“Oh
iya, Qhey. Aku lupa. Ada satu hal lagi yang belum ku ceritakan ke kamu.”
“Hah?
Apaan, Qih?
“Adam
itu suka gambar, Qhey. Gambarnya bagus-bagus, deh. Aku pernah liat bukunya.
Dari depan sampai belakang itu gambar dia semua.” Aku mulai tak mengerti maksud
Faqih. Apakah ini ada hubungannya dengan seniman misterius itu?
“Oh
ya? Lalu? Apa menurutmu seniman misterius yang aku maksud adalah…” Belum sempat
aku menjawab, Faqih menyambar jawabanku.
“Adam.”
***
Terkejut dan kagum. Hanya itu yang
dapat ku ungkapkan saat mendengar cerita Faqih tentang Adam. Anime. Gambar yang smepurna. Seniman
misterius. Itulah Adam. kekagumanku semakin melonjak setelah aku mengetahui
seni di antara kami. Aku dan Adam. Seniman misterius itu, ada di sekitarku
selama ini. aku baru paham. Project
yang diberikan kepada Adam dari pimpinan OSIS adalah gambar di mading.
Entah ada apa dengan kami. Kami
selalu bertemu. Kali ini aku dan Adam satu bidang dalam OSIS. Kami berada
dibidang Ilmu Pengetahuan, tempat kami di mading. Mungkin karena kami memiliki
hobi yang sama, pimpinan memasukkan ku bersamanya. Setiap akhir minggu, kami
selalu datang untuk mengganti mading. Setiap minggu? Ya, pemegang mading harus
memiliki banyak pengetahuan. Saat ini, saatnya kami mengganti mading disekolah
yang lama sudah tak ada yang merawat.
“Berbeda
dengan Zalfa. Jauh sekali.” Matanya memandangi wajahku yang sedang focus akan
tugasku. Aku hanya sesekali melirik arah bola matanya.
“Apa?”
Tatapan Adam berhasil membuatku meninggalkan tugasku menghias mading. “Apa
maksudmu berbeda?”
“Cepat
atau lambat juga bakal tau.” Percakapan itu mengelilingi otakku. “Gak usah
dipikirin panjang kali, Qhey. Kayaknya sampai shock gitu…”
“Ahh…
Ayuk pulanglah, Dam. Sudah selesai, kan.”
“Bisa
aja ngelesnya. Garis wajahmu dapat ku baca, Qhey.”
Aku mengajaknya pulang. Dipertemukan
kembali. Rumah kami satu arah. Perumahan kami bersebrangan. Sehingga, mudah
bagi kami pergi bersamaan. Semakin banyak tatapan yang kami kumpulkan. Aku
sangat percaya, dia tak seperti yang mereka semua katakan. Mata itu. matanya
sangat indah, meski ia tak menatap mataku. Didalam bus, kami tak sedikitpun
membicarakn hal yang menarik. Sesekali hanya menanyakan jam. Meski bibir kami
tak bergerak satu sama lain, mata kami bergerak memberikan sebuah kode. Ketika
mata kami bertemu, ia hanya melemparkan senyuman indah kepadaku. Senyuman itu
dapat membuat mataku melotot dan jantungku tak henti menari-nari.
Ada apa denganku? Jika teringat
sosok Adam, ingin rasanya ku bebaskan seluruh ragaku untung merangkulnya,
bahkan mengetahui kabarnya. Aku cukup gengsi untuk menanyakan kabarnya. Sejak
kejadian itu, perasaanku semakin mengebu-gebu kepadanya. Aku begitu yakin, dia
adalah sosok yang tepat. Aku tak tahu, dimana ketepatan itu.
***
Upacara. Hari Senin selalu diawali
dengan upacara penghormatan. Ini kali pertamanya aku berangkat sekolah bersama
Adam. Ia melapisi tubuhnya dengan sweter
hitamnya, tanpa pelengkap kupluk. Sedangkan aku, tak melapisi tubuhku dengan
apapun, hanya seraham putih-abu.
Didalam bus, aku dan Adam duduk
bersampingan. Aku merasakan bahasa tubuhnya yang tak ingin aku tersenggol apapun
didalam bus. Memang bahasa tubuhnya tak begitu jelas, tapi aku bisa membaca dan
merasakannya. Seperti biasanya, tak ada sepatah katapun yang terlontar dari
bibir kami. Hanya mata kami yang tak bisa diam.
Lenganku begitu hangat. Aku tak tahu apa
yang membuatnya hangat. Aku tak menggunakan pelapis apapun untuk menutupi
tubuhku dari serangan udara. Jemari itu bisa ku rasakan. Perlahan ku tolehkan
kepalaku ke kiri. Hanya Adam, dan jemari adam menggenggam lenganku saat itu.
Aku hanya tersenyum. Aku tak melihat ekspresi apapun darinya. Aku hanya melihat
pandangannya yang terfokus pada kendaraan yang berlalu-lalang. Entah apa yang
ingin membuatnya membiarkan jemarinya menggenggam lenganku. Sekali lagi,
wajahnya sangat cuek. Sangat amat cuek.
“Kiri…”Adam
memberhentikan bus yang kami tumpangi di Kafaza. Ia membiarkanku menuruni bus
dahulu. Kami akan menyebrangi jalan raya.
Ia berbeda. Adam mendahuluiku. Ia
sama sekali acuh denganku. Berbeda saat kemarin kami memasang mading. Berbeda
saat kami dibus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar