Sabtu, 01 Februari 2014

Part #3

“Oh iya, Qhey. Aku lupa. Ada satu hal lagi yang belum ku ceritakan ke kamu.”
“Hah? Apaan, Qih?
“Adam itu suka gambar, Qhey. Gambarnya bagus-bagus, deh. Aku pernah liat bukunya. Dari depan sampai belakang itu gambar dia semua.” Aku mulai tak mengerti maksud Faqih. Apakah ini ada hubungannya dengan seniman misterius itu?
“Oh ya? Lalu? Apa menurutmu seniman misterius yang aku maksud adalah…” Belum sempat aku menjawab, Faqih menyambar jawabanku.
“Adam.”
                                                                        ***
            Terkejut dan kagum. Hanya itu yang dapat ku ungkapkan saat mendengar cerita Faqih tentang Adam. Anime. Gambar yang smepurna. Seniman misterius. Itulah Adam. kekagumanku semakin melonjak setelah aku mengetahui seni di antara kami. Aku dan Adam. Seniman misterius itu, ada di sekitarku selama ini. aku baru paham. Project yang diberikan kepada Adam dari pimpinan OSIS adalah gambar di mading.
            Entah ada apa dengan kami. Kami selalu bertemu. Kali ini aku dan Adam satu bidang dalam OSIS. Kami berada dibidang Ilmu Pengetahuan, tempat kami di mading. Mungkin karena kami memiliki hobi yang sama, pimpinan memasukkan ku bersamanya. Setiap akhir minggu, kami selalu datang untuk mengganti mading. Setiap minggu? Ya, pemegang mading harus memiliki banyak pengetahuan. Saat ini, saatnya kami mengganti mading disekolah yang lama sudah tak ada yang merawat.
“Berbeda dengan Zalfa. Jauh sekali.” Matanya memandangi wajahku yang sedang focus akan tugasku. Aku hanya sesekali melirik arah bola matanya.
“Apa?” Tatapan Adam berhasil membuatku meninggalkan tugasku menghias mading. “Apa maksudmu berbeda?”
“Cepat atau lambat juga bakal tau.” Percakapan itu mengelilingi otakku. “Gak usah dipikirin panjang kali, Qhey. Kayaknya sampai shock gitu…”
“Ahh… Ayuk pulanglah, Dam. Sudah selesai, kan.”
“Bisa aja ngelesnya. Garis wajahmu dapat ku baca, Qhey.”
            Aku mengajaknya pulang. Dipertemukan kembali. Rumah kami satu arah. Perumahan kami bersebrangan. Sehingga, mudah bagi kami pergi bersamaan. Semakin banyak tatapan yang kami kumpulkan. Aku sangat percaya, dia tak seperti yang mereka semua katakan. Mata itu. matanya sangat indah, meski ia tak menatap mataku. Didalam bus, kami tak sedikitpun membicarakn hal yang menarik. Sesekali hanya menanyakan jam. Meski bibir kami tak bergerak satu sama lain, mata kami bergerak memberikan sebuah kode. Ketika mata kami bertemu, ia hanya melemparkan senyuman indah kepadaku. Senyuman itu dapat membuat mataku melotot dan jantungku tak henti menari-nari.
            Ada apa denganku? Jika teringat sosok Adam, ingin rasanya ku bebaskan seluruh ragaku untung merangkulnya, bahkan mengetahui kabarnya. Aku cukup gengsi untuk menanyakan kabarnya. Sejak kejadian itu, perasaanku semakin mengebu-gebu kepadanya. Aku begitu yakin, dia adalah sosok yang tepat. Aku tak tahu, dimana ketepatan itu.
                                                                        ***
            Upacara. Hari Senin selalu diawali dengan upacara penghormatan. Ini kali pertamanya aku berangkat sekolah bersama Adam. Ia melapisi tubuhnya dengan sweter hitamnya, tanpa pelengkap kupluk. Sedangkan aku, tak melapisi tubuhku dengan apapun, hanya seraham putih-abu.
Didalam bus, aku dan Adam duduk bersampingan. Aku merasakan bahasa tubuhnya yang tak ingin aku tersenggol apapun didalam bus. Memang bahasa tubuhnya tak begitu jelas, tapi aku bisa membaca dan merasakannya. Seperti biasanya, tak ada sepatah katapun yang terlontar dari bibir kami. Hanya mata kami yang tak bisa diam.
Lenganku begitu hangat. Aku tak tahu apa yang membuatnya hangat. Aku tak menggunakan pelapis apapun untuk menutupi tubuhku dari serangan udara. Jemari itu bisa ku rasakan. Perlahan ku tolehkan kepalaku ke kiri. Hanya Adam, dan jemari adam menggenggam lenganku saat itu. Aku hanya tersenyum. Aku tak melihat ekspresi apapun darinya. Aku hanya melihat pandangannya yang terfokus pada kendaraan yang berlalu-lalang. Entah apa yang ingin membuatnya membiarkan jemarinya menggenggam lenganku. Sekali lagi, wajahnya sangat cuek. Sangat amat cuek.
“Kiri…”Adam memberhentikan bus yang kami tumpangi di Kafaza. Ia membiarkanku menuruni bus dahulu. Kami akan menyebrangi jalan raya.
            Ia berbeda. Adam mendahuluiku. Ia sama sekali acuh denganku. Berbeda saat kemarin kami memasang mading. Berbeda saat kami dibus. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar