Defibrillator itu semakin kencang, ketika Adam memberikan
sebuah pernyataan pada Zalfa, bahwa ia kagum denganku. Apa yang membuatnya
kagum padaku?
Waktu menunjukkan tepat pukul lima
sore. Tapi, langit sudah begitu gelapnya. Perlahan rintik hujan mulai membasahi
tanah bagian atas. Aku lupa membawa payung, pelapis tubuh pun aku lupa. Aku
harus melawan tetesan hujan yang semakin deeras dan dinginnya cuaca kala itu.
Jika tidak, aku tak akan sampai kerumah. Ketika aku sedang mengambil
ancang-ancang untuk melawan derasnya hujan di ujung koridor sekolah, terasa
gelap di atas kepalaku. Saat ku memberanikan mengangkat kepalaku ke atas,
pelapis tubuh berwarna abu-abu itu menutupi sebagian kepalaku. Adam. Ya, ini
jaket Adam. Ia hanya tersenyum ketika aku merasa kebingungan.
Adam membiarkanku menaiki bus lebih
dulu, karena hujan benar-benar semakin deras. Saat itu, bus yang kami tumpangi
sedang penuh dengan penumpang. Kami tak dapat duduk tenang seperti biasanya.
Jika kami tak nekat menaiki bus ini, akan semakin lama kami menunggu bus
berikutnya. Dengan ikhlas, kami rela berdiri diantara penumpang. Aku merasakan
kembali bahasa tubuh Adam. Tangan kirinya menggenggam jemariku, sedang tangan
kanannya berusaha menahan kencangnya bus yang sedang melaju. Jemari itu sangat
kuat menggenggamku. Bahkan, ketika salah penumpang hendak menimpaku, Adam
menarikku kedalam dekapannya. Sangat erat.
Tak sempat kami duduk, tiba saatnya
untukku turun. Adam mengikuti langkahku. Ia bersedia mengantarku pulang
kerumah. Malam itu, hujan semakin deras. Kami pun menetapkan diri untuk
bersinggah di salah satu pos perumahanku. Tak banyak kalimat yang kami
lontarkan kala itu. Bahasa tubuhnya kembali ia tunjukkan padaku. Ia menyematkan
jaket abunya itu di pundakku. “Tetaplah bersamaku. Aku janji akan selalu
bersamamu. Bagaimana denganmu?.” Astaga! Adam. Ingin rasanya rintik hujan kala
itu ku hentikan sejenak. Aku hanya membalas dengan mimic wajah yang sangat
bingung. “Janji kah?”
“Iya,
aku janji, Dam.” Aku hanya bisa membalasnya dengan kalimat itu. Entah mengapa
dengan mudahnya aku berjanji padanya. Sontak keinginanku untuk menghentikan
hujan terkabulkan. Hujan kala itu berhenti ketika Adam menggenggam jemariku
kembali dengan hangat.
“Sudah
reda, Dam. Kamu pulang aja.” Aku menawarkan dengan lepas.
“Ayuk,
ku antar kau sampai pagar rumahmu.”
“Ada…”
Tak sempat ku menyempurnakan kalimatku, ia menarikku dengan tangan kirinya.
Berulang kali ku tawarkan ia untuk pulang, ia bersikeras untuk mengantarku
sampai pagar rumahku.
Sempat ku tawarkan secangkir teh, ia
menolaknya. Jangankan secangkir teh, untuk singgah dirumahku saja ia
menolaknnya. Malam itu, kami akhiri di depan pagar berwarna hitam itu. jaket
abu-abu itu, masih tersemat di tubuhku hingga matahari kembali memunculkan
sinarnya.
***
Aku kembali teringat dengan kalimat
malam lalu. Begitu mudahnya Adam mengatakannya padaku. Ia benar-benar telah
melupakan Zalfa? Aku bersyukur dan sedikit lega, jika Adam sadar, bahwa bukan
Zalfalah wanita terbaik untuknya. Zalfa tak sedikit pun menyimpan rasa lebih
pada Adam. Bagaimana Adam dapat mempertahankan cintanya untuk seorang wanita
yang tak akan pernah membalasnya? Jika itu benar adanya, aku senang. Bukan
karena Adam ingin aku selalu bersamanya, tapi karena ia telah melupakan Zalfa.
Orang yang selama ini salah jika ia merelakan seluruh jiwa dan raganya.
Kali ini, siswa dan siswi patut
berbahagia. Karena, semua guru sedang rapat dan semua murid di pulangkan lebih
awal. Tepat hari ini Ardhi teman kami, bertamah satu tahun umurnya. Ia mengajakku,
Adam, Faqih, Dhani, dan Putra untuk makan Ice
Cream bersama. Adam sangat senang Ice
Cream coklat, sama sepertiku. Ia akan berontak, jika ku masukkan Ice Cream vanilla kedalam mulutnya. Ia
sangat beci vanilla.
Faqih sudah meninggalkan kami. Ia
khawatir jika pulang terlalu malam, ibunya akan memarahinya. Begitu juga dengan
kawan kami yang lain.
“Dam,
gak pulang?” Aku mulai basa-basi.
“Kamu
sendiri?”
“Ini
mau pulang. Duluan ya, Dam.”
“Hey,
jangan pulang dulu. Mau ku ajak ke tempat yang seru gak?” Adam mulai menawarkan
hal yang menurutnya mengasyikkan.
“Tempat
macam apa?” Seperti biasa, ia bergegas menarik lenganku masuk kedalam bus.
“Disini
ada restaurant perpustakaan lho… Baru juga dibuka.”
“Ohya?
Benarkah?” Sudah berapa lama ia tahu hobiku membaca?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar