Jumat, 14 Februari 2014

Part #7


Kembali lagi ia menarikku kedalam bus. Sore itu, kami menghabiskan waktu bersama. Hanya aku dan Adam. Betapa aku merasakan bahagia yang teramat dalam kala itu. Entah dengannya. Aku pun berharap seperti itu.
            Kejadian sore itu tak dapat membuatku memejamkan mata untuk beristirahat malam. Aku hanya dapat memandangi sebuah buku pemberian Adam. Karena ia tahu bahwa aku sangat senang membaca, ia memberikan ku sebuah novel berjudul ‘Daun yang Jatuh, Tak Pernah Membenci Anginnya’. Aku sempat membaca synopsis buku ini, sangat menarik perhatianku beberapa bulan silam. Buku ini sudah terbit beberapa bulan yang lalu, tapi aku memang tak sempat membelinya. Hanya ada angan-angan saja. Beruntunglah, aku mendapatkannya dengan gratis. Restaurant unik itu menyimpan banyak kenangan. Meskipun toko itu belum lama buka, tapi aku sudah memiliki banyak kenangan dengan Adamku. Apa? Adamku? Semoga saja.
                                                              ***
            Hari ini murid-murid sangat beruntung. Semua guru resmi meliburkan kami setelah kemarin di pulangkan lebih awal. Guru-guru mulai sibuk dengan semester baru. Aku, Faqih, Adam dan beberapa teman dekat kami yang lain memiliki jadwal. Kami akan bersendau gurau di Labas. Labas adalah singkatan Lapangan Basket. Tempat ini tak jauh dari tempat tinggal kami. Kami sering sekali bermain bersama di Labas. Tak hanya berolahraga saja, melainkan bertukar pikiran pun sering kami lakukan disana. Bahkan, kami sangat betah hingga senja.
            Sangat mengejutkan, ketika ku tahu bahwa mereka tak dapat hadir. Setega itukah mereka? Aku telah menunggu lama disini. Sangat lama. “Qheyla!” Ah, akhirnya mereka yang sejak lama kutunggu datang juga.
“Adam?” Hanya Adam yang muncul. Yang lain benar-benar tak dapat hadir? Sungguh kejam. “Benar-benar sendiri?”
“Menurutmu?”
“Iya juga sih. Tapi, kenapa?”
“Daripada disini, mending ikut aku.” Kenyataannya, Adam memang selalu ingin membuatku bahagia. Terimakasih Tuhan, rencanamu sangatlah indah, biarkan ini sampai akhirnya.
“Kemana lagi, Dam?” Aku benar-benar lelah dengan semua tawarannya selama ini. Tapi, memang menyenangkan apa yang ia tawarkan.
            Jalan kaki adalah hal menyebalkan. Aku sangat lelah, Dam. Apa kau tak menyadarinya sedari tadi bagaimana nafasku? Ah, memang sangat kejam. Oh Tuhan, tempat macam apa yang ia kembali tawarkan kepadaku? Sebuah istana yang tak semewah dicerita fiksi. Dengan sigap, Adam membuka pagar berwarna merah marun itu dan menghampiri seekor kelinci putih yang sangat lucu. “Ini rumahmu, Dam?”
“Yap! Yuk, masuk. Silakan… Selamat datang di gubuk tuaku ini.” Ia mulai memamerkan kelebihannya dalam bermajas.
“Dam, apa baik aku masuk kedalam? Ada orang tuamu?” Aku sangat kebingungan. Ia sama sekali tak membuat janji belajar kelompok bersamaku. Tapi, mengapa ia mengajakku ke gubuk tuanya ini?
“Memang salah? Kalau ada kenapa memangnya? Kan biar keluargaku mengenalmu. My future wife.” Astaga! Adam, mulutmu terlalu percaya diri untuk mengucapkannya.
“Adam! Ngomong apa sih? Hati-hati.”
“Loh memang kenapa? Mau kan? Kita jalanin aja dulu.”
            Apa yang ada didalam pikiran Adam? Mulutnya sangat lemas. Tak dapatkah ia menjaga perkataannya. Ya, memang tak ada yang salah. Tapi, belum saatnya ia mengatakan hal seperti itu. Aku merasa takut. Entah apa yang membuat perasaanku mudah merasakannya. Ia menyuruhku menjalaninnya lebih dulu? Apa maksudnya? Semakin lama mulut dan pembicaraan Adam semakin ngawur, semakin tak karuan. Ia benar-benar mengagumiku? Sempat aku termenung diluar pagar. “Qhey! Masuk…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar