Jumat, 02 Desember 2016

Part #22

Aku meninggalan Mella bukan tanpa alasan. Aku terlanjur kesal padanya. Ia memang sangat mengerti bagaimana aku selama ini, namun kadang kala ia tidak pernah tahu bagaimana sulitnya masalah ini dan betapa harusnya aku selesaikan. Sejak ku tinggalkan Mella, ia benar-benar tidak berbicara lagi padaku sepatah dua patah kata. Aku paham betul maksudnya, namun aku tak suka dengan sikapnya yang seolah-olah salah untuk mencari kebenaran.
“Qhey, aku minta maaf.” Pinta Mella saat aku sedang duduk didepan kelas seorang diri.
“Mel, maaf. Aku paham betul maksudmu, namun aku hanya ingin kamu tau bahwa aku sudah lelah, aku ingin menyudahi semuanya, Mell. Tapi, aku tak tau harus mengakhirinya dari mana. Apa mungkin dengan tiba-tiba aku menjauh dari Adam? Aku lelah, Mel.” Air mataku benar-benar tak tertahan lagi, aku benar-benar menangis di pundak Mella tanpa kusadari sedari tadi Adam memperhatikanku dari jauh ditengahhembusan angin sore yang sepi siswa.
***
          Diam. Tak ada satu kata pun yang keluar dari bibir kami berdua. Setelah aku dan Mella menyadari Adam yang memeprhatikanku dari jauh. Aku segera mengangkat bahuku dan mengusap butir airmata yang masih tersisa di mataku. Mella pun meninggalkanku sendiri karena waktu yang sudah semakin sore dan ia harus kembali ke rumahnya. Sedangkan aku, masih duduk ditempat yang sama tanpa seorang teman. Berdiam di sekolah hingga sore hari memanglah hobiku. Aku begitu kesepian di rumah. Aku lebih senang di sekolah. Langitnya indah dan itu membuatku nyaman berlama-lama disekolah, meski tanpa ditemani siapapun saat ini.
          Dulu, berdiam di sekolah hingga sore hari memang kebiasaan ku bersama Adam. Adam yang membuatku melakukan kebiasaan ini. Kadang, kami bermain basket, berkeliling sekolah hingga bosan, menghabiskan waktu untuk bergurau, bercerita tentang ini dan itu hingga duduk termenung di masjid hingga pukul 5 sore. Bagaimana bisa aku menghilangkan kebiasaan yang hampir satu tahun kami buat. Aneh rasanya jika harus melakukan hal itu tanpa Adam. Bermain basket sendirian, bahkan kepada siapa sekarang aku membagi keluh kesahku? Faqih? Aku tak tahu lagi tentangnya, semenjak ia menjalin kasih dengan kekasihnya. Yang jelas aku sudah membuat sahabat terbaikku bahagia dengan kebahagiaannya sekarang.
“Kamu kenapa sih, Qhey?” Tanya Adam.
“Kamu mau aku jawab, Dam?” Tanyaku kembali padanya yang sedang memutar-murat sedotan di gelas tehku. Ya, setelah Mella meninggalkanku, Adam memang menghampiriku yang sedang termenung dibangku lapangan dan mengajakku ke kantin favorit kami berdua.
“Qhey, apa yang kamu takutkan? Ceritalah padaku...”
          Sial! Kenapa kamu begitu manis, Dam. Setelah kamu buatku melotot dengan pengakuan Farah, kamu masih mampu berlaku manis dan kembali menyadarkanku untuk terus berjuang untukmu.
“Dam, aku mau bertanya sesuatu.”
“Apa, Qhey?” Dia tersenyum dan menatap mataku untuk meyakinkan semuanya baik-baik saja.
“Kamu sama Farah...”
“Qheylaku, apasih dari kemarin Farah terus. Kalau aku sedang bersamamu, jangan bicarakan orang lain, ya.” Sambil mencubit kecil hidungku. Adam memang senang sekali menyubitku. Tapi, semenjak kejadian ini, aku merindukan cubitan kecil itu.
“Sebenarnya, apa maksudmu sih, Dam? Kemarin kamu dingin, sekarang kamu manis. Apa yang membuatmu seperti ini?” Suaraku bergetar kencang ingin rasanya aku memeluk erat Adam dan tak melepaskannya untuk Mella, teman terbaikku sekalipun.
“Sudahlah, Qhey. Kamu butuh bukti apa lagi? Sekarang sudah ku buktikan kan, kalau aku benar-benar ada untukmu?” Adam mengelus kepalaku dan memberikan senyuman manis tanpa beban.
          Sungguh, aku bingung apa yang harus kulakukan. Ketika jawaban yang kubutuhkan belum terjawab, Adam berlaku manis. Aku ingin mendesaknya untuk menjawab teka-teki ini, namun melihat jawaban Adam, aku khawatir manisnya sore itu segera berakhir dan membuatku semakin perih.
“Kita pulang yuk, Qhey. Aku antar ya?”
          Aku hanya terdiam bingung memperhatikan Adam mulai dari mengulurkan tangannya padaku hingga memunggungiku. Akhirnya, aku menatap punggung itu. Punggung yang selalu melindungiku, dulu. Aku merindukan itu.
“Mau ku antar sampai dalam rumah juga?”
“Ha? Tidak usah, Dam. Terimakasih, ya.” Aku masih diselimuti dengan berbagai pertanyaan.
“Okedeh. Aku pulang ya, Qhey. Sudah mau maghrib, masuklah. Jangan lupa mandi pakai air hangan dan makan malam ya. Tadi kamu belum makan, jangan tidur terlalu malam. Selamat malam, Qheyla. I love you...” Ia mengencangkan helmnya dan melambaikan tangannya sebelum ia menghilang dari hadapanku.
          Aku masih berdiri kaku menatap punggung Adam hingga ia mengilang dari pandanganku. Lalu apa yang harus aku lakukan? Melepaskan Adam dalam keadaan yang sudah seperti ini? Seperti biasanya, aku memang selalu menghubungi Adam, namun ya memang kerap kali pesanku hanya di baca. Akhir-akhir ini memang ia lebih sering mengacuhkan pesanku.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar