Semua
ini berawal ketika aku memasuki masa Sekolah Menengah Atas. Aku yang mudah
berbaur dengan teman baruku dan aku yang selalu percaya diri dengan apa yang
aku miliki. Semua perasaanku mulai muncul di sebuah tempat menunggu kendaraan
umum yang tidak begitu jauh dari sekolahku berada. Lelaki itu, berambut jatuh
yang tak panjang dan tak pendek pula. Dengan tas berwarna hitam yang hanya di
gendong di bahu sisi kanannya saja. Wajahnya tampak cuek. Tapi, ia berhasil
membuatku terperanga melihatnya. Wajahnya pun tampak misterus. Aku pernah
melihatnya di sekolah.
***
Ketika itu, aku sedang menunggu
kawan lamaku, Rafa. Ia sengaja mendatangiku untuk bercengkrama bersama. Kafaza.
Aku menunggunya di Kafaza. Kafaza adalah tempat pemberhentian kendaraan umum, yang
tak lain dan tak bukan adalah Halte. Saat aku menunggu Rafa, aku melihat
sesosok lelaki bertubuh tinggi, dengan celana abu-abu yang tak menggantung. Sangat
rapih. Aku membiarkan mataku menuju ke arahnya. Mataku benar-benar
memperhatikannya. Entah sudah berapa lama aku menatapnya dari atas hingga
bawah. Tak kusadari, ia menghampiriku, “Boleh pinjam ponsel?.” Jelas saja ia meminjam ponsel kepadaku, saat itu aku
sedang menggenggam ponselku.
“Oh, iya. Silakan.” Aku cukup canggung
menjawabnya.
“Satu
sms aja kok.” Mataku tertuju pada jemarinya yang ia biarkan menari-nari diatas ponsel
putihku. “Nih, udah. Makasih, ya.” Dia menjulurkan tangannya padaku.
“Iya,
sama-sama.” Entah apa yang ia ketik. Sebuah short
message untuk kekasihnya kah? Entah mengapa aku merasa ada sesuatu yang
harus kuketahui.
Pesan yang ia kirimkan masih
tersimpan di ponselku.sebuah pesan untuk seseorang bernama ‘Fa’? Ia hanya
menyebutkan inisial. Rafa? Apa ia kenal dengan Rafa? Tidak, ini berdeda dengan
nomer ponsel Rafa. Misterius.
***
Aku merasa, berbaur dengan lelaki lebih
mudah, dibanding berbaur dengan wanita. Faqih, aku satu sekolah lagi dengannya.
Kita selalu bersama, namun jarak memisahkan kita pada Sekolah Menengah Pertama
waktu itu. Aku mendapati pengumuman pembagian kelas di mading. Di sana tertera ‘Qheyla.
Faqih’. Aku dan Faqih ada disana. Kami sekelas.
Lelaki itu. Aku tak percaya, kelas
lelaki itu berada desebelah kelasku? Dia kelas X? Aku pikir dia adalah seniorku
dan seorang kapten basket. Aku dikagetkan lagi dengan sebuah kejadian. Apa? Faqih
mengenali lelaki itu? “Faqih, siapa dia? Kau mengenalinya?.” Aku mulai mencari
tahu tentang lelaki misterius itu.
“Iya,
aku kenal. Kemarin kita pulang bareng, Qhey. Dia yang mengajakku untuk
mengenali lebih dalam tentang sejarah sekolah ini. Dia berasal dari Sekolah
Menengah Pertama sini juga. Adam namanya.” Faqih perlahan mulai menjelaskan. Karena
Faqih sekarang menjadi teman akrab Adam, aku pun begitu.
Aku mendapati pandanganku ke arah
Adam yang sedang berbincang dengan seorang wanita. Wanita berkacamata,
berhidung mancung, postur tubuhnya juga bagus. Dia tak putih tak juga hitam,
begitu juga pipinya, pipinya sangat cabi. Apa yang sedang mereka bicarakan? Siapa
wanita cantik itu? Apakah wanita itu seseorang yang dimaksud dalam sebuah pesan
singkat itu? Wanita berinisial ‘Fa’? Aku ingat. Dia adalah Zalfa. Dia yang
menemaniku saat Masa Orientasi. Dia sama seperti Adam. Dia yang memberitahuku
seluk beluk sekolahan ini. Bisa jadi mereka satu sekolah waktu itu.
Aku tak begitu mengenalnya, tapi
setidaknya tak memalukan jika aku mulai menyapanya. “Hai Zalfa.” Aku mulai
menghampiri mereka berdua. Tanpa kusadar, aku telah memotong perbincangan
antara Zalfa dan Adam saat itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar