika kau membutuhkanku. Aku menerimamu apa
adanya. Bahkan, dengan kelemahan-kelemahan yang kau miliki. Tapi, inikah yang
kau lakukan? Kala aku sudah menerima dan menutupi segala kekuranganmu dimata
banyak orang, kau pergi begitu saja dan datang bila kau butuh? Lagi-lagi aku
menerimanya dengan jeritan tangis yang tenggelam dalam batinku. Kau tak akan
tahu itu.
Jeritan itu semakin menjerit dalam
batinku. Setelah aku menerima permohonan Adam dan berpikir segala
kekurangannya, apa yang ia lakukan? Pandanganku tertuju pada mereka, Adam dan
Farah. Bola mataku focus pada suatu benda berbentuk kotak, berwarna merah
marun. Ya, kotak bekal. Tepat pada titik kefokusanku kotak bekal itu melayang
dari jemari Farah, lalu ditangkap oleh jemari Adam. Senyuman bahagia terumbar
dalam bibir manis mereka. ‘Mungkin mereka
tidak melihatmu, Qhey.’ Bagaimana mereka tidak melihatku? Aku tepat berada
diantara mereka. Farah tahu perjuanganku selama ini untuk Adam . Tapi, apa yang
ia lakukan?! Sungguh! Biarkan aku menjambak rambutnya yang terbalut kain putih.
Dukunganmu takkan ada artinya lagi.
Aku menghilang selama pelajaran
Sosiologi berlangsung. Aku berusaha menenangkan diriku setelah kejadian buruk
tadi. Sedu-sedan tangisku kembali tak beraturan. Aku tak berani kembali ke
dalam kelas. Ya, Tuhan… Apa yang harus kulakukan? Ribuan cara telah kutempuh. Melalui
ribuan airmataku yang mengalir, kubiarkan ini menjadi pelampiasan, karena aku
tak dapat lagi berkata apapun. Aku biarkan, mampu berapa banyak lagi tetesan
ini mengalir.
***
Hari ini waktunya kami untuk
mengumpulkan tugas resensi. Jika aku mengingat tugas ini, aku teringat Adam.
Syukur saja, aku telah membantunya menyelesaikan tugasnya. Aku mengerjakan
tugasnya disela-sela kesibukanku yang sangat sibuk.
“Tugas
siapa? Kau membuat dua? Terlalu rajin.” Aku terkejut kala mendengar Meli
bertanya sembari membolak-balikan kertas resensiku.
“Yang
satu, milik Adam.”
“Ha?
Adam?!” Aku melihat ekspresi Meli kala aku menjawab pertanyaannya. “Dia hanya
mendatangimu kala ia membutuhkanmu? Aku akan tertawa terbahak-bahak untukmu,
Qhey. Dimana pemikiranmu? Aku turut prihatin padamu.” Hanya senyum disertai
dengan genangan kelap-kelip dimataku. Meli sangat menunjukkan ketidaksukaannya
pada sikapku yang seolah-olah memanjakan Adam. Lalu? Salahkah aku bersikap
seperti itu? Biarkan aku melakukan apa yang membuat Adam bahagia. Aku turut
bahagia, jika bahagia itu datang dalam diri Adam. Meski, aku merasa sakit.
Aku menyodorkan kertas resensi
miliknya. Wajah bingung ia tunjukkan kala itu.
“Apa?”
Hanya memandangi kertas resensi yang telah kubuat.
“Apa
maksudmu? Kemarin kau menyuruhku membantu membuatkan tugas.” Ia langsung
memalingkan tubuhnya, dan mengambil selembar kertas yang ada dipangkuan Farah.
“Ini
punyaku. Mungkin itu punya yang lain.” Aku yang sedang tertawa bersama Meli,
tiba-tiba berhenti dan mengubah lekukan indah dibibirku ini menjadi lekukan
buruk. Tubuhku kaku, mataku membesar, ada genagan yang menggenang dalam mataku.
Betapa teganya Adam. Ia menyuruhku membantunya. Pengorbananku untuk membantunya
sama sekali tak ada artinya. Apa maksudmu?! Farah! Mengapa ia diam saja, tak
menjelaskan sesuatu kepadaku tentang ini? Sunggguh, kebencianku padanya mulai
membukit. Apa yang kau lakukan pada Adam? Kau menggunakan pelet agar Adam
mendekatimu dan menjauh dariku? Bahkan, membuatku menderita. Apakah ini salah
satu kelemahanmu yang aku tak pernah tahu dan kau menyuruhku untuk menutupinya
lagi, Dam?