Sabtu, 03 Desember 2016

Part #23

           Hingga matahari kembali menyinari pagiku, pesan terakhirku pun tak juga dibalas oleh Adam. Aku tertidur menunggu pesan Adam yang nyatanya memang benar-benar tak dibalasnya. Diponselku pun masih terbuka ruang pesan Adam. Biasanya, Adam tak pernah absen menyapa pagiku. Ya, semenjak Farah hadir memang semuanya berubah. Bahkan, pesanku semalam pun tak dijawabnya, padahal ia sedang online. Lalu, apa yang dia lakukan?
            Hari ini memang tak seperti biasanya. Saat aku keluar kamar dan hendak beranjak ke meja makan untuk sarapan. Aku melihat Adam yang sudah duduk di ruang tamu dengan pakaian yang sangat rapi. Entah, ia datang dari mana dan bagaimana bisa Bundaku membiarkan makhluk ini masuk tanpa meminta izin padaku. Memang Bunda tahu banyak tentang aku dan Adam, namun Bunda tidak akan pernah tahu masalah apa yang sedang kuhadapi bersama Adam saat ini.
“Ha? Adam, kenapa ada disini?” Tanyaku dengan mata yang melotot.
“Menjemputmu, bodoh.” Jawab Adam sembari menjitak kepalaku.
            Mataku semakin membelalak dan aku segera beranjak ke dapur mencari Bundaku. Karena, memang tak biasanya Bunda membiarkan Adam masuk tanpa memberitahuku terlebih dahulu.
“Bunda, kenapa Adam bisa masuk?” Akhirnya aku menemukan Bunda yang sedang menyiapkan sarapan di meja makan.
“Ya, memang kenapa? Memang Adam sudah sering main kan? Dia ingin menjemputmu, Cantik. Ada yang salah?” Ada yang salah, Bun. Bunda memang tak tahu apa yang sedang putrinya hadapi.
“Iya aku tahu dia ingin menjemputku untuk ke sekolah, Bun. Tapi, kenapa Bunda tidak bertanya padaku dulu...”
“Bertanya apa sih? Bunda kan tahu kamu dan Adam, sudah biasa juga Adam main dan menjemputmu kesini kan? Tapi, memang sih, Bunda sudah jarang melihatmu bersama Adam. Memang kenapa kalian, Qhey?” Ledek bunda sambil menyubit lenganku. “Adam, sini sarapan dulu, Nak.” Entah hipnotis macam apa yang Adam berikan pada Bundaku. Bundaku begitu luluh padanya. Aku membencinya.
            Dengan santainya, Adam duduk di hadapan Bundaku dan menyuap sendok demi sendok. Sungguh Adam ini membuatku kesal. Kenapa dia tidak pernah sadar tentang segala yang sudah ia lakukan kepadaku. Kenapa dia masih saja bersikap manis tanpa berdosa.
“Bunda, nanti aku pinjam Qheyla ya, Bun.” Begitu enaknya Adam memohon kepada Bunda. Tuhan, jangan biarkan Bunda membiarkan Adam membawaku pergi.
“Kemana, Dam?” Tanya Bunda dengan menaikkan sedikit alisnya.
“Ya, kemana ya, Bun. Sepertinya berkeliling di sekolah. Hahaha...”
Apa yang terjadi dengan mereka berdua? Adakah yang lucu? Sungguh Adam, habis kau setelah ini. Mereka tertawa bahagia dan aku? Aku hanya memperhatikan mereka. Apakah ini drama pertama Adam? Sunggu aktor terbaik. Seandainya Bunda tahu apa yang sedang terjadi antara kami berdua, mungkin Bunda tak akan pernah membiarkan aku untuk tetap menjadi teman Adam. Teman? Ya memang, hanya teman.
“Qhyela, berangkat ya, Bun. Assalamualaikum.” Aku berpamitan kepada Bundaku dan mencium tempurung telapak tangannya. Hal yang sama pun dilakukan Adam. Memang Adam sangat dekat dengan Bunda semejak kamu dekat. Aku lebih memilih membiarkan Adam bermain ke rumahku dibanding harus membawaku pergi dengan waktu yang lama.
***
 “Dam, tunggu.” Memang hal yang paling ku benci ketika berjalan dengan Adam adalah, ia selalu meninggalkanku.
“Apasih, Qhey. Jalannya buruan bodoh.” Dia memang sering memanggilku Si Bodoh. Si Bodoh yang selalu disayanginya, dulu.
“Kenapa kalau sudah di sekolah kamu begitu dingin, Dam?”
“Buruan. Nanti telat.” Kemudian ia meninggalkanku dan membiarkan ku berlari mengejarnya di belakangnya.
“Nanti, masuk ke dalam kelasnya berpisah, ya.”
“Loh, memangnya kenapa, Dam?” Aku bertanya mengangkat kepalaku, karena tinggiku memang hanya setara dengan pundaknya.
“Ya, menurutmu saja, Qhey. Tidak enak dilihat teman-teman.”
“Bukankah kita memang sering bersanding bersama, Dam?” Tatapanku semakin melekat menatap kedua mata Adam.
“Sekarang tidak ya, Qheyla. Kalau aku bilang berpisah saat menuju ke kelas, ya berpisah. Jangan keras kepala.” Meninggalkanku begitu saja di gerbang sekolah. Apa meninggalkanmu menjadi hobimu sekarang, Dam?
            Aku menunggu Adam sampai di kelas terlebih dahulu dengan duduk di kantin belakang. Aku termenung dan memikirkan sikap Adam yang sangat berbeda. Jika memang ia tak ingin berjalan bersanding denganku saat menuju kelas, mengapa ia menjemputku ke rumah? Bukankah sudah pasti kami akan berjalan bersama menuju ke kelas? Berperilakulah dingin seterusnya jika memang itu membuatmu bahagia, Dam. Aku tidak akan berusaha menghangatkannya hingga beku sekalipun.
“Qhey, kok disini?” Zalfa mengaggetkanku.
“Fa, hmm... Aku lagi nunggu aja.”
“Menunggu siapa, Qhey?”
“Hmmm... Itu, Mella.” Aku sudah tak dapat mencari jawaban yang tepat.
“Loh? Mella sudah di kelas, Qhey. Sepertinya dia juga tidak menjemputmu kesini. Tadi aku sempat bertemu dan mengajaknya ke kantin.”
“Oh, Mella sudah di kelas ya? Yasudah, aku ke kelas duluan ya, Fa.” Aku buru-buru meninggalkan Zalfa dan segera menuju ke kelas, karena sepertinya Adam sudah duduk tenang di kursinya.
            Hampir saja aku membuka rahasia tentang Adam yang tak ingin berjalan menuju kelas bersamaku. Bodohnya, aku bukannya langsung menuju ke kelas, justru malah memutari sekolah. Apa yang membuatmu sebodoh ini, Adeeva Qheyla Myesha. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar