Hingga matahari kembali menyinari pagiku, pesan terakhirku pun tak juga dibalas oleh
Adam. Aku tertidur menunggu pesan Adam yang nyatanya memang benar-benar tak
dibalasnya. Diponselku pun masih terbuka ruang pesan Adam. Biasanya, Adam tak
pernah absen menyapa pagiku. Ya, semenjak Farah hadir memang semuanya berubah. Bahkan,
pesanku semalam pun tak dijawabnya, padahal ia sedang online. Lalu, apa
yang dia lakukan?
Hari ini memang tak seperti
biasanya. Saat aku keluar kamar dan hendak beranjak ke meja makan untuk
sarapan. Aku melihat Adam yang sudah duduk di ruang tamu dengan pakaian yang
sangat rapi. Entah, ia datang dari mana dan bagaimana bisa Bundaku membiarkan
makhluk ini masuk tanpa meminta izin padaku. Memang Bunda tahu banyak tentang
aku dan Adam, namun Bunda tidak akan pernah tahu masalah apa yang sedang
kuhadapi bersama Adam saat ini.
“Ha? Adam, kenapa
ada disini?” Tanyaku dengan mata yang melotot.
“Menjemputmu,
bodoh.” Jawab Adam sembari menjitak kepalaku.
Mataku semakin membelalak dan aku segera
beranjak ke dapur mencari Bundaku. Karena, memang tak biasanya Bunda membiarkan
Adam masuk tanpa memberitahuku terlebih dahulu.
“Bunda, kenapa
Adam bisa masuk?” Akhirnya aku menemukan Bunda yang sedang menyiapkan sarapan
di meja makan.
“Ya, memang
kenapa? Memang Adam sudah sering main kan? Dia ingin menjemputmu, Cantik. Ada yang
salah?” Ada yang salah, Bun. Bunda memang tak tahu apa yang sedang putrinya
hadapi.
“Iya aku tahu dia
ingin menjemputku untuk ke sekolah, Bun. Tapi, kenapa Bunda tidak bertanya
padaku dulu...”
“Bertanya apa sih?
Bunda kan tahu kamu dan Adam, sudah biasa juga Adam main dan menjemputmu kesini
kan? Tapi, memang sih, Bunda sudah jarang melihatmu bersama Adam. Memang kenapa
kalian, Qhey?” Ledek bunda sambil menyubit lenganku. “Adam, sini sarapan dulu,
Nak.” Entah hipnotis macam apa yang Adam berikan pada Bundaku. Bundaku begitu
luluh padanya. Aku membencinya.
Dengan santainya, Adam duduk di hadapan
Bundaku dan menyuap sendok demi sendok. Sungguh Adam ini membuatku kesal. Kenapa
dia tidak pernah sadar tentang segala yang sudah ia lakukan kepadaku. Kenapa
dia masih saja bersikap manis tanpa berdosa.
“Bunda, nanti aku
pinjam Qheyla ya, Bun.” Begitu enaknya Adam memohon kepada Bunda. Tuhan, jangan
biarkan Bunda membiarkan Adam membawaku pergi.
“Kemana, Dam?”
Tanya Bunda dengan menaikkan sedikit alisnya.
“Ya, kemana ya,
Bun. Sepertinya berkeliling di sekolah. Hahaha...”
Apa
yang terjadi dengan mereka berdua? Adakah yang lucu? Sungguh Adam, habis kau
setelah ini. Mereka tertawa bahagia dan aku? Aku hanya memperhatikan mereka. Apakah
ini drama pertama Adam? Sunggu aktor terbaik. Seandainya Bunda tahu apa yang
sedang terjadi antara kami berdua, mungkin Bunda tak akan pernah membiarkan aku
untuk tetap menjadi teman Adam. Teman? Ya memang, hanya teman.
“Qhyela, berangkat
ya, Bun. Assalamualaikum.” Aku berpamitan kepada Bundaku dan mencium tempurung
telapak tangannya. Hal yang sama pun dilakukan Adam. Memang Adam sangat dekat
dengan Bunda semejak kamu dekat. Aku lebih memilih membiarkan Adam bermain ke rumahku
dibanding harus membawaku pergi dengan waktu yang lama.
***
“Dam, tunggu.” Memang hal yang paling ku benci
ketika berjalan dengan Adam adalah, ia selalu meninggalkanku.
“Apasih, Qhey. Jalannya
buruan bodoh.” Dia memang sering memanggilku Si Bodoh. Si Bodoh yang selalu
disayanginya, dulu.
“Kenapa kalau
sudah di sekolah kamu begitu dingin, Dam?”
“Buruan. Nanti
telat.” Kemudian ia meninggalkanku dan membiarkan ku berlari mengejarnya di
belakangnya.
“Nanti, masuk ke
dalam kelasnya berpisah, ya.”
“Loh, memangnya
kenapa, Dam?” Aku bertanya mengangkat kepalaku, karena tinggiku memang hanya setara
dengan pundaknya.
“Ya, menurutmu
saja, Qhey. Tidak enak dilihat teman-teman.”
“Bukankah kita
memang sering bersanding bersama, Dam?” Tatapanku semakin melekat menatap kedua
mata Adam.
“Sekarang tidak
ya, Qheyla. Kalau aku bilang berpisah saat menuju ke kelas, ya berpisah. Jangan
keras kepala.” Meninggalkanku begitu saja di gerbang sekolah. Apa meninggalkanmu
menjadi hobimu sekarang, Dam?
Aku menunggu Adam sampai di kelas
terlebih dahulu dengan duduk di kantin belakang. Aku termenung dan memikirkan
sikap Adam yang sangat berbeda. Jika memang ia tak ingin berjalan bersanding
denganku saat menuju kelas, mengapa ia menjemputku ke rumah? Bukankah sudah
pasti kami akan berjalan bersama menuju ke kelas? Berperilakulah dingin
seterusnya jika memang itu membuatmu bahagia, Dam. Aku tidak akan berusaha
menghangatkannya hingga beku sekalipun.
“Qhey, kok disini?”
Zalfa mengaggetkanku.
“Fa, hmm... Aku
lagi nunggu aja.”
“Menunggu siapa,
Qhey?”
“Hmmm... Itu,
Mella.” Aku sudah tak dapat mencari jawaban yang tepat.
“Loh? Mella sudah
di kelas, Qhey. Sepertinya dia juga tidak menjemputmu kesini. Tadi aku sempat
bertemu dan mengajaknya ke kantin.”
“Oh, Mella sudah
di kelas ya? Yasudah, aku ke kelas duluan ya, Fa.” Aku buru-buru meninggalkan
Zalfa dan segera menuju ke kelas, karena sepertinya Adam sudah duduk tenang di
kursinya.
Hampir saja aku membuka rahasia
tentang Adam yang tak ingin berjalan menuju kelas bersamaku. Bodohnya, aku
bukannya langsung menuju ke kelas, justru malah memutari sekolah. Apa yang
membuatmu sebodoh ini, Adeeva Qheyla Myesha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar