***
Sinar pagi ini membuat mataku
menyipit. Ah, aku lupa, aku pikir ini adalah hari sekolah dan aku telat bangun
pagi. Ternyata saat ku melirikkan mataku ke arah kalender, hari ini adalah hari
Minggu. Ingin rasanya ku rebahkan kembali tubuhku yang manja ini di atas kasur.
Astaga! Aku lupa. Aku memiliki janji dengan lelaki misterius, Adam. Aku tak
ingin mengecewakannya. Dia tak pernah merasakan quality time denganku. Faqih lebih sering merasakannya. Ya jelas
saja, aku dan Faqih sudah lama berteman. Bukan hal yang langka jika aku sering
bercengkrama dengannya. Adam? Tentu saja lebih sering bersama Zalfa.
Dimana Adam? Dia memutuskan pukul
delapan kami berjanjian. Nyatanya? Ia tak kunjung datang. Hhh… Aku lelah.
Sangat lelah. Apakah ia seperti siput? Atau dirantainya kakinya itu? Lama
sekali. Hampir lima gelas Coffee Non
Cafein ku tegak. Lamanya ia datang membuatku bosan berada di Kafe, hampir
setengah jam. Ingin rasanya ku tarik satu-persatu pelayan untuk menemaniku
menunggu Adam.
Faqih? Mengapa Faqih yang terlihat?
Mengapa dia yang datang? Lucu sekali jika Adam memberikan surat serah terima
kepada Faqih untuk menggantikan posisinya.
“Qhey? Kok kamu
sendirian disini?” Faqih menghampiriku dengan wajah yang lumayan
mengkhawatirkanku.
“Faqih? Iya, aku
dari tadi. Aku menunggu Adam. lama sekali dia.” Aku mulai mengeluh padanya.
“Adam? Sembari
menunggu Adam, ingin dengar ceritaku tentangnya?” Sebuah tawaran yang
mengejutkan. Aku ingin mendendengarnya, tapi aku takut. Takut? Qheyla yang
sangat payah! Aku tak tahu hal apa yang membuatku takut.
“Apa itu, Qih?”
Aku penasaran dan perlahan mulai mencoba untuk mendengar ceritanya.
***
Langit di luar sangat gelap. Aku dan
Faqih meninggalkan Kafe. Kami berpisah diperempatan. Bagaimana janjiku dengan
Adam? Tak sedikitpun kulihat batang hidungnya. Aku tak tahu ini sebuah
kesengajaan, atau bukan. Tapi, aku teringat cerita Faqih tentang Adam. Aku
cukup kagum dengannya. Mungkin, jika sebagian wanita mendengar ini, mereka akan
mengatakan Adam seorang lelaki yang tampan dengan sifat yang menjijikan. Tapi,
tidak menurutku. Entah mengapa, aku sangat kagum dengannya. Kekagumanku berbeda
dengan kagum saat pertama kali ku melihatnya di Kafaza. Mengingat sosok Adam
yang ceritakan Faqih membuatku tersenyum-senyum sendiri dan detak jantungku
mulai berlari tak menentu. Hingga membuatku sulit untuk membatasinya.
Zalfa? Wanita mancung itu hampir
sempurna. Siapa yang tak suka dengan Si Mancung berpipi cabi itu? Tak lain,
Adam. Zalfa telah menjadi incaran Adam sejak lama. Bahkan saat Sekolah Menengah
Pertama, Adam nekat menyatakan perasaannya kepada Zalfa. Padahal, saat itu
Zalfa sedang menjalin hubungan dengan kekasihnya, Rangga. Bukankah itu hal
bodoh yang dilakukan Adam? Untung saja Adam tak di kategorikan sebagai seorang
perusak hubungan. Tak hanya sampai disitu cerita Faqih tentang Adam. Adam juga
sempat dikatakan sebagai lelaki Playboy
dan pemberi harapan palsu. Tetap saja ada sisi yang membuatku kagum padanya.
Aku masih terkagetkan dengan
pernyataan Adam kepada Faqih, bahwa ia masih mengharapkan Zalfa. Tetap saja tak
bisa, Zalfa masih menjalin hubungan dengan Rangga sampai saat ini. Aku mungkin
dapat paham perasaan Adam saat itu, bahkan saat ini. Aku berpikir, seseorang
bisa berubah bisa jadi karena dirinya sendiri dan orang lain. Ya, aku mungkin
bisa merubahnya. Halah! Qheyla, percaya diri sekali kauini, Qheyla. Yap, aku
terlalu percaya diri. Pandangan setiap orang berbeda. Aku memiliki pandangan
seperti itu. Aku benar-benar ingin membuatnya berubah. Bukan karena aku, tapi
karena dirinya sendiri.
***
Minggu ini ada yang berbeda dengan
tampilan di mading. Sebuah gambar yang membuatku terpukau. Anime? Siapa yang menggambarnya? Seorang wanita, tokoh dalam kartun
Jepang. Gambarnya terlihat sempurna. Siapa sinimannya? Tak ada sedikitpun bagian darinya yang cacat. Walau hanya sebuah
gambar, itu sangat terlihat cantik. Tak berwarna-warni. Hanya arsiran hitam dan
putih disana. Tangan seniman ini sangat sempurna.
“Qhey, maaf ya
kemarin ga datang. Padahal aku yang ngebet dan bikin janji sama kamu. Tapi, aku
sendiri yang ga nepatin. Maaf banget, ya…” Seseorang mengagetkan ku.
“Ah, Adam.
Lagi-lagi kamu, selalu saja bikin aku kaget. Iya, gak apa-apa kok.”
“Soalnya kemarin
ada project mendadak dari pimpinan
OSIS gitu. Jadi, ga datang. Sekali lagi maaf banget, ya.”
“Project? Dari OSIS? Apa itu? Ga ada yang
bilang sama aku, tuh”
“Aduh, Qhey… Nanti
kita lanjut lagi, ya. Aku sibuk banget. Ini belum juga selesai projectnya. Bye, Qhey…”
“Hah? Iya, bye.”
Mengapa sangat singkat jawabannya? Hhh… Entahlah, sangat misteruis. Hanya dia
yang tahu.
Sejenak ku lupakan percakapan antara
aku dan Adam. Gambar itu… Aku kembai teringat gambar sempurna di mading itu.
Aku juga sangat menyukai seni, terutama seni lukis. Jika aku tahu siapa sniman
mading itu, aku bisa mengajaknya melukis bersama. Seniman misterius. “Faqih!”
Aku memanggilnya dari kejauhan. Aku berada di pinggir lapangan, sedangkan ia,
berdiri dibawah tiang ring basket.
“Iya, Qhey… Wait
ya.” Faqih berlari menghampiriku.
“Kamu udah liat
mading?”
“Udah. Kenapa? Nothing Special, Qhey. Lebay deh, kamu.”
“Ya ampuuun…
Gambar itu loh. Masa sesempurna itu kamu bilang nothing special? Siapa yang buat, sih?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar