Sabtu, 01 Februari 2014

Post #2

                                                        ***
            Sinar pagi ini membuat mataku menyipit. Ah, aku lupa, aku pikir ini adalah hari sekolah dan aku telat bangun pagi. Ternyata saat ku melirikkan mataku ke arah kalender, hari ini adalah hari Minggu. Ingin rasanya ku rebahkan kembali tubuhku yang manja ini di atas kasur. Astaga! Aku lupa. Aku memiliki janji dengan lelaki misterius, Adam. Aku tak ingin mengecewakannya. Dia tak pernah merasakan quality time denganku. Faqih lebih sering merasakannya. Ya jelas saja, aku dan Faqih sudah lama berteman. Bukan hal yang langka jika aku sering bercengkrama dengannya. Adam? Tentu saja lebih sering bersama Zalfa.
            Dimana Adam? Dia memutuskan pukul delapan kami berjanjian. Nyatanya? Ia tak kunjung datang. Hhh… Aku lelah. Sangat lelah. Apakah ia seperti siput? Atau dirantainya kakinya itu? Lama sekali. Hampir lima gelas Coffee Non Cafein ku tegak. Lamanya ia datang membuatku bosan berada di Kafe, hampir setengah jam. Ingin rasanya ku tarik satu-persatu pelayan untuk menemaniku menunggu Adam.
            Faqih? Mengapa Faqih yang terlihat? Mengapa dia yang datang? Lucu sekali jika Adam memberikan surat serah terima kepada Faqih untuk menggantikan posisinya.
“Qhey? Kok kamu sendirian disini?” Faqih menghampiriku dengan wajah yang lumayan mengkhawatirkanku.
“Faqih? Iya, aku dari tadi. Aku menunggu Adam. lama sekali dia.” Aku mulai mengeluh padanya.
“Adam? Sembari menunggu Adam, ingin dengar ceritaku tentangnya?” Sebuah tawaran yang mengejutkan. Aku ingin mendendengarnya, tapi aku takut. Takut? Qheyla yang sangat payah! Aku tak tahu hal apa yang membuatku takut.
“Apa itu, Qih?” Aku penasaran dan perlahan mulai mencoba untuk mendengar ceritanya.
                                                            ***
            Langit di luar sangat gelap. Aku dan Faqih meninggalkan Kafe. Kami berpisah diperempatan. Bagaimana janjiku dengan Adam? Tak sedikitpun kulihat batang hidungnya. Aku tak tahu ini sebuah kesengajaan, atau bukan. Tapi, aku teringat cerita Faqih tentang Adam. Aku cukup kagum dengannya. Mungkin, jika sebagian wanita mendengar ini, mereka akan mengatakan Adam seorang lelaki yang tampan dengan sifat yang menjijikan. Tapi, tidak menurutku. Entah mengapa, aku sangat kagum dengannya. Kekagumanku berbeda dengan kagum saat pertama kali ku melihatnya di Kafaza. Mengingat sosok Adam yang ceritakan Faqih membuatku tersenyum-senyum sendiri dan detak jantungku mulai berlari tak menentu. Hingga membuatku sulit untuk membatasinya.
            Zalfa? Wanita mancung itu hampir sempurna. Siapa yang tak suka dengan Si Mancung berpipi cabi itu? Tak lain, Adam. Zalfa telah menjadi incaran Adam sejak lama. Bahkan saat Sekolah Menengah Pertama, Adam nekat menyatakan perasaannya kepada Zalfa. Padahal, saat itu Zalfa sedang menjalin hubungan dengan kekasihnya, Rangga. Bukankah itu hal bodoh yang dilakukan Adam? Untung saja Adam tak di kategorikan sebagai seorang perusak hubungan. Tak hanya sampai disitu cerita Faqih tentang Adam. Adam juga sempat dikatakan sebagai lelaki Playboy dan pemberi harapan palsu. Tetap saja ada sisi yang membuatku kagum padanya.
            Aku masih terkagetkan dengan pernyataan Adam kepada Faqih, bahwa ia masih mengharapkan Zalfa. Tetap saja tak bisa, Zalfa masih menjalin hubungan dengan Rangga sampai saat ini. Aku mungkin dapat paham perasaan Adam saat itu, bahkan saat ini. Aku berpikir, seseorang bisa berubah bisa jadi karena dirinya sendiri dan orang lain. Ya, aku mungkin bisa merubahnya. Halah! Qheyla, percaya diri sekali kauini, Qheyla. Yap, aku terlalu percaya diri. Pandangan setiap orang berbeda. Aku memiliki pandangan seperti itu. Aku benar-benar ingin membuatnya berubah. Bukan karena aku, tapi karena dirinya sendiri.
                                                           ***
            Minggu ini ada yang berbeda dengan tampilan di mading. Sebuah gambar yang membuatku terpukau. Anime? Siapa yang menggambarnya? Seorang wanita, tokoh dalam kartun Jepang. Gambarnya terlihat sempurna. Siapa sinimannya? Tak ada sedikitpun  bagian darinya yang cacat. Walau hanya sebuah gambar, itu sangat terlihat cantik. Tak berwarna-warni. Hanya arsiran hitam dan putih disana. Tangan seniman ini sangat sempurna.
“Qhey, maaf ya kemarin ga datang. Padahal aku yang ngebet dan bikin janji sama kamu. Tapi, aku sendiri yang ga nepatin. Maaf banget, ya…” Seseorang mengagetkan ku.
“Ah, Adam. Lagi-lagi kamu, selalu saja bikin aku kaget. Iya, gak apa-apa kok.”
“Soalnya kemarin ada project mendadak dari pimpinan OSIS gitu. Jadi, ga datang. Sekali lagi maaf banget, ya.”
Project? Dari OSIS? Apa itu? Ga ada yang bilang sama aku, tuh”
“Aduh, Qhey… Nanti kita lanjut lagi, ya. Aku sibuk banget. Ini belum juga selesai projectnya. Bye, Qhey…”
“Hah? Iya, bye.” Mengapa sangat singkat jawabannya? Hhh… Entahlah, sangat misteruis. Hanya dia yang tahu.
            Sejenak ku lupakan percakapan antara aku dan Adam. Gambar itu… Aku kembai teringat gambar sempurna di mading itu. Aku juga sangat menyukai seni, terutama seni lukis. Jika aku tahu siapa sniman mading itu, aku bisa mengajaknya melukis bersama. Seniman misterius. “Faqih!” Aku memanggilnya dari kejauhan. Aku berada di pinggir lapangan, sedangkan ia, berdiri dibawah tiang ring basket.
“Iya, Qhey… Wait ya.” Faqih berlari menghampiriku.
“Kamu udah liat mading?”
“Udah. Kenapa? Nothing Special, Qhey. Lebay deh, kamu.”
“Ya ampuuun… Gambar itu loh. Masa sesempurna itu kamu bilang nothing special? Siapa yang buat, sih?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar