Kamis, 13 Februari 2014

Part #6

Defibrillator itu semakin kencang, ketika Adam memberikan sebuah pernyataan pada Zalfa, bahwa ia kagum denganku. Apa yang membuatnya kagum padaku?
            Waktu menunjukkan tepat pukul lima sore. Tapi, langit sudah begitu gelapnya. Perlahan rintik hujan mulai membasahi tanah bagian atas. Aku lupa membawa payung, pelapis tubuh pun aku lupa. Aku harus melawan tetesan hujan yang semakin deeras dan dinginnya cuaca kala itu. Jika tidak, aku tak akan sampai kerumah. Ketika aku sedang mengambil ancang-ancang untuk melawan derasnya hujan di ujung koridor sekolah, terasa gelap di atas kepalaku. Saat ku memberanikan mengangkat kepalaku ke atas, pelapis tubuh berwarna abu-abu itu menutupi sebagian kepalaku. Adam. Ya, ini jaket Adam. Ia hanya tersenyum ketika aku merasa kebingungan.
            Adam membiarkanku menaiki bus lebih dulu, karena hujan benar-benar semakin deras. Saat itu, bus yang kami tumpangi sedang penuh dengan penumpang. Kami tak dapat duduk tenang seperti biasanya. Jika kami tak nekat menaiki bus ini, akan semakin lama kami menunggu bus berikutnya. Dengan ikhlas, kami rela berdiri diantara penumpang. Aku merasakan kembali bahasa tubuh Adam. Tangan kirinya menggenggam jemariku, sedang tangan kanannya berusaha menahan kencangnya bus yang sedang melaju. Jemari itu sangat kuat menggenggamku. Bahkan, ketika salah penumpang hendak menimpaku, Adam menarikku kedalam dekapannya. Sangat erat.
            Tak sempat kami duduk, tiba saatnya untukku turun. Adam mengikuti langkahku. Ia bersedia mengantarku pulang kerumah. Malam itu, hujan semakin deras. Kami pun menetapkan diri untuk bersinggah di salah satu pos perumahanku. Tak banyak kalimat yang kami lontarkan kala itu. Bahasa tubuhnya kembali ia tunjukkan padaku. Ia menyematkan jaket abunya itu di pundakku. “Tetaplah bersamaku. Aku janji akan selalu bersamamu. Bagaimana denganmu?.” Astaga! Adam. Ingin rasanya rintik hujan kala itu ku hentikan sejenak. Aku hanya membalas dengan mimic wajah yang sangat bingung. “Janji kah?”
“Iya, aku janji, Dam.” Aku hanya bisa membalasnya dengan kalimat itu. Entah mengapa dengan mudahnya aku berjanji padanya. Sontak keinginanku untuk menghentikan hujan terkabulkan. Hujan kala itu berhenti ketika Adam menggenggam jemariku kembali dengan hangat.
“Sudah reda, Dam. Kamu pulang aja.” Aku menawarkan dengan lepas.
“Ayuk, ku antar kau sampai pagar rumahmu.”
“Ada…” Tak sempat ku menyempurnakan kalimatku, ia menarikku dengan tangan kirinya. Berulang kali ku tawarkan ia untuk pulang, ia bersikeras untuk mengantarku sampai pagar rumahku.
            Sempat ku tawarkan secangkir teh, ia menolaknya. Jangankan secangkir teh, untuk singgah dirumahku saja ia menolaknnya. Malam itu, kami akhiri di depan pagar berwarna hitam itu. jaket abu-abu itu, masih tersemat di tubuhku hingga matahari kembali memunculkan sinarnya.
                                                           ***
            Aku kembali teringat dengan kalimat malam lalu. Begitu mudahnya Adam mengatakannya padaku. Ia benar-benar telah melupakan Zalfa? Aku bersyukur dan sedikit lega, jika Adam sadar, bahwa bukan Zalfalah wanita terbaik untuknya. Zalfa tak sedikit pun menyimpan rasa lebih pada Adam. Bagaimana Adam dapat mempertahankan cintanya untuk seorang wanita yang tak akan pernah membalasnya? Jika itu benar adanya, aku senang. Bukan karena Adam ingin aku selalu bersamanya, tapi karena ia telah melupakan Zalfa. Orang yang selama ini salah jika ia merelakan seluruh jiwa dan raganya.
            Kali ini, siswa dan siswi patut berbahagia. Karena, semua guru sedang rapat dan semua murid di pulangkan lebih awal. Tepat hari ini Ardhi teman kami, bertamah satu tahun umurnya. Ia mengajakku, Adam, Faqih, Dhani, dan Putra untuk makan Ice Cream bersama. Adam sangat senang Ice Cream coklat, sama sepertiku. Ia akan berontak, jika ku masukkan Ice Cream vanilla kedalam mulutnya. Ia sangat beci vanilla.
            Faqih sudah meninggalkan kami. Ia khawatir jika pulang terlalu malam, ibunya akan memarahinya. Begitu juga dengan kawan kami yang lain.
“Dam, gak pulang?” Aku mulai basa-basi.
“Kamu sendiri?”
“Ini mau pulang. Duluan ya, Dam.”
“Hey, jangan pulang dulu. Mau ku ajak ke tempat yang seru gak?” Adam mulai menawarkan hal yang menurutnya mengasyikkan.
“Tempat macam apa?” Seperti biasa, ia bergegas menarik lenganku masuk kedalam bus.
“Disini ada restaurant perpustakaan lho… Baru juga dibuka.”
“Ohya? Benarkah?” Sudah berapa lama ia tahu hobiku membaca?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar