“Iya, Qhey... Kemarin, aku melihat Adam bersama seorang
wanita, tapi aku tak tahu siapa dia.” Lanjut Zalfa.
“Siapa wanita itu ya, Zal? Apa kau benar-benar tidak tahu
siapa dia?”
“Sudahlah, Qhey. Hiraukan saja, jangan pikirkan. Mungkin aku
salah lihat. Mari masuk kedalam kelas.” Aku dan Zalfa menuju ke kelas dan kami
berpisah.
Adam. Satu-satunya orang yang ada dalam pandanganku hanya dia.
Saat aku memasuki kelasku, mataku hanya mengincar sosok Adam. Dia sudah duduk
dikursi kesaangannya.
“Hai, Dam...” Aku menyapanya dan mencoba bersikap seperti
biasa.
“.....” Adam hanya membalas dengan tatapan sinis.
“Kenapa, sih? Apa yang salah dengan kita, Dam?” Airmataku
sudah menumpuk dalam kelopak mataku.
“Kita? Apa maksudmu?”
“Apa kamu lupa dengan apa yang kamu dan aku lakukan selama
ini? Apa itu hanya permainanmu saja?”
“Kamu ini bicara apa, Qhey? Apa menurutmu, semua yang kita
lakukan itu sangat berarti?” Adam berbicara dengan guyonan. “Ada-ada aja, sih.”
“Aku tak tahu apa yang ada dipikiranmu. Apa yang telah merubahmu?
Kamu lupa denga semua? Segala perlakuan manis yang kamu lakukan padaku? Apa
artinya, Dam?”
“Kamu saja yang terlalu percaya diri. Sejak kapan aku
menjadikanmu yang istimewa dan segala perlakuanku hanya untukmu? Dasar bodoh!”
Ia berjalan keluar kelas dan meninggalkan tatapan tak suka kepadaku.
Ya, Tuhan... Aku benar-benar tak tahu apa yang terjadi
padanya. Ini kali pertamanya Adam berbicara seperti ini. Aku tak mengerti apa
wanita itu yang telah mampu membuat Adam yang kukenal menjadi keras. Sungguh,
aku tak tahan lagi.
Ya, memang hanya aku yang tak tahu. Farah teelah merubah Adam.
Sejak perjalanan kami di mall itu.
Farah bercerita bahwa mereka hanya saling mengenal. Lalu, apa sekarang? Datang
dan pulang sekolah selalu bersama? Bagaimana denganku? Aku yang dulu selalu
diprioritaskannya meski aku bukan kekasihnya.
“Kemarin pergi kemana dengan Farah?” Aku berusaha tenang saat
memulai pembicaraan.
“Iya, aku mengajaknya nonton film di bioskop. Ada yang salah?”
“Kamu pergi bersama Farah? Kenapa aku tidak tahu? Hehe” Perih
rasanya bertanya suatu hal yang menurutku penting untuk kuketahui, namun tidak
untuknya.
“Apa harus, ya Qhey? Kok aku merasa kamu seperti memberiku
pagar ya? Kamu ini siapaku? Aku siapamu? Kenapa kehidupan aku penting banget
buat semuanya kamu tau? Menurutku itu tidak penting, Qhey...”
Ntah apa yang ada di pikirannya, ia segera pergi
meninggalkanku sendiri dan menghampiri Farah yang sedang duduk tenang di
sebrang lapangan.
“Qhey?” Mella memegang pundakku dan itu sangat mengejutkanku.
“Heh, Mel. Ngagetin aja kamu.”
“Are you okay? Aku seperti melihat sesuatu yang aneh
sama kamu, Qhey.”
“Aku tidak apa-apa, Mel. Ohiya, lihat pemandangan disebrang,
deh.”
“Iya, Qhey aku lihat dari tadi karena itu aku menghampirimu. Lalu,
apa yang kalian bicarakan tadi?”
“Sepertinya, Adam benar-benar lupa semuanya dan ingin
menghapus semuanya, Mel.” Ucapku dengan senyuman keperihan.
“Tapi, sepertinya bukan itu maksudnya, Qhey.”
Air mataku tumpah ketika melihat betapa bahagianya Adam
bergurau dengan Farah. Lihatlah, posisiku digantikan. Ini memang bukan suatu
hal yang luar biasa ketika seseorang yang memiliki arti sedang membuat kebahagiaan
dengan orang lain. Dari semua sikap mereka, aku sudah dapat menebak apa yang
mereka sembunyikan hingga hanya aku satu-satunya orang yang paling dekat dengan
Adam menjadi satu-satunya orang yang paling bodoh, tidak tahu apa yang terjadi
dengan Adam dan Farah. Aku hanya dapat tersenyum getir melihat sikapnya.
Apalagi yang ingin kalian sembunyikan? Aku telah mengetahui segalanya.
***
“Farah, kau menyukai Adam?” Aku menghampiri Farah dan
menanyakan hal yang sedari dulu ingin kutanyakan. Lagi-lagi aku melakukan hal
bodoh. Kanapa kamu langsung menanyakannya tanpa berbasa-basi Qheyla!
“Ha? Ya, enggaklah, Qhey. Mana mungkin.” Jawab Farah sembari
membereskan buku diatas mejanya.
“Ada hubungan apa diantara kalian?” Sudahlah. Aku sudah
terlanjur menusuknya dengan pertanyaan itu, sebiaknya langsung saja
kulanjutkan.
“Hubungan? Yaampun, Qhey. Suudzon banget sama aku. Aku ga ada
hubungan apa-apa. Aku Cuma kenal sama dia dari SD. Kamu ga perlu khawatir. Adam
akan tetap jadi milikmu kok, Qhey”
“Kamu berkata jujur kan, Far? Aku teman dekatmu juga, Far. Aku
perlu tahu. Kamu juga tahu kan sejauh mana hubunganku dengan Adam? Kamu tahu
kan, Far?!” Tak sengaja aku terbawa emosiku sehingga aku meninggikan intonasi
bicaraku.
“Oke. Aku jujur, aku memang pernah ada hubungan sama dia, tapi
ga lama, Qhey. Maaf, Qhey. Sebenernya aku ingin berkata jujur, tapi aku perlu
mencari waktu yang tepat. Sekarang memang bukan waktu yang tepat, tapi kamu
terus memojokiku.”
“Lalu? Sekarang? Sejak kapan kau menjalani hubungan dengannya?
Sejak Adam masih memperlakukanku istimewa?”
“Qheyla... Please, jangan pernah benci aku, Qhey. Iya,
Qhey. Tapi itu dulu. Percayalah, aku tak lagi menyimpan perasaan padanya. Lagipula
sudah berlalu kan, Qhey? Toh kamu juga tetap menjadi prioritasnya.”
Tetap? Sejauh mana Farah tahu tentang itu. Dia tidak pernah
menyadari betapa pentingnya semua itu bagiku. Menjalin hubungan dengan
seseorang yang sedang memberikan perlakuan spesial dengan wanita lain,
menurutnya bukanlah hal yang serius. Dia tidak pernah berpikir sudah sejauh
mana aku dibohonginya dan tetap berlaku manis pada Adam. Konyol sekali.
“Qhey, percayalah padaku. Aku dan Adam tak lagi menyimpan
perasaan. Dia tetap menjadi Adammu, dan kamu tetap menjadi Qheylanya.”
Begitu santainya ia menjawab pertanyaanku dengan langsung
meninggalkanku. Aku tahu lebih dari apa yang ia bicarakan. Bagaimana bisa
mereka setega itu? Adam, apa salahku padamu? Sungguh, aku benar-benar tak
percaya. Kegelisahanku selama ini memang mengantarkanku pada akhir yang seperti
ini. Selama ini memang Farah benar menyukai Adamku. Apa harus begini caranya?
Kau telah menyembunyikannya dariku Farah. Ini tidak akan baik-baik saja.
Tetes airmata kembali mengalir dipipiku yang tirus. Tak layakkah
aku mendapatkan kebahagiaan atas perjuanganku selama ini? Jika memang aku tak
layak, mengapa? Begitu besar perjuanganku untuk tetap bertahan dengannya dalam
keadaan yang sulit sekalipun. Sempat terlintas dibenakku untuk menyudahi
sandiwara ini. Tapi, sudah terlalu jauh aku melangkah, mana mungkin aku mundur
dan mengalah dengan tangan kosong. Aku memperjuangkannya demi kebahagiaanku dengannya
karena masalalu yang dijanjikannya. Apa aku terlalu egois untuk mendapatkan
hakku?
***
Senja ini kembali mengingatkanku pada masa lalu yang
menjanjikan kebahagiaan. Sosok yang selalu melindungiku dalam keramaian bus
kota. Kemana dia? Apa dia melindungi ‘aku’ yang lain? Sosok yang mengusap
kepalaku saat aku termenung. Kemana dia? Apa dia sedang memanjakan ‘aku’ yang lain?
Aku tak mendengar suara pantulan bola basket di lapangan sekolah. Biasanya,
saat ia asyik bermain basket, aku duduk menunggunya dibangku lapangan dan
kembali ke rumah bersama. Sekarang, kemana dia? Apa dia melakukan itu dengan
orang lain? Orang yang ku kenal, mungkin. Aku memang tak pernah rela memberikan
Adam pada Farah. Tapi, jika memang aku harus melepasnya, aku mohon buat dia bahagia
seperti aku membahagiakannya.
Hhrr... Rasanya aku tak dapat menerima kenyataan pahit ini.
Terlebih setelah Farah memberikan pengakuan yang mengejutkanku. Aku belum mendengar
langsung dari mulut Adam. Entah kenapa, aku memang tak pernah yakin jika
pernyataan itu tak langsung dari bibir Adam.
“Dam...” Aku menyapanya.
“Apa? Aku sedang tak ingin ribut denganmu, Qhey.”
“Siapa yang mengajak ribut? Aku hanya ingin menanyakan
sesuatu.”
“Tetang?” Ah! Sial, lagi-lagi aku terpesona dibuatnya. Matanya
yang berbicara itu membuatku tak berdaya. Aku memang mudah luluh, jika Adam
memberikan ekspresi wajahnya.
“Kau pernah menjalin hubungan dengan Farah kan? Aku mohon,
jujurlah. Dengan tertutupnya dirimu, membuatku gila dan berprasangka buruk
denganmu, Dam.”
“Setelah kujawab ini, apa yang kau lakukan? Bunuh diri?
Menyewa detektif untuk memata-mataiku? Atau menyakiti Farah?”
“Sungguh, tak ada maksud apapun dariku, Dam. Aku hanya ingin
tahu, agar aku tak berprasangka buruk padamu. Mengapa kau justru yang
pberprasangka buruk padaku? Apa sudah kotorkah aku dimatamu?” Suaraku bergetar,
aku nyaris tak mampu menahan airmataku. Mengapa kau begitu kesar sekarang, Dam.
Aku tak pernah mendapat perlakuan sedingin ini dari Adam sebelumnya.
“....” Ia pergi dan meninggalkan tatapan sinis kepadaku.
Ya Tuhan, apalagi yang terjadi. Apa aku salah bertanya? Ini
kulakukan agar aku paham dengan semua yang terjadi. Buruk sudah aku dimatanya.
Tak lagi istimewa seperti dahulu. Aku hanya ingin melakukan yang terbaik untk
kami bertiga, tapi itu semua salah dimatanya. Saat ini, semua yang kulakukan
sudah buruk dimatanya. Niat baikku sekalipun.
“Mel, kenapa aku selalu salah dimatanya?”
“Hmmm... Aku juga tak mengerti, Qhey. Aku rasa semua sudah
berubah.” Jawab Mella sambil menulis tugasnya yang belum selesai.
Jujur saja, semenjak kejadian ini, aku lupa akan segala
tugasku. Hanya masalah inilah yang ada dalam pikiranku. Berapa banyak sudah
tugasku yang hanya tergeletak di meja belajarku. Tak sedikit guru yang bertanya
mengenai perubahanku tentang mata pelajaran. Jika Mella seorang yang sangat
jujur, mungkin ia akan mengatakan ‘kenapa sih, Qhey! Kamu begitu
mengganggumu dengan kehidupanmu yang gak jelas. Aku sedang mengerjakan tugas. Kamu
mengganggu sekali.’ Aku bersyukur, Mella selalu ada saat aku butuh
seseorang yang dengan rela mendengar keluh kesah masalahku yang rumit ini. Bagi
beberapa orang yang mendengar, mereka justru membenciku, padahal aku hanya
ingin memperjelas semuanya dan menjadikan ‘kami’ baik-baik saja.
“Tugasmu sudah beres semua, Qhey? Sabtu besok sudah
pengambilan rapot.” Tanya Mella sembari menaikkan alisnya.
“Belum, Mel.”
“Ayolah, Qhey. Hidupmu tak hanya untuk menyelesaikan masalah
cintamu, ada banyak masalah yang lebih penting. Lupakan segalanya.”
“Kamu bicara dengan mudahnya, Mel. Aku sudah melangkah sejauh
ini. Apa pantas jika aku mundur? Coba kamu pikir, Mel, berapa banyak yang sudah
kuperjuangkan untuknya? Seandainya aku mencatat dari awal, mungkin satu buku
jurnalmu tak akan cukup.” Aku menjawab kesal.
“Aku tahu, tapi ini bukan saatnya. Lihatlah berapa banyak
tugasmu yang kamu biarkan diatas meja? Apa kau tidak merasa empati melihatnya?”
“Aku lebih empati ketika aku melihat seseorang yang
kuperjuangkan jatuh ditangan yang salah!” Aku memilih untuk meninggalkan Mella.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar