Selasa, 13 Maret 2018

-----

2#Sweet Patbingsoo

         Pagi ini aku harus berangkat kuliah seperti biasanya. Selesai sholat shubuh aku harus cepat-cepat pergi agar tepat jam delapan aku sudah duduk santai di kelas. Memang terasa melelahkan tiap hari harus bergulat dengan kemacetan, kesempitan, dan keharuman kemeja-kemeja kerja didalam angkutan umum sepanjang jalan. Wow, harum parfum dan asap jalan yang berpadu dengan apik. Syukurlah pagi hari masih terasa harum parfum seperti di televisi yang harumnya sepanjang hari. Aku tak akan berkomentar saat aku kembali menaiki angkutan umum ini saat jam pulang.
      “Cihuuyy... hai Kinaaann...” Teriak Atta dari belakang lemari yang suaranya sudah terdengar jelas.
        Sebelum aku memasuki kelas aku harus mampir sebentar ke ruang dimana tempat aku dan Atta dipertemukan. Iya, tepat sekali ruang Unit Kesenian Mahasiswa. Organisasi inilah yang mempertemukan kita sampai kita seakrab ini.
       “Apa, Ta? Gak kelas lo?” tanyaku sambil mencari buku yang sengaja kutinggal di lokerku.
            “Gaklah, masih jaman kelas? Lo balik gak nanti? Ama gue, yuk. Gua juga mau balik, nih. Gak kangen sama gue? Btw, capek kali naik trans, sendiri pula.” Ajak Atta dengan basa-basinya. Padahal jelas aku pasti pulang kenapa dia masih bertanya. Hmm... iya sendiri, ya Ta.
       “Jangan mau, Nan. Ngajak Kinan, itu si Gya gimana? Bisa aja lo buaya.” Sahut seniorku yang sedang asik bermain Mobile Legend sambil bersandar ke tembok.
            “Apasi, Bang? Buaya teriak buaya. Bikin Kinan bete ama gua aja, sih. Bete ya, Nuy? Jangan dooonngg... kan mau pulang bareng kita. Nanti makan eskrim gimana? Vanilla ya? Suka kan?” bujuk Atta sambil menarik-narik lengan kemejaku.
           “Berisik lo Atta. Bawel banget da ah. Gue mau kelas. Bye.” Jawabku sambil memakai sepatu.
           “Nanti Line gue aja, Nuuuyyy...”
        Rasanya Atta memang selalu manis, saat bersamaku. Jika boleh aku jujur, aku terbawa perasaan dengannya. Memang aku dan Atta jarang bersama, sangat jarang. Tapi, jika sekali bersama, Atta akan melimpahkan seluruh sikap manis dan keberhargaannya aku untuknya, bahkan betapa pedulinya dia padaku. Tak sedikit orang yang menganggap kami adalah pasangan kekasih, termasuk Mas Raffi. Saat pertama kali bertemu, Mas Raffi langsung mengulurkan tangannya dan berkata ‘Alhamdulillah, Mas bisa liat bentukkan masa depan kamu, Ta.’ Saat itu pula Atta mengaminkan sembari tertawa. Aku yang hanya diam membeku berusaha menyerap pembicaraan mereka yang baru kupahami dari ruang tamu rumah Atta.
          Memikirkan perkataan seniorku tentang Gya yang diperkirakan menjadi calon kekasih Atta, aku tiga puluh persen yakin, tapi lebih banyak ketidakyanikannya. Mana mungkin Gya menjadi incaran Atta? Perempuan yang sama sekali bukan tipe Atta. Ups, mungkin aku belum mengenal Atta sejauh itu. Entah kenapa aku berdo’a semoga tidak, padahal apapun yang Atta lakukan seharusnya aku mendukung. Tapi rasanya, tidak untuk kali ini. Gya sangatlah kekanak-kanakkan dan aku rasa dia memang tidak cocok dengan Atta. Jika sikap kanak-kanak berpacaran dengan sesamanya, habislah sudah. Keposesifan Gya juga sering menjadi bahan pembicaraan antara aku dan Atta saat kami menjadikan kisah Gya dan kekasihnya sebagai makanan sehari-hari di sekret, bahkan di tempat parkir. Mana mungkin Atta tahan dengan itu?
        Pernah beberapa bulan yang lalu, kami melihat Gya turun dari motor seorang lelaki dipinggir jalan. Aku dan Atta hanya saling melirik di spion, berpikir antara mepilir untuk menghampiri Gya atau tetap berjalan lurus. Ya, memang pada akhirnya kami melipir dan menciduk Gya yang sedang mengusap air matanya. Lagi-lagi Atta membuka mulutnya tentang keheranannya dengan Gya. Belum lagi beberapa minggu setelah itu, Gya membawa kekasih barunya ke sekret yang membuat kami berdua kembali saling melirik, bahkan mendorong siku satu sama lain. Saat itu juga Atta menarikku kebelakang sekret dan berbisik ‘Gila si Gya, kmrn nangis-nangis di trotoar sekarang udang gandeng yang baru. Lo gitu ya, Nuy? Wah gila sih, cepet banget, Nuuy.’ Dengan terheran-heran Atta sesekali mengintip dan mendengarkan pembicaraan antara Gya dan kekasih barunya. Dasar tukang nguping!
Atta      :
Kinuy, mau bareng gak? Aku tunggu di ruang Kesenian ya.
Me       :
Mau. Tunggu bentar. Satu soal lagi kelar. Tunggu!
Atta      :
BOOOMM!!! Sudah kuduga, Nuy. Tukang nebeng tapi gengsi. Siap boskuu
Me:
Bacot ya lo!
Atta:
(Sticker peluk)
         Kuaktifkan mode pesawat agar aku tetap fokus menyelesaikan satu nomor pada tugas individuku. Hal yang sangat biasa ketika dosen tidak hadir, mereka pasti menitipkan secarik kertas yang berisikan soal.
          Kinanku. Kins. Kinuy. Mungkin beberapa orang yang mendapatkan panggilan itu akan menyebutnya panggilan kesayangan. Begitu juga Atta, ia mengganggap itu adalah panggilan sayangnya untukku. Normalnya, semua temanku memanggilku dengan nama Kinan. Tidak ada panggilan lain dan itulah kenapa orang tuaku meletakkan Kinan ditengah-tengah nama panjanganku Nayla Kinan Azzahra. Atta tidak akan membiarkan orang lain memanggilku selain Kinan, terlebih sama seperti panggilan yang ia sediakan untukku,  terutama Kinuy. Nama ku di ponselnya pun Kinuy dengan emot eskrim untuk sedikit mengindahkannya, ungkapnya. Entah kenapa ia sangat nyaman memanggilku Kinuy. Aku juga paling hafal dengan gaya bicaranya ‘aku-kamu’ ia lebih sering menggunakan ‘aku-kamu’, herannya itu hanya berlaku saat melalui chatting dan ketika sikap kemanjaannya muncul. Unik dan menyebalkan, tapi aku mulai sayang untuk kehilangannya, karena dia memang tempatku kembali.
      Baru dua bulan kami dekat, aku sudah hafal trik yang selalu ia gunakan ketika ia menginginkan sesuatu. Wajah melas dan suara yang dibuat-buat sebenarnya sedikit menjijikan dan menyebalkan. Tapi, kadang memang momen seperti itu yang kutunggu darinya.
           “Lo gak mungkin nolak, Nuy. Kecuali kalau lo diajak pulang bareng sama anak teknik elektro itu, iyakan?! Lo juga diturunin dipinggir jalan kan? Sukurin aja tuh lama-lama kayak si Gya, nangis di trotoar. Norak.” Ejek Atta sambil berkespresi meledek.
            “Gak gitu juga. Gak boleh kayak gitu, Ta. Gak suka ah. Kita kan satu perumahan, ya lo nganter sampe gue ketemu bunda dan ayah lah. Dia kan beda arah. Dari kampus aja beda, Ta.” Bantah ku sambil memakai jaket yang sebelumnya kupakai saat berangkat ke kampus. Iya, itu masih jaket Atta yang kupinjam. “Ta, ini gak bisa masuk tangannya, nyangkut apa gimana, ya? Tadi pagi bisa padahal.”
           Ah! Sial. Tanganku tersangkut didalam lengan jaket Atta dan tidak bisa keluar. Jaket yang tadi pagi ku pakai dalam keadaan baik-baik saja. Lalu kenapa ini tersangkut.
           “JANGAN DIPAKSA!!! Ini jaket terbaik gue, nanti jebol gue musuhin lo. Gue turuinin dipinggir jalan!!!!”
          “Egila, iya enggak, ini gimana? Gabisa di tarik keluar juga. Gue dorong aja ya biar muncul telapaknya, masa gini gue. Tangannya buntung hahahaa...”
           “Jangan didorong dong Dian Sastro, nanti jebol itu ketarik. Sini bentar...” Atta mulai mencari tanganku melalui lubang diujung lengan jaketnya. Ia mencari dengan mata dan berusaha meraih telapak tanganku yang terkepal di dalam lengan jaket itu. Dalam posisi sama-sama berdiri, ini cukup memakan waktu yang lama. Tengkleng kepala ke kanan, begitu juga sebaliknya pertanda bahwa aku sudah bosan. Ku gerak-gerakkan kaki pertanda lelah. Atta juga tidak berinisiatif mengajak duduk sembari mencari kepalan tanganku. Begitu juga Atta yang mulai menyipitkan matanya sampai ia berhasil membuka lubang pada lengan jaket dan meraih tanganku .
      “Cepet tangannya udah kebuka ini. Pelan-pelan, Bu. Ibu bisa... udah keliatan kepalanya.” Serunya dengan penuh semangat layakya dokter kandungan.
           “EMANG GUE MAU LAHIRAN?! Yes! Good job Atta hahahaa... Besok-besok kalau minjemin yang ikhlas, ya. Biar gak kesumpel gini, kan pusing gu...”
         “Ahahahaaa... Im sowy Kinan.” Usapan tangannya dikepalaku yang terbalut jilbab membuatku terhenti melanjutkan kalimatku. “Udah ayuk, naik udah aman kan tangannya?” Aku tersadar bahwa sedari tadi aku memandangi Atta. Momen ini ternyata menambah kapasitas kami dalam berpandang. Tak jarang kami sama-sama tertangkap sedang memandang. Ah, aku yang memandangnya, manis ternyata.
          “Kalau ngantuk bilang, ya. Soalnya nih ya, kayaknya motor ini lebih nyaman dari yang kemarin. Pegangan pinggang gue, Nuy. Ahahahaa bercanda kali! Gemeter lo sampe kerasa, nih.” Itu kalimat yang tak pernah absen dari mulut Atta ketika aku akan duduk dimotor kesayangannya. Lagi-lagi ia bercanda yang sama sekali tidak lucu.
          “Kampret!! Siapa juga yang mau pegangan pinggang lo.”
         Atta kembali mencegah tragedi yang beberapa waktu yang lalu hampir terjadi saat aku diboncengnya. Sifat Atta yang peka dan sigap membuatku menunda jatuh dari motor karena mengantuk yang keduakalinya. Belum terlambat aku menikmati rasa kantukku, Atta sudah memarkirkan motornya di sebuah kedai eskrim. Tentu saja dengan alasan aku yang tak lagi bersuara, karena mengantuk yang ia intip dari kaca spion.
        Sebelumnya aku memang pernah naik motor yang lain yang membuat aku hampir jatuh karena mengantuk, motor itu pemberian Mas Raka, yang sekarang diminta kembali. Motor pemberian Mas Raka itu motor gigi, sedangkan motor baru pemberian Mas Raffi, motor metic yang jelas lebih nyaman dibanding motor yang sebelumnya. Sebenarnya tidak ada hubungannya, tapi entah bagaimana aku bisa mengingat sedetail itu, bahkan plat nomor motor Atta sebelumnya.
        “Nan, enakan naik motor ini atau yang kemarin?” tanya Atta.
        “Enakan inilah, Ta hahahahaa... Gue juga suka sama bentuk dan warnanya. Seksi gitu, Ta body nya. Warnanya gak banyak cuma hitam putih. Lebay banget ya, gue. Tapi beneran, ganteng lho, Ta...”
       “Gue ganteng gak, Nuy? Jujur! Tapi, aku juga nyaman sama dia, nih. Gak bakal diambill juga sama Mas Raffi ahahahhaaa...”
         “Dia kayaknya cocok sama Tulus, deh. Soalnya warnanya monkrom” ucapku spontan.
       “Hmmm... hitam putih ya? Dasar Tulus ya, lo.” Aku suka dengan penyanyi Tulus, apalagi dengan lagunya yang berjudul Pamit. Itulah sebabnya aku mengucap monokrom dengan spontan dan Atta mulai menggoda karena ada cerita dibalik lagu Pamit menjadi lagu favoritku.
         “Karena dia bikin kita nyaman dan lo yang pertama gue bonceng pakek motor baru ini, gue resmikan julukan motor ini, Monokrom.”
        “Hai, monokrom. Please jaga temanku, ya. Jaga siapapun yang kamu bawa.” Do’aku untuk monokrom yang baru terlahir kedunia tanpa di aqiqah.
          “Love you, Krom... Jangan pamit, Krom. Iya, jangan pamit kayak dianya Kinuy.” Ledek Atta sambil tertawa cengengesan. Sedangkan aku, hanya bisa memukul helmnya yang membuat kepalanya turut terguncang dan terasa sedikit sakit. 
        Hampir setengah perjalanan, Atta menghentikan motornya disuatu toko eskrim. Atta sangat paham bahwa temannya ini hobi sekali mengkonsumsi eskrim. Aku pikir, ini toko eskrim biasa. Ternyata, toko ini menjual eskrim seperti toko eskrim di Korea yang pernah aku bahas juga dengannya. Suasananya juga mengambil suasana Negara Korea.
          Saat kita masuk Patbingsoo Korean, kita disambut dengan suasana seperti di stasiun kereta api Korea Selatan. Terdapat petunjuk arah dengan huruf Hangul. Terdapat juga kursi panjang yang terdapat di Namsan Tower, salah satu objek wisata di Korea Selatan. Aku kebingungan memilih menu eskrim. Sedangkan, Atta hanya memandangiku dan mulai lelah karena aku tak kunjung menemukan menu yang tepat.
       “Berapa menit lagi bisa ngasih keputusan? Kayaknya seminggu, nih.” tanya Atta sambil meletakkan kepalanya diatas meja.
         “Ahaahahhaaa... ini lucu soalnya. Jadi, kebayang oppa. Yaudah gue mau ini, deh.”
    Aku memesan Yeuido Patbingsoo. Namanya lumayan sulit dilafalkan tapi tampilannya, mempesona. Resto ini menyediakan es serut kacang merah ala Korea Selatan. Ya, seperti eskrim yang dimakan Daehan Minguk Manse si Triplets yang menggemaskan. Es yang ku pesan ini es serut kacang merah dengan tambahan eskrim lembut diatasnya. Yang unik dan membuat aku terpesona adalah terdapat kue ikan diatas eskrimnya atau nama Koreanya Bungeoppang dengan tambahan coklat cair diatasnya yang menambah kesan eksotis eskrim ini.
         “Happy?” tanya Atta yang hanya memesan Patbingsoo dengan topping oreo, almond dan choco stick.
          “Happy banget. Kesampean juga makan eskrimnya Minguk.”
         “Kumaaaaattt!!!!!!!!!! Jangan buru-buru, masih sore nikmatin aja. Biar ga nyesel, besok gak ada yang ngajak lagi soalnya.” Ledek Atta sambil menggigit choco sticknya.
        Aku sangat bersyukur jadwal kuliah kami hanya sampai pukul satu siang. Aku juga bersyukur memiliki Atta yang peka dengan kawannya. Sendok demi sendok aku berusaha menikmati eskrim yang eksotis ini. Tapi, enggan rasanya menghabiskannya. Ingin sekali aku mengabadikannya dan ku kirim pada Chanyeol Oppa. Tapi sayangnya, ponselku mati. Apa rasanya Patbingsoo yang indah ini tanpa kehadiranmu, Chan? Rasa eskrimnya tetap manis, dong, karena seseorang tertangkap benar-benar sedang memberhatikanku dengan anggukan kepala mengukuti alunan musik korea yang diputar.
#NowPlaying-Kim Ez_Because Of You
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar