Kami
berpisah saat kendaraan mulai tersebar dari antreannya. Aku lebih dulu turun.
Tak sepatah kata pun terlontar dari mulut kami. Adam terbangun saat aku sendang
meraba kantung bajuku untuk mengambil ongkos. Tampan sekali. Rambutnya terlihat
sedikit berantakan. Adam mengusap matanya dan kembali acuh. Apa Adam lupa ia
telah meminjam pundakku selama antrean panjang kendaraan? Ia tak lupa. Ia
melontarkan senyuman saat aku sudah di bawah bus. Kali ini ia sangat hangat,
tidak seperti disekolah. Adam yang dingin.
Cuaca mala mini sangat dingin.
Dingin hingga menusuk tulang. Sebuah short
message dilayar ponselku. Adam.
“Selamat
malam, Qhey. Makasih ya tadi pundaknya.” Adam mengucapkan terimakasih? Jarang
sekali seorang Adam mengucapkan terimakasih. Tanpa kusadari, mimic wajahku
berubah seketika. Bibirku membuat lengkungan senyuman. Berbalas short message dengan Adam membuatku
lelah dan terlelap malam itu.
***
Pagi ini kami tak berangkat sekolah
bersama. Ketika aku memasuki gerbang sekolah yang kesekian kalinya, mataku
selalu bergerak mengintai sosok Adam. Mata, otak dan perasaanku itu sangat
kompak. Mereka tak pernah ku berikan pelajaran. Setiap mataku tertuju pada
sosok Adam, otakku penuh denganya, dan perasaanku semakin menggebu-gebu
padanya. Tapi, saat mata kami kembali bertemu yang keseribu kalinya, ia tak
sekalipun melontarkan senyumannya padaku. Apa ia melupakan kejadian semalam?
Malam yang telah kami lewati bersama.
Satu pesan. Dua pesan. Tiga pesan.
Hingga puluhan pesan kami lewati malam itu. kalimat-kalimat penyanjung bahkan
pujian kami saling lontarkan begitu saja. Kalimat layaknya sepasang kekasih.
Apa dia menyukaiku? Apa ia hanya kembali ingin membuatku melayang? Ia sangat
manis malam itu. Malam itu, kami tutup dengan ucapan selamat malam. Tak hanya
itu, Adam menyelipkan satu kalimat lagi
‘I Love You’. Nyaris ku
lemparkan ponselku saat itu. Aku tak tahu apa yang harus ku balas. Satu pesan
itu masih tersimpan di ponselku. Bahkan, menjadi penyemangat awal hariku.
Sekolahan mulai sepi. Satu demi satu
warga sekolah meninggalkan sekolahan. Tidak bagiku, Adam, Faqih, dan Zalfa.
Saat itu, kami sedang mengahadiri rapat OSIS. Adam dan Zalfa duduk di satu meja
yang sama. Mengapa aku merasa sakit? Takut rasanya jika Adam kembali
mengharapkan cinta Zalfa. Ribuan canda dan gelak tawa ia curahkan pada Zalfa.
Mengapa aku tak pernah merasakan itu di sekolah. Aku hanya dapat
membanyang-bayang saja. Adam, tak ingatkah kau semalam? Tak dapatkah kau
perlakukanku seperti Zalfa?
Zalfa mulai bangkit dari kursinya dan
duduk disampingku.
“Kamu
sama Adam ada apaan?”
“Apa?
Enggak. Cuma temen biasa, Fa.”
“Apa
kamu ga ada sedikit tertarik sama Adam? Dia kagum sama kamu.”
Bagaimana tidak? Saat aku mendengar
cerita singkat Zalfa, aku merasa jantungku seperti dipicu dengan defibrillator. Meski selama ini Adam
mengincar Zalfa, tak pernah sekalipun Zalfa melayaninya. Bahkan, saat Zalfa
mengakhiri hubungannya dengan Rangga, ia tetap tak ingin menyatu bersama Adam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar