Sabtu, 08 Februari 2014

Part #4

Apa? Adam meninggalkanku setelah kami menyebrang bersama. Mengapa dia begitu berbeda? Ah, aku mengerti. Mungkin ia tak ingin kami terlalu berlebihan ketika sampai dikawasan sekolah. Ah, bisa jadi juga karena Adam tadi memang tak sengaja memegang lenganku
.               Aku benar-benar tertinggal oleh langkahnya. Saat ku memasuki gerbang sekolah, Adam sudah bergabung dengan teman-temannya. Ia tak sehangat kemarin. Ia kembali lagi menjadi Adam yang dingin dan misterius. Bahkan, saat aku berjalan di hadapannya, tak ada bahasa tubuh itu lagi. Tak ada mata kami yang biasanya sangat kalang kabut saat saling bertemu. Baiklah, kejadian itu hanya sebuah kebetulan. Entah apa maksudnya. Aku akan menganggap ini tak pernah terjadi dan aku akan segera menghapuskannya dari ingatanku.
            Mata kami kembali bertemu dikantin. Aku sedang bersama Faqih disana. Aku dan Faqih duduk bersebelahan di kursi panjang, dan Adam? Ia menghampiriku dan menyuruh Faqih menggeser badannya, duduklah Adam di sampingku. Ia memesan semangkuk mie goreng.
“Qhey, mau apa?” Lagi-lagi seperti itu. Aku hanya bisa membesarkan bola mataku.
“Enggak, Dam. Makasih tadi udah.”
“Yaudah, makan ya…” Hanya aku? Disana tak hanya aku. Ada Faqih dan beberapa teman kami yang lain. “Kalau kamu mau, kan bisa aku suapin.” Astaga! Adam terlalu mudah membuatku melayang.
                                                              ***
            Senin kali ini, aku kembali ke rumah bersama Faqih. Sebenarnya, rumah kami bertolak belakang. Kami harus berpisah di Kafaza. Adam ada dibelakang kami, ternyata. “Qih, kenapa ada Adam?” Aku mulai berbisik sebelum jarak Adam mulai dekat dengan kami.
“Yaudah, biarin aja sih. Seneng kan kamu?” Faqih mulai menggodaku. Dia pikir, aku akan bahagia. Aku menyimpan kesal padanya.
            Adam pun turut ikut bersama kami dalam perjalanan kambali ke rumah. Jika mereka bersatu, aku takkan ada artinya bagi mereka. Bahkan, tak nerwujud.
“Jalannya kayak siput.” Adam akan membuka percakapan dengan mengejekku.
“Ini sudah kencang. Kamu saja yang terlalu cepat jalannya.”
“Qheyla… Qheyla…” Sentuhan itu kembali kurasakan. Iya, dia mengusap kepalaku yang terlapisi jilbab.
“Duluan ya…” Faqih meninggalkan kami dan lambaian tangannya mengarah kepada kami di sebrang.
            Bus tujuan aku dan Adam lama tak kunjung datang. Aku dapat melihat barisan kendaraan padat memenuhi jalanan. “Alamat kita lama di bus, Dam.”
“Lebih lama kan lebih baik.” Jawaban Adam mulai tak beraturan. Perlahan mulai kuresapi. Ia akan membuatku kembali melayang? Aku tak tahu. Aku hanya dapat menaikkan kedua alisku dan melemparkan senyuman bingung kepadanya.
            Antrean kendaraan begitu panjang. Mataku mulai menyipit dan mulai terkantuk-kantuk. Untung saja kami sudah menaikki bus. Tapi, bagaimana bisa aku tertidur dalam kondisi seperti ini? Panas, sempit, ah, tak karuan. Adam yang duduk disampingku pun mulai terkantuk karena lamanya bus kami lepas dari antrean panjang. Pundakku terasa amat berat. Adam menjatuhkan kepalanya di bahuku. Harum. Ia sangat harum sedangkan, di dalam bus sudah bermacam-macam keringat yang kucium. Wangi badan Adam masih tersisa ditubuhnya. Rambutnya pun bisa ku tatap dengan seksama. Matanya yang indah dapat membuat mataku bersinar-sinar. Tuhan, makhluk macam apa yang kau perkenalkan kepadaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar