Kembali
lagi ia menarikku kedalam bus. Sore itu, kami menghabiskan waktu bersama. Hanya
aku dan Adam. Betapa aku merasakan bahagia yang teramat dalam kala itu. Entah
dengannya. Aku pun berharap seperti itu.
Kejadian sore itu tak dapat membuatku
memejamkan mata untuk beristirahat malam. Aku hanya dapat memandangi sebuah
buku pemberian Adam. Karena ia tahu bahwa aku sangat senang membaca, ia
memberikan ku sebuah novel berjudul ‘Daun
yang Jatuh, Tak Pernah Membenci Anginnya’. Aku sempat membaca synopsis buku
ini, sangat menarik perhatianku beberapa bulan silam. Buku ini sudah terbit
beberapa bulan yang lalu, tapi aku memang tak sempat membelinya. Hanya ada
angan-angan saja. Beruntunglah, aku mendapatkannya dengan gratis. Restaurant unik
itu menyimpan banyak kenangan. Meskipun toko itu belum lama buka, tapi aku
sudah memiliki banyak kenangan dengan Adamku. Apa? Adamku? Semoga saja.
***
Hari ini murid-murid sangat
beruntung. Semua guru resmi meliburkan kami setelah kemarin di pulangkan lebih
awal. Guru-guru mulai sibuk dengan semester baru. Aku, Faqih, Adam dan beberapa
teman dekat kami yang lain memiliki jadwal. Kami akan bersendau gurau di Labas. Labas adalah singkatan Lapangan
Basket. Tempat ini tak jauh dari tempat tinggal kami. Kami sering sekali
bermain bersama di Labas. Tak hanya
berolahraga saja, melainkan bertukar pikiran pun sering kami lakukan disana.
Bahkan, kami sangat betah hingga senja.
Sangat mengejutkan, ketika ku tahu
bahwa mereka tak dapat hadir. Setega itukah mereka? Aku telah menunggu lama
disini. Sangat lama. “Qheyla!” Ah, akhirnya mereka yang sejak lama kutunggu
datang juga.
“Adam?”
Hanya Adam yang muncul. Yang lain benar-benar tak dapat hadir? Sungguh kejam.
“Benar-benar sendiri?”
“Menurutmu?”
“Iya
juga sih. Tapi, kenapa?”
“Daripada
disini, mending ikut aku.” Kenyataannya, Adam memang selalu ingin membuatku
bahagia. Terimakasih Tuhan, rencanamu sangatlah indah, biarkan ini sampai
akhirnya.
“Kemana
lagi, Dam?” Aku benar-benar lelah dengan semua tawarannya selama ini. Tapi,
memang menyenangkan apa yang ia tawarkan.
Jalan kaki adalah hal menyebalkan.
Aku sangat lelah, Dam. Apa kau tak menyadarinya sedari tadi bagaimana nafasku?
Ah, memang sangat kejam. Oh Tuhan, tempat macam apa yang ia kembali tawarkan
kepadaku? Sebuah istana yang tak semewah dicerita fiksi. Dengan sigap, Adam
membuka pagar berwarna merah marun itu dan menghampiri seekor kelinci putih
yang sangat lucu. “Ini rumahmu, Dam?”
“Yap!
Yuk, masuk. Silakan… Selamat datang di gubuk tuaku ini.” Ia mulai memamerkan
kelebihannya dalam bermajas.
“Dam,
apa baik aku masuk kedalam? Ada orang tuamu?” Aku sangat kebingungan. Ia sama
sekali tak membuat janji belajar kelompok bersamaku. Tapi, mengapa ia
mengajakku ke gubuk tuanya ini?
“Memang
salah? Kalau ada kenapa memangnya? Kan biar keluargaku mengenalmu. My future wife.” Astaga! Adam, mulutmu
terlalu percaya diri untuk mengucapkannya.
“Adam!
Ngomong apa sih? Hati-hati.”
“Loh
memang kenapa? Mau kan? Kita jalanin aja dulu.”
Apa yang ada didalam pikiran Adam?
Mulutnya sangat lemas. Tak dapatkah ia menjaga perkataannya. Ya, memang tak ada
yang salah. Tapi, belum saatnya ia mengatakan hal seperti itu. Aku merasa
takut. Entah apa yang membuat perasaanku mudah merasakannya. Ia menyuruhku
menjalaninnya lebih dulu? Apa maksudnya? Semakin lama mulut dan pembicaraan
Adam semakin ngawur, semakin tak karuan. Ia benar-benar mengagumiku? Sempat aku
termenung diluar pagar. “Qhey! Masuk…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar