Sabtu, 08 Februari 2014

Part #5

Kami berpisah saat kendaraan mulai tersebar dari antreannya. Aku lebih dulu turun. Tak sepatah kata pun terlontar dari mulut kami. Adam terbangun saat aku sendang meraba kantung bajuku untuk mengambil ongkos. Tampan sekali. Rambutnya terlihat sedikit berantakan. Adam mengusap matanya dan kembali acuh. Apa Adam lupa ia telah meminjam pundakku selama antrean panjang kendaraan? Ia tak lupa. Ia melontarkan senyuman saat aku sudah di bawah bus. Kali ini ia sangat hangat, tidak seperti disekolah. Adam yang dingin.
            Cuaca mala mini sangat dingin. Dingin hingga menusuk tulang. Sebuah short message dilayar ponselku. Adam.
“Selamat malam, Qhey. Makasih ya tadi pundaknya.” Adam mengucapkan terimakasih? Jarang sekali seorang Adam mengucapkan terimakasih. Tanpa kusadari, mimic wajahku berubah seketika. Bibirku membuat lengkungan senyuman. Berbalas short message dengan Adam membuatku lelah dan terlelap malam itu.
                                                              ***
            Pagi ini kami tak berangkat sekolah bersama. Ketika aku memasuki gerbang sekolah yang kesekian kalinya, mataku selalu bergerak mengintai sosok Adam. Mata, otak dan perasaanku itu sangat kompak. Mereka tak pernah ku berikan pelajaran. Setiap mataku tertuju pada sosok Adam, otakku penuh denganya, dan perasaanku semakin menggebu-gebu padanya. Tapi, saat mata kami kembali bertemu yang keseribu kalinya, ia tak sekalipun melontarkan senyumannya padaku. Apa ia melupakan kejadian semalam? Malam yang telah kami lewati bersama.
            Satu pesan. Dua pesan. Tiga pesan. Hingga puluhan pesan kami lewati malam itu. kalimat-kalimat penyanjung bahkan pujian kami saling lontarkan begitu saja. Kalimat layaknya sepasang kekasih. Apa dia menyukaiku? Apa ia hanya kembali ingin membuatku melayang? Ia sangat manis malam itu. Malam itu, kami tutup dengan ucapan selamat malam. Tak hanya itu, Adam menyelipkan satu kalimat lagi  ‘I Love You’. Nyaris ku lemparkan ponselku saat itu. Aku tak tahu apa yang harus ku balas. Satu pesan itu masih tersimpan di ponselku. Bahkan, menjadi penyemangat awal hariku.
            Sekolahan mulai sepi. Satu demi satu warga sekolah meninggalkan sekolahan. Tidak bagiku, Adam, Faqih, dan Zalfa. Saat itu, kami sedang mengahadiri rapat OSIS. Adam dan Zalfa duduk di satu meja yang sama. Mengapa aku merasa sakit? Takut rasanya jika Adam kembali mengharapkan cinta Zalfa. Ribuan canda dan gelak tawa ia curahkan pada Zalfa. Mengapa aku tak pernah merasakan itu di sekolah. Aku hanya dapat membanyang-bayang saja. Adam, tak ingatkah kau semalam? Tak dapatkah kau perlakukanku seperti Zalfa?
            Zalfa mulai bangkit dari kursinya dan duduk disampingku.
“Kamu sama Adam ada apaan?”
“Apa? Enggak. Cuma temen biasa, Fa.”
“Apa kamu ga ada sedikit tertarik sama Adam? Dia kagum sama kamu.”
            Bagaimana tidak? Saat aku mendengar cerita singkat Zalfa, aku merasa jantungku seperti dipicu dengan defibrillator. Meski selama ini Adam mengincar Zalfa, tak pernah sekalipun Zalfa melayaninya. Bahkan, saat Zalfa mengakhiri hubungannya dengan Rangga, ia tetap tak ingin menyatu bersama Adam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar