Selasa, 30 Mei 2017

Sentuhan Terakhirku

Namaku Kanaya Faradhisa. Orang memanggilku Kanaya, Naya, Nay, atau Kay. Kata mereka, aku seseorang yang ceria, ceroboh, asik, ya pokoknya 'gak ada Naya, gak rame'. Tak jarang kawanku bertanya 'Nay, lo gak punya beban hidup apa? Enteng banget.'’
Bukan aku tak punya beban, tapi ntah kenapa aku hanya ingin menebarkan energi positif pada orang disekitarku. Aku hanya ingin jadi perempuan yang selalu ceria dimata mereka. Aku ingin menjadi berkesan ceria dimata mereka. Aku rasa, aku memang tidak suka air mata. 

Selalu saja mereka menamaiku dengan ‘Naya yang buta cinta.’ Iya, buta cinta bukan cinta buta.
'Nay, lo gak pernah nangis deh. Sekalinya nangis, nangisin tugas. Itu juga kaya kilat.'
'Lo gak pernah jatuh cinta apa, Nay.'
‘Naya mah, gak ngerti cinta-cintaan. Polos.’
‘Nay, gak pernah galau, ya? Sejujurnya, merekalah alasanku untuk tak membawa cinta didepan mereka. Mereka bilang, aku tidak memanfaatkan masa mudaku. Tidak menikmati rasanya mencintai. Tidak merasakan cinta yang mereka bilang cinta itu indah. Aku hanyalah seorang anak kecil yang menjalani hidup dengan siklus, dimata mereka. Yang hanya tau, belajar yang benar, pintar dan menjadi orang sukses.

Ternyata, aku juga perempuan yang bisa rapuh. Aku juga perempuan yang bisa patah hatinya. Aku juga perempuan yang pernah ada pada sentuhan cinta. Aku juga perempuan yang bisa cemburu. Aku juga perempuan yang pernah mencintai tanpa dicintai. Aku juga pernah merasa berjuang sendiri. Aku juga pernah tau rasanya jatuh cinta dan dikecewakan cinta. Aku juga perempuan yang mudah meneteskan airmata. Tapi, bukan didepan teman-temanku. Jelas mereka tak pernah tahu ketika aku pada sentuhan cinta. Entah mengapa, aku merasa bersalah jika aku bersedih karena cinta didepan mereka. Jangankan temanku, didepan orang tuaku pun begitu. Tak semua mereka tau apa yang sedang aku rasa. Aku menangis, menjerit, dalam hati. Mungkin, saking pintarnya aku dalam menyembunyikan. Yang mereka tau aku baik-baik saja. Sampai suatu saat aku pernah bertanya pada diriku sendiri, sampai kapan aku akan berpura-pura semuanya baik-baik saja? Ya, sampai aku lupa jika aku sedang bersandiwara. Pertanyaan yang berhasil kujawab sendiri.

Aku pernah jatuh cinta dan benar-benar jatuh karena cinta.
Cinta? Apa itu? Sejenis umbi-umbian atau sejenis jarum yang menyakitkan?
Aku baru berkenalan dengan Cinta, sayangnya diawal perkenalannku ia memberi kesan yang teramat buruk sampai aku tak percaya Cinta. Semenjak itu, aku takut. Takut bertemu dengan Cinta meskipun baru yang kedua kalinya. Tak sedikit yang berkata, 
'Nay, gak semua cinta kayak gitu. Lo harus percaya.' 
'Nay, sampe kapan takut?'
'Nay, buka hati deh. Jangan kaya gini. Gimana lo mau percaya klo lo gak buka hati?' 
'Buat ilangin trauma ya dengan cara lo buka hati lo. Gak kaya gini. Lo acuhkan semua.' 
Selalu saja aku mendapatkan wejangan yang sama. Antara percaya atau tidak, tapi aku memang sempat berpikir. Tidak akan datang jika memang aku yang enggan membuka. Sejak saat itu, aku merasa menjadi orang paling egois saat aku bersikap acuh pada kedatangan Cinta. Aku merasa bersalah. Aku orang yang jahat.

Lalu, perlahan kubuka hatiku. Ku coba nasihat teman-temanku. Memang benar, jika ku terus menutup bagaimana aku bisa percaya dan mendapatkan Cinta? Nyatanya semua itu bohong. Berhasil sudah aku benar-benar jatuh karena Cinta yang kedua kalinya. Lalu, dengan Cinta yang seperti apa yang bisa kupercaya? Ajari aku jika memang aku salah. Tapi, itu yang membuat ku tak percaya Cinta dan tak tahu apa sebenarnya arti Cinta. Mungkin, aku hanya belum menemukan.

Dan aku berpikir mungkin itu semua bukan jawaban agar aku menyudahi ketidakpercayaanku pada Cinta. Namun, Cinta yang kerap menghampiriku itu hanyalah sebuah pelajaran kehidupan.

Regards,

Kanaya Faradhisa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar