Aku meninggalan Mella bukan tanpa
alasan. Aku terlanjur kesal padanya. Ia memang sangat mengerti bagaimana aku
selama ini, namun kadang kala ia tidak pernah tahu bagaimana sulitnya masalah
ini dan betapa harusnya aku selesaikan. Sejak ku tinggalkan Mella, ia
benar-benar tidak berbicara lagi padaku sepatah dua patah kata. Aku paham betul
maksudnya, namun aku tak suka dengan sikapnya yang seolah-olah salah untuk
mencari kebenaran.
“Qhey, aku minta maaf.” Pinta Mella saat aku sedang duduk
didepan kelas seorang diri.
“Mel, maaf. Aku paham betul maksudmu, namun aku hanya ingin
kamu tau bahwa aku sudah lelah, aku ingin menyudahi semuanya, Mell. Tapi, aku
tak tau harus mengakhirinya dari mana. Apa mungkin dengan tiba-tiba aku menjauh
dari Adam? Aku lelah, Mel.” Air mataku benar-benar tak tertahan lagi, aku
benar-benar menangis di pundak Mella tanpa kusadari sedari tadi Adam
memperhatikanku dari jauh ditengahhembusan angin sore yang sepi siswa.
***
Diam. Tak ada
satu kata pun yang keluar dari bibir kami berdua. Setelah aku dan Mella
menyadari Adam yang memeprhatikanku dari jauh. Aku segera mengangkat bahuku dan
mengusap butir airmata yang masih tersisa di mataku. Mella pun meninggalkanku
sendiri karena waktu yang sudah semakin sore dan ia harus kembali ke rumahnya.
Sedangkan aku, masih duduk ditempat yang sama tanpa seorang teman. Berdiam di
sekolah hingga sore hari memanglah hobiku. Aku begitu kesepian di rumah. Aku
lebih senang di sekolah. Langitnya indah dan itu membuatku nyaman berlama-lama
disekolah, meski tanpa ditemani siapapun saat ini.
Dulu, berdiam
di sekolah hingga sore hari memang kebiasaan ku bersama Adam. Adam yang
membuatku melakukan kebiasaan ini. Kadang, kami bermain basket, berkeliling
sekolah hingga bosan, menghabiskan waktu untuk bergurau, bercerita tentang ini
dan itu hingga duduk termenung di masjid hingga pukul 5 sore. Bagaimana bisa
aku menghilangkan kebiasaan yang hampir satu tahun kami buat. Aneh rasanya jika
harus melakukan hal itu tanpa Adam. Bermain basket sendirian, bahkan kepada
siapa sekarang aku membagi keluh kesahku? Faqih? Aku tak tahu lagi tentangnya,
semenjak ia menjalin kasih dengan kekasihnya. Yang jelas aku sudah membuat sahabat
terbaikku bahagia dengan kebahagiaannya sekarang.
“Kamu kenapa sih, Qhey?” Tanya Adam.
“Kamu mau aku jawab, Dam?” Tanyaku kembali padanya yang sedang
memutar-murat sedotan di gelas tehku. Ya, setelah Mella meninggalkanku, Adam
memang menghampiriku yang sedang termenung dibangku lapangan dan mengajakku ke
kantin favorit kami berdua.
“Qhey, apa yang kamu takutkan? Ceritalah padaku...”
Sial! Kenapa
kamu begitu manis, Dam. Setelah kamu buatku melotot dengan pengakuan Farah,
kamu masih mampu berlaku manis dan kembali menyadarkanku untuk terus berjuang
untukmu.
“Dam, aku mau bertanya sesuatu.”
“Apa, Qhey?” Dia tersenyum dan menatap mataku untuk meyakinkan
semuanya baik-baik saja.
“Kamu sama Farah...”
“Qheylaku, apasih dari kemarin Farah terus. Kalau aku sedang
bersamamu, jangan bicarakan orang lain, ya.” Sambil mencubit kecil hidungku.
Adam memang senang sekali menyubitku. Tapi, semenjak kejadian ini, aku
merindukan cubitan kecil itu.
“Sebenarnya, apa maksudmu sih, Dam? Kemarin kamu dingin,
sekarang kamu manis. Apa yang membuatmu seperti ini?” Suaraku bergetar kencang
ingin rasanya aku memeluk erat Adam dan tak melepaskannya untuk Mella, teman
terbaikku sekalipun.
“Sudahlah, Qhey. Kamu butuh bukti apa lagi? Sekarang sudah ku
buktikan kan, kalau aku benar-benar ada untukmu?” Adam mengelus kepalaku dan
memberikan senyuman manis tanpa beban.
Sungguh, aku
bingung apa yang harus kulakukan. Ketika jawaban yang kubutuhkan belum
terjawab, Adam berlaku manis. Aku ingin mendesaknya untuk menjawab teka-teki
ini, namun melihat jawaban Adam, aku khawatir manisnya sore itu segera berakhir
dan membuatku semakin perih.
“Kita pulang yuk, Qhey. Aku antar ya?”
Aku hanya
terdiam bingung memperhatikan Adam mulai dari mengulurkan tangannya padaku
hingga memunggungiku. Akhirnya, aku menatap punggung itu. Punggung yang selalu
melindungiku, dulu. Aku merindukan itu.
“Mau ku antar sampai dalam rumah juga?”
“Ha? Tidak usah, Dam. Terimakasih, ya.” Aku masih diselimuti
dengan berbagai pertanyaan.
“Okedeh. Aku pulang ya, Qhey. Sudah mau maghrib, masuklah.
Jangan lupa mandi pakai air hangan dan makan malam ya. Tadi kamu belum makan,
jangan tidur terlalu malam. Selamat malam, Qheyla. I love you...” Ia
mengencangkan helmnya dan melambaikan tangannya sebelum ia menghilang dari
hadapanku.
Aku masih
berdiri kaku menatap punggung Adam hingga ia mengilang dari pandanganku. Lalu
apa yang harus aku lakukan? Melepaskan Adam dalam keadaan yang sudah seperti
ini? Seperti biasanya, aku memang selalu menghubungi Adam, namun ya memang
kerap kali pesanku hanya di baca. Akhir-akhir ini memang ia lebih sering
mengacuhkan pesanku.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar