Hitam, jangan kau pikir aku tak tau
bagaimana perasaanmu. Aku mengerti, sangat mengerti. Begitu juga dengan
perasaanmu, Putih. Tapi, apa maksudmu? Suara pada satu hari itu membuatku
tercengang akan kedatanganmu kembali dengan penyesalan. Kala itu, kau
memberikan pernyataan penyesalan padaku. Aku meresponnya dengan baik. Aku pikir
kau benar-benar menyesal. Tapi? Aku sudah tau faktanya, Putih. Aku tidak lagi
bodoh. Kau datang pada waktu itu menceritakan semuanya. Semua tentang Hitam.
Bahkan, kau menyesali telah pergi dari ku dan datang pada Hitam. Apa maksumu??
Kau pikir aku apa? Robot? Sandal? Atau apa? Sebutkan apa yang mau lakukan
padaku. Lakukanlah! Apa yang bisa ku balas? Apa aku akan membalasmu? Sulit
untuk membalas dan sakit rasanya bila membalasnya. Tapi, kau tidak pernah
menyadarinya.
***
Untukmu hitam. Aku tak bermaksud
merusak hubunganmu dengan ayahmu. Tapi, kau telah mengambil hakku. Memang,
Putih menjadi milikmu, saat aku sudah melepaskannya dan Putih telah
melepaskanku. Tapi, kau pernah memberikannya padaku. Bahkan saat itu, kau sudah
memiliki yang lain. Aku melepasnya dengan rela. Tapi apa kau tau Hitam? Aku
menyimpan duka. Duka bukan karena Putih kembali kau ambil. Tapi, semua disekitarku
membuatku tertekan. Sangat tertekan. Aku tau betul bagaimana perasaanmu.
Ketika suara Putih kembali menghiasi
rumahku, aku tak senang, tak sedih pula. Aku tau, kau takut. Takut bila Putih
benar-benar menjadi milikku lagi. Itu semua rekayasa. Jangan takut, aku tak
akan mengambilnya darimu. Aku sudah tak ingin memilikinya lagi. Dia kembali
padamu, itu yang terbaik.
Dendam. Aku tak ingin kau menyebut
itu, Hitam. Aku tak ingin menyimpan dendam. Lebih baik, aku tak melihatmu,
dibanding aku melihatmu dan menimbulkan dendam. Berbahagialah kau dengannya.
Tak logis jika aku ingin kembali memilikinya demi kebahagiaan ku yang hanya
semata.
Setiap
ada kesulitan, mucul kemudahan. Setiap ada kecurangan, muncul keadilan. Aku percaya itu. Tuhan tau yang terbaik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar