Hai Mei,
Begitu banyak kisah terjadi di bulan ini. Padahal
Mei baru memulai harinya. Belum lagi, kisah kita tentang hari dan tanggal yang
spesial bagi hidup kita. Apakah kita masih bersama hingga hari itu? Atau justru
kita mengalah pada keadaan di tengah hari-hari itu?
Hai Mei,
Mungkin sudah puluhan kali kita bertemu. Kali ini
berbeda. Apa mungkin kau sedang menabur warna baru? Lalu kisah apa lagi yang
kau siapkan dipertemuan kami yang selanjutnya?
***
“Nay, apa kabar?”
Hari ini kami
bertemu, setelah lama sudah kami tidak saling berkabar. Bagaimana Akbar
sekarang? Sudahkah dia... Halah sudahlah. Siapa aku peduli tentangnya.
“Bar, baik. Lo gimana? Lama banget ga ketemu.”
“Baik juga nih. Lo kok disini?”
“Iya, gue tadi habis ke perpustakaan terus duduk bentar disini.
“Sendiri? Sekarang jadi anak perpus banget ya, Nay.
Ahahaaa...”
“Ahahahaha... Engga juga sih, Bar. Tapi, emang kayaknya harus
sering-sering ke perpus mulai dari searang. Lo pasti habis baca komik ya?”
“Udah enggak, Nay. Kebiasaan gue baca komik udah hilang sejak
gue kenal sama lo.”
“Ah masa sih? Sampe begitukah gue?”
“Gue kangen juga sama lo, Nay.”
“Eh, bisa aja. Inget pacarnya tuh. Sekarang mah udah gak bisa
bilang kangen sama sembarang orang, Bar.”
“Maksudnya?”
Semenjak
perbincangan terakhir kita saat itu aku mulai berpikir bahwa Akbar benar-benar
lelah, sukses melepasku dan berhasil berlabuh di pelabuhan yang layak untuknya.
Aku bicara begitu karena memang kenyataannya dia sudah berlabuh pada yang lain.
Tapi, yasudahlah siapa aku berhak memikirkan itu?
***
“Nay, maksud lo kemarin apa, sih?” Aku memang belum sempat
menjawab pertanyaannya kemarin.
“Maksud yang mana, Bar? Eh, lama juga ya ga makan siang
bareng. Hahaha...”
“Jawab, Nay. Lo mah pinter banget kalau mengalihkan
pembicaraan. Kenapa sih ahli banget akting semuanya baik-baik aja?”
“Ha? Gimana deh maksudnya. Lo mah ada aja deh ya.”
“Jadi, selama ini lo mikir setiap gue bilang kangen itu gue
juga ngomong ke cewe lain gitu?”
“Loh? Kok jadi kesini deh, Bar. Orang lagi makan juga.”
Sejujurnya aku
tidak ingin membicarakan ini. Aku sudah terlanjur memendam rasa kepada Akbar.
Sejauh ini kah pesonamu, Bar? Aku belum siap mendengar pernyataan bahwa dia
akan mencari pelabuhan lain. Ah, Kanaya! Bodoh! Siapa aku bisa bicara seperti
itu? Kenapa bisa aku belum siap mendengar penjelasannya? Siapa aku yang butuh
penjelasan darinya? Aku bukan siapa-siapa.
“Nay, masalalu lo buruk banget apa?”
“Ah? Udahlah. Waktunya gak pas banget, Bar.”
Rasa makananku
menjadi hambar seketika. Aku sudah lupa dengan sakitnya masalaluku, tapi
menjadi sakit sekali ketika ada yang mengingatkan. Justru itu, aku menghindari
bagaimana masalaluku itu. Bukan aku tidak ingin membuka, tapi aku belum siap.
Tidak
seharusnya Akbar berbicara tentang hal itu. Aku merasa semakin bersalah ketika
meihat dia jalan bersampingan dengan seorang wanita berambut hitam panjang yang
diikat kuda setelah makan siang tadi. Aku tidak kenal siapa wanita itu.
Pertunjukkan siang itu semakin mambuatku yakin, bahwa aku harus ikhlas dia
berlabuh di pelabuhan yang lain.
“Nay, lo kenapa sih? Kok jadi agak dingin gini?”
“Gue pengen ngomong deh sama lo.”
“Gue juga pengen ngomong, Nay. Gue suka sama lo. Gue nyaman
sama lo.”
“Bar, kan lo punya pacar. Gak seharusnya lo bilang gini ke
gue. Gue gak suka.”
“Ha? Punya pacar? Sejak kapan?”
“Itu kemarin yang jalan sama lo, Bar.”
Lucu. Malu.
Entahlah. Kenapa juga aku bicara langsung seperti itu. Hahahaha... Kanaya,
dia bukan cewe gue. Lo suudzon, nih. Malu? Iya. Sudahlah. Dimana pantasnya
ku taruh wajahku ini?
“Ya, bukan gimana-gimana, Bar. Namanya juga orang mana tau
kan. Maaf ya, Bar. Gue jadi malu deh.”
“Lo kan gatau malu, Nay. Udah ya, jangan salah paham, ya? Gue
masih punya lo, kok. Tapi, lo jangan mikir seenaknya tentang gue, ya.”
***
Hari ini adalah
hari pertama di bulan Mei. Mei adalah yang selalu kutunggu. Hari spesial dalam
hidupku yang tidak bisa diganggu gugat. Aku suka Mei. Mei menandakan bahwa,
Tuhan masih memberiku kesempatan untuk terus berlajar dan memperbaiki diri. Aku
suka Mei. Mei selalu punya cerita dalam hidupku. Aku selalu menunggu apa yang
akan dia bawa untukku.
Mei ku kali ini
berbeda. Tuhan hadirkan seseorang yang aku tidak pernah menyangka Tuhan
menghadirkannya di bulan ini. Apa Tuhan sudah menyiapkan kisah di bulan Mei?
Setelah aku benci Juni.
Bulan ini
mungkin juga akan menjadi bulan aku dan Akbar. Akbar juga suka Mei. Sama
alasannya sepertiku. Aku juga tak menyangka mengapa Tuhan hadirkan takdir yang
begitu sulit untuk ku percaya.
"Jadi, kita punya tanggal dan bulan lahir yang sama?"
"Jadi, kita punya tanggal dan bulan lahir yang sama?"
“Iya, Nay. Apa kita kembar?”
“Gue gak percaya deh, Bar. Lo bohong ya?”
"Masa gue bohong. lo tanggal 22 Mei kan? Gue juga. Nih, kalau gak percaya. Namanya juga jodoh."
"Masa gue bohong. lo tanggal 22 Mei kan? Gue juga. Nih, kalau gak percaya. Namanya juga jodoh."
Hari ke-enam
pada Mei ini kami bertemu. Ini pertemuan pertama kali kami bersama Mei. Akbar
menunjukkan kartu identitasnya dan dua puluh tahun yang lalu, kami melihat
dunia secara bersama. Lalu, Tuhan pertemukan kami kembali dan menguak segalanya
di bulan yang sama.
“Lo mah bilang gue bohong terus, Nay. Ini baru namanya jodoh.
Oh iya, Nay gue mau bicara sesuatu, nih.”
“Sama, Bar. Lo dulu ya.”
“Lo gimana ke gue?”
“.....”
Sontak malam
itu menjadi sunyi. Hujan yang mengguyur jalanan di depan restauran kami pun
semakin deras. Suasana berubah menjadi tegang. Entah mengapa, aku lupa rasanya
di posisi ini setelah satu tahun silam. Aku bingung apa yang harus aku
ungkapkan kepas Akabar.
“Lo mau kan jadi pacar gue, Nay?”
“Bar, sejujurnya ini yang gue takutin.”
Malam itu, aku memberi
dua pilihan jawaban. Membiarkan Akbar pergi mencari pelabuhan lain atau tetap
jalani apapun akhirnya nanti. Setelah kejadian satu tahun yang lalu, yang belum
aku lupakan, aku merasa bahwa berada dalam ikatan dengan seseorang membuatku
takut. Takut akan berbagai hal. Yang aku tahu dan aku yakin bahwa Tuhan sudah
siapkan siapa pasangan kita. Semenjak satu tahun yang lalu pun, aku sudah tidak
terlintas bagaimana ketika aku melewati posisi itu.
“Gue gak bisa, Bar. Gue lagi takut buat punya ikatan sama
orang. Bukan perkara masalalu yang buruk, tapi gue sedang memperbaiki diri gue
dan gue yakin, kalau kita ditakdirin buat bersama itu pasti terjadi, Bar. Apa
yang sudah jadi takdir kita, gak akan mungkin jadi miliki orang lain.”
“Tapi gue udah stuck di lo, Nay. Gue harus gimana?”
“Bar, gue juga punya rasa yang sama kayak lo. Gak mungkin
dalam waktu tiga bulan ini gue biasa-biasa aja sama lo yang manisnya minta
ampun. Tapi, gue rasa kita bakalan baik-baik aja kalau tanpa ikatan, Bar.
Sekarang adil kan, kita punya rasa yang sama, bedanya lo pengen kita terikat.
Sekarang terserah lo mau tetep bertahan untuk gue tanpa ikatan atau enggak. Masalah
gue dan perasaan gue biar jadi urusan gue. Gue tau caranya mengontrol diri gue,
Bar. Meskipun sakit. Gue gak papa.”
“Inget, Nay. Masalalu ada tempatnya sendiri. Sekarang, biar
gue bawa lo dari masalu kelam lo itu.”
Akbar.
Keputusanku untuk tidak bersama dia adalah keputusan yang terbaik. Aku tidak
ingin berada dalam satu ikatan. Aku tahu bagaimana siklus yang nantinya akan ku
hadapi. Satu tahun silam, aku berusaha bangkit sendirian hanya karena cinta.
Konyol. Untuk apa? Yang akhirnya juga pada perpisahan. Aku sadar tidak semua
yang kita miliki akan menjadi milik kita selamanya. Begitupun dengan Akbar. Aku
yakin, jika takdir mempertemukan kita maka pasti kita akan bersama.
Dengan
keputusanku untuk tidak menjalin ikatan dengannya, ini pertanda bahwa aku harus
benar-benar siap dan ikhlas jika ia memutuskan untuk berlabuh pada pelabuhan
yang lain. Jahat bila aku tetap memaksa Akbar untuk terus bersamaku tanpa
sebuah ikatan.
Sepertinya, Mei
masih belum ingin berakhir. Apa kita masih bersama hingga hari spesial bagi
kita itu datang? Dua puluh tahun yang lalu, kita membuka mata dan melihat dunia
bersama. Lalu, apakah kita akan megarungi bulan-bulan lainnya secara bersama
atau kau mengakhirinya di bulan Mei juga? Terimakasih, Bar atas bulan Mei tahun
ini. Kau hadir dan aku tidak tahu ini menjadi kehadiranmu yang terakhir atau
kau tetap menungguku dibelakang. Aku akan menunggu hari dimana kita melihat
dunia yang ke dua puluh kalinya, bersamamu. Biar saja dunia tahu, bahwa kita
pernah menangis bersama untuk keindahan dunia yang pertama kalinya
Seiring
berjalannya waktu, hari-hari di bulan Mei pun akan berkahir. Setelah Mei berakhir,
hari-hari pertama di bulan Juni datang. Bulan yang tepat setahun sudah aku
berusaha untuk bangkit sendirian. Tepat setahun sudah aku melupakan kejadian
itu. Apa ini pertanda aku harus menempatkan kisah lalu di tempat yang berbeda
dan memulai kisah baru tanpa sebuah ikatan?
“Nay, tadi
lo kasih gue pilihan, kan? Mau lepasin lo atau tetep bersama lo meskipun pait akhirnya
kan? Gue pilih yang kedua, Nay. Kalau perasaan dan resiko lo jadi urusan lo,
biarin gue merasakan hal yang sama.”
Inspired
by: Meijikuhibiniu ft. NKnF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar