“Qhey? Kok belum masuk kelas? Bukankah
kamu tadi berangkat bersama Adam?” Tiba-tiba Mella menepuk pundakku dan aku
tertangkap basah kalau aku berangkat sekolah bersama Adam.
“Mel, enggak kok. Tadi aku
berangkat sendiri. Ya, seperti biasa.”
“Kamu bohong lagi sama aku, Qhey?
Ku hitung-hitung kamu sudah banyak berdosa karena berbohong pada semua orang.”
“Aku sama sekali tidak berbohong,
Mell...” Aku tahu siapa Mella dan bagaimana sifatnya. Ia selalu berhasil
menemukan kebohongan pada diriku yang selama ini memang kulakukan agar orang
lain tidak iba tentang aku dan kehidupanku saat ini.
“Aku gak akan mau buka mulut
sebelum kamu jujur dari kebohongan yang sudah kamu perbuat pagi ini, Qhey.”
“Eh, Mell. Yuk, kita masuk kelas.
Tapi, kenapa kamu bisa diluar?”
“Aku habis menaruh handphone
di loker.” Mata Mella sangat tajam menatapku. Itu pertanda bahwa ia sedang
membuat aku berkata jujur. Karena, aku belum menceritakan kepada siapapun
tentang kejadian sepulang sekolah kemarin hingga kejadian pagi ini.
“Kenapa sih, Mell?”
“Aku yang bertanya. Kuat sampai
kapan, Qhey? Itu matamu sudah seperti berlian. Aku akan tetap menunggu.”
Aku
berhasil menyeretnya tanpa kalah. Mella berhasil masuk ke dalam kelas bersamaku
dan duduk tenang di sampingku. Seperti biasa, aku selalu bersikap seperti biasa
dan keadaan di kelas pun seperti biasa. Ya, Adam sedang bergurau dengan Farah. Pemandangan
yang indah sekali bukan? Bahkan aku tak melihat matahari bersinar cerah ceria.
“Masih kuat bungkamkah, Qheyla?”
Mella bertanya dengan nada menggoda. Sesungguhnya aku kesal dengan nada yang
disampaikannya. Tapi, ini memang caranya agar aku selalu mengungkapkan
kesedihanku.
“Mell, iya, memang tadi pagi aku
berangkat bersama Adam. Tapi, bagaimana kamu bisa tahu?”
Mella P.O.V
Seperti
biasa, aku selalu mengawali pagi hariku dengan berjalan menyusuri jalanan
komplekku yang panjang ini. Aku sangat menikmati setiap langkahku menuju
sekolah, karena aku sangat yakin, akan ada cerita menarik dari Qheyla. Ya,
teman sebangkuku, teman curhatku dan pengangguku. Aku mengenalnya baru dua
tahun dan semenjak kami kembali sekelas di tahun kedua aku duduk di bangku SMA,
ia semakin gencar bercerita banyak tentangnya. Qheyla seorang wanita yang
mandiri. Ia selalu ceria dan aku tak pernah melihatnya bersedih, tapi itu dulu
sebelum ia mengenal Adam lebih jauh.
Berbicara
tentang lika-liku kisah cinta Qheyla, aku sempat iri padanya. Mulai dari Faqih,
Rafa, Radifan, sampai Adam mampu ia gapai. Mungkin sebagian orang akan berpikir bahwa mereka semua adalah kekasih atau mantan kekasih Qheyla, faktanya mereka adalah lelaki beruntung yang berkesempatan dekat dengan Qheyla. Mereka merupakan barisan lelaki
populer di sekolah. Yaya.. siapa tidak kenal Faqih? Ketua OSIS, Rafa? Siswa berprestasi,
Radifan? Ketua tim futsal, dan Adam? Ketua tim basket. Dari sekian lelaki yang
sempat dekat dengannya, memang Adamlah yang paling rumit. Tapi jika
dibandingkan denganku, dialah perempuan yang beruntung dan memiliki banyak
pengalaman, meski penuh airmata. Tapi dialah sosok yang kuat.
Selama
dua tahun aku berteman dengan Qheyla, akulah yang selalu berhasil membuatnya
meluapkan isi hati dan air matanya. Pagi tersenyum, siang terbahak-bahak bersamaku,
dan sore tumpah sudah semuanya sendiri tanpa aku atau siapapun. Sudah banyak
yang mereka lalui, wajar saja jika semuanya berubah dengan seketika dan tanpa
sebab. Jika airmata Qheyla adalah mutiara seperti airmata duyung, mungkin aku
sudah menjadi orang terkaya karena airmatanya sudah bertumpuk dipundakku. Hari ini,
aku sedang berusaha untuk membuatnya meluapkan segalanya, karena aku tau apa
yang terjadi pagi ini.
“Zal, kalau nanti kamu tidak les
aku juga mungkin tidak akan jalan. Hahaha...” Satu lagi temanku, Zalfa yang
juga teman Qheyla. Aku pikir aku akan menghabiskan dua tahun terakhirku
bersamanya.
“Loh, kamu selalu saja begitu. Kenapa
sih memang? Tapi aku terus les kok, jadi kamu juga pasti berangkat. Hahaha.”
“Zal, kamu masih berhubungan baik
dengan Falah?”
“Alhamdulillah masih kok, Mell. Meskipun
aku pernah punya pengalaman buruk bersamanya, tapi aku pikir kita harus tetap
menjaga tali silaturahim.”
“Iya juga sih, Zal. Oh iya, tadi
saat aku sedang berjalan di Kafaza aku melihat Qheyla bersama seorang lelaki
bermotor. Apa itu sepupunya?”
“Hmmm... Aku tidak tahu persis
karena aku sampai lebih pagi dari kalian semua. Hahaha... Tapi, itu Adam
menurutku.”
“Adam? Sejak kapan ia membawa
motor, Fa?”
“Sejak kemarin, Mell. Ia memang
mulai membawa motor dan kemarin mereka sepertinya pulang bersama.”
“Kamu mengikutinya ya? Hahaha...
Apa masih menyimpan rasa, Fa?” Mereka juga memang sempat memiliki hubungan yang
khusus tapi kurasa semua sudah berakhir setelah Falah masuk di kehidupan Zalfa
dan kembali berakhir dengan tidak baik.
“Ya enggaklah, Mell. Adam yang menyukaiku,
tapi aku tentu tidak. Kemarin aku sempat melihat mereka saat aku sedang di
supermarket dekat rumah Qheyla. Aku yakin itu mereka.”
“Rumit, Fa. Sudahlah, masuk kelas,
yuk.”
“Yuk, Mell. Tapi sepertinya aku
ingin membeli gorengan. Lapaarr...”
Zalfa
sangat rajin membeli sarapan di sekolah dan sendirian. Ia memang seseorang yang
tidak begitu memikirkan perkataan orang oleh sebab itu dia selalu fun dimanapun
dia berada terlihat seperti tanpa beban.
“Mell, kok belum masuk kelas? Tadi
pamitnya ke kelas kan? Hahaha...” Ketika kami bertemu kami selalu tertawa entah
apa yang di tertawakan.
“Hahahaa... Iya belum masuk, tapi
tadi aku menaruh handphone di loker.”
“Ohiya, Qheyla ada di kantin,
Mell.”
“Benar dugaanku. Kalau tadi benar
Qheyla dan Adam pasti ada sesuatu sampai Qheyla tidak masuk kelas.”
Benar-benar
keras kepala. Qheyla masih saja bungkam. Aku memang sengaja tidak ingin memulai
pengetahuanku tentang kejadian pagi ini, aku memberinya kesempatan untuk
bercerita dari awal. Pertanyaan pertama, Qheyla masih kuat menahan. Pertanyaan kedua,
terlihat goyah.
“Masih kuat bungkamkah, Qheyla?”
Pertanyaan ketiga...
“Qhey. Iya, memang tadi pagi aku
berangkat bersama Adam. Tapi, bagaimana kamu bisa tau?”
Bersambung...