Kamis, 30 Januari 2014

# S A L A H

            
          Semua ini berawal ketika aku memasuki masa Sekolah Menengah Atas. Aku yang mudah berbaur dengan teman baruku dan aku yang selalu percaya diri dengan apa yang aku miliki. Semua perasaanku mulai muncul di sebuah tempat menunggu kendaraan umum yang tidak begitu jauh dari sekolahku berada. Lelaki itu, berambut jatuh yang tak panjang dan tak pendek pula. Dengan tas berwarna hitam yang hanya di gendong di bahu sisi kanannya saja. Wajahnya tampak cuek. Tapi, ia berhasil membuatku terperanga melihatnya. Wajahnya pun tampak misterus. Aku pernah melihatnya di sekolah.
                                                                ***
            Ketika itu, aku sedang menunggu kawan lamaku, Rafa. Ia sengaja mendatangiku untuk bercengkrama bersama. Kafaza. Aku menunggunya di Kafaza. Kafaza adalah tempat pemberhentian kendaraan umum, yang tak lain dan tak bukan adalah Halte. Saat aku menunggu Rafa, aku melihat sesosok lelaki bertubuh tinggi, dengan celana abu-abu yang tak menggantung. Sangat rapih. Aku membiarkan mataku menuju ke arahnya. Mataku benar-benar memperhatikannya. Entah sudah berapa lama aku menatapnya dari atas hingga bawah. Tak kusadari, ia menghampiriku, “Boleh pinjam ponsel?.” Jelas saja ia meminjam ponsel kepadaku, saat itu aku sedang menggenggam ponselku.
“Oh, iya. Silakan.” Aku cukup canggung menjawabnya.               
“Satu sms aja kok.” Mataku tertuju pada jemarinya yang ia biarkan menari-nari diatas ponsel putihku. “Nih, udah. Makasih, ya.” Dia menjulurkan tangannya padaku.
“Iya, sama-sama.” Entah apa yang ia ketik. Sebuah short message untuk kekasihnya kah? Entah mengapa aku merasa ada sesuatu yang harus kuketahui.
            Pesan yang ia kirimkan masih tersimpan di ponselku.sebuah pesan untuk seseorang bernama ‘Fa’? Ia hanya menyebutkan inisial. Rafa? Apa ia kenal dengan Rafa? Tidak, ini berdeda dengan nomer ponsel Rafa. Misterius.
                                                                  ***
            Aku merasa, berbaur dengan lelaki lebih mudah, dibanding berbaur dengan wanita. Faqih, aku satu sekolah lagi dengannya. Kita selalu bersama, namun jarak memisahkan kita pada Sekolah Menengah Pertama waktu itu. Aku mendapati pengumuman pembagian kelas di mading. Di sana tertera ‘Qheyla. Faqih’. Aku dan Faqih ada disana. Kami sekelas.
            Lelaki itu. Aku tak percaya, kelas lelaki itu berada desebelah kelasku? Dia kelas X? Aku pikir dia adalah seniorku dan seorang kapten basket. Aku dikagetkan lagi dengan sebuah kejadian. Apa? Faqih mengenali lelaki itu? “Faqih, siapa dia? Kau mengenalinya?.” Aku mulai mencari tahu tentang lelaki misterius itu.
“Iya, aku kenal. Kemarin kita pulang bareng, Qhey. Dia yang mengajakku untuk mengenali lebih dalam tentang sejarah sekolah ini. Dia berasal dari Sekolah Menengah Pertama sini juga. Adam namanya.” Faqih perlahan mulai menjelaskan. Karena Faqih sekarang menjadi teman akrab Adam, aku pun begitu.
            Aku mendapati pandanganku ke arah Adam yang sedang berbincang dengan seorang wanita. Wanita berkacamata, berhidung mancung, postur tubuhnya juga bagus. Dia tak putih tak juga hitam, begitu juga pipinya, pipinya sangat cabi. Apa yang sedang mereka bicarakan? Siapa wanita cantik itu? Apakah wanita itu seseorang yang dimaksud dalam sebuah pesan singkat itu? Wanita berinisial ‘Fa’? Aku ingat. Dia adalah Zalfa. Dia yang menemaniku saat Masa Orientasi. Dia sama seperti Adam. Dia yang memberitahuku seluk beluk sekolahan ini. Bisa jadi mereka satu sekolah waktu itu.
            Aku tak begitu mengenalnya, tapi setidaknya tak memalukan jika aku mulai menyapanya. “Hai Zalfa.” Aku mulai menghampiri mereka berdua. Tanpa kusadar, aku telah memotong perbincangan antara Zalfa dan Adam saat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar